Senin, 05 Desember 2011
IJ Kasimo
Senin, 5 Desember 2011, saya kehabisan ide untuk dituangkan ke dalam blog ini. Sejak pagi saya berpikir keras, kira-kira apa yang mau saya tulis. Tetapi sampai setelah makan siang, ide yang diharapkan belum datang juga. Sungguh mati angin.
Tiba-tiba, sekitar pukul 14.30 WIB, teman sekantor saya, Hendro Situmorang, datang. Belum lama duduk di kursinya, dia membuka tas, lalu mengambil sesuatu. Sejurus kemudian, dia menyerahkan kepada saya sebuah buku yang masih terbukus sampul plastik. Judulnya, “Politik Bermartabat: Biografi IJ Kasimo”.
Buku ini ditulis JB Soedarmanta, seorang editor buku senior dan penulis buku yang sangat produktif dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Menurut Hendro, buku ini dibagikan kepada wartawan, seusai misa syukur penganugerahan pahlawan nasional kepada IJ Kasimo di Gereja Katedral Maria Diangkat ke Surga, Jakarta, Kamis, 1 Desember 2011. “Saya dapat dua,” kata Hendro sambil menyerahkan satu eksemplar kepada saya.
Maka seketika itu juga saya memutuskan untuk menulis saja tentang buku itu. Semacam ringkasan pendek. Bukan resensi. Sebab saya belum membaca seluruh isi bukunya. Saya hanya membaca sekapur sirih yang dibuat mantan Sekjen Partai Katolik Republik Indonesia 1964-1972 Harry Tjan Silalahi. Lalu saya baca pengantar penulisnya, dan Epilog yang dibikin Adnan Buyung Nasution. Sementara yang lain seperti prolog Anhar Gonggong saya lihat sambil lalu.
Penulis buku ini menceritakan bahwa ini bukanlah buku pertama tentang Ignatius Joseph (IJ) Kasimo dan juga buku yang terakhir. JB Soedarmanta menulis, “Perlu dikatakan bahwa bigrafi ini belum selesai dan buku ini diharapkan dapat menjadi bahan Utama bagi Biografi IJ Kasimo yang akan ditulis lebih lengkap dan lebih komprehensif.”
Dia lalu mengutip kata-kata Teolog kenamaan Yesuit Karl Rahner, “Kita hanya dapat mengatakan apa manusia itu dengan menyatakan apa yang menjadi perhatiannya dan apa yang memperhatikannya. Namun, hal itu sendiri merupakan ketidakterbatasan dan ketidakbernmaan.”
Sebelum buku ini, sudah ada sejumlah buku tentang IJ Kasimo yang diterbitkan. Misalnya, “IJ Kasimo Hidup dan Perjuangannya” karya tim wartawan Kompas pada 1980 dalam rangka ulang tahunnya ke-80 dan “Minorites, Modernity, and Emerging Nation” karya Berry van Klinken pada 2003.
Beberapa bagian isi buku ini adalah hasil dua kali seminar tentang IJ Kasimo di Yogyakarta tahun lalu. Catan prolog sejarahwan Anhar Gonggong dan epilog Adnan Buyung Nasution adalah bahan dari seminar tersebut.
Harry Tjan Silalahi dalam “Sekapur Sirihnya” mengungkapkan bahwa IJ Kasimo adalah seorang pejuang kemerdekaan dan nation building bangsa Indonesia. Dia memelopori umat Katolik nusantara untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dia juga menyerukan kepada umat Katolik Indonesia untuk mendukung proklamasi Republik Indonesia.
Meski pemimpin Katolik, IJ Kasimo, menurut Harry Tjan Silalahi, sama sekali tidak sektarian. Sebaliknya dia menjunjung tinggi dan memperjuangkan pluralisme bangsa ini. Karena itu, meski di berbeda pendapat dengan tokoh Masyumi, Natsir di parlemen, tetapi pergaulan mereka di luar parlemen sangat akrab dan akur.
IJ Kasimo, menurut Harry Tjan juga adalah seorang yang sangat sederhana. Dia mampu mengambil jarak yang tegas dan jelas antara barang miliknya dan yang bukan miliknya. Kesederhanaan lainnya adalah ketika ulang tahunnya ke-80 mau dirayakan, dia meminta untuk diselenggarakan secara sederhana. Kesehariannya pun diwarnai dengan pakaian adat Jawa. Tetapi tidak berarti bahwa dia Jawa minded.
Soal kesederhaan ini juga disaksikan oleh Adnan Buyung Nasution dalam epilognya. Adanan yang rumahnya bertetangga dekat dengan IJ Kasimo mengatakan, kursi di rumahnya sangat sederhana.
IJ Kasimo juga dilukiskan Adanan Buyung sebagai seorang yang sangat baik hati. Suatu ketika, cerita Adnan, mobil anaknya menabrakan pagar rumah IJ Kasimo. Adnan Buyung mengira IJ Kasimo marah besar. Lalu buru-buru mendatanginya dan menanyakan apa yang harus digantikan. Alih-alih marah, IJ Kasimo malah bilang ke Adnan supaya jaga anaknya baik-baik.
Bagi Adnan Kasimo adalah seorang guru politiknya. Dia belajar banyak dari Kasimo soal keluasan berpikir dan keluwesan berpolitik. Atau dalam Bahasa Harry Tjan Silalahi, IJ Kasimo adalah seorang politisi yang berkarakter dan memiliki prinsip. Prinsipnya adalah fortiter in re, suaviter in modo yang berarti keras dalam prinsip, halus dalam cara.
Karena itu, baik Harry Tjan Silalahi maupun Adnan Buyung Nasution sangat heran ketika IJ Kasimo tidak juga digelari pahlawan nasional. Beruntunglah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menetapkan IJ Kasimo sebagai pahlawan nasional, sebuah gelar yang layak disandang seorang tokoh sebesar IJ Kasimo. Selamat!! (Alex Madji)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar