Sabtu, 17 Desember 2011 siang. Suhu Yogyakarta cukup panas. Kami menerobos salah satu satu sudut kota itu tepat saat matahari berada di atas kepala. Menyengat.
Kami menuju sebuah rumah mungil di daerah Babarsari, persisnya kawasan di belakang Hotel Ambarukmo di Jalan Solo, Yogyakarta.
Hari itu, ada acara perkenalan keluarga antara kami, keluarga sepupu saya John, dengan keluarga calon istrinya, Riris, di rumah dua lantai di kawasan itu.
Kami tiba di rumah itu persis ketika azan menggema. Jam 12.00 siang. Di balik gerbang, seorang bapak mengenakan batik keemasan lengan panjang menyambut kami. Diikuti istrinya dengan kostum sepadan. Keduanya adalah orang tua pacar sepupu saya itu. Mereka menyalami kami dengan jabat tangan yang erat dan hangat.
Sejurus kemudian, kami (saya, Om William, sepupu saya yang lain Egi, serta ponakan yang masih kuliah di Yogyakarta Prisno) dipersilahkan masuk. Om William yang berada pada barisan paling depan, sudah lebih dulu melepas kasut.
Sementara kami yang lain dipaksa masuk tanpa harus buka alas kaki. Padahal, ujung kaki saya sudah di luar sepatu. Tetapi terpaksa harus dimasukkan kembali dan melenggang memasuki rumah yang bersih dan tertata rapih itu.
Egi memperkenalkan kami ala kadarnya. Tak lama setelah itu, pembicaraan serius dimulai. Om William membuka pembicaraan. Dengan sigap saya membuka tas mengambil barang-barang yang kami bawa: songke (kain tenun khas Manggarai, Flores, NTT), sebotol bir, dan satu ekor ayam jago, sesuai adat kami, Manggarai Flores NTT. Om Willian tercekat sambil menunggu barang-barang tersebut.
Om William kemudian melanjutkan pembicaraan sambil menyerahkan songke. Kain itu, kata dia, adalah pengikat antara pasangan calon suami istri. Mereka diikat dalam satu kain agar masing-masing tidak pindah ke lain hati. Kemudian diserahkan juga bir. “Kalau di kampung, seharusnya tuak. Tetapi karena tuak sulit didapat, maka kami serahkan bir,” ujar William.
Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan seekor ayam jago yang seharusnya satu paket dengan bir tadi. Ini bermaksud mengambil hati orang tua sang putri agar anaknya mau disunting oleh “jago” kami.
Selanjutnya, “Kami siap menerima perintah Bapak,” kata Om William menutup pembicaraannya.
Pemberian itu disambut keluarga perempuan. Dia lalu memanggil putrinya dan duduk di samping jago kami. “Riris, apakah kamu serius ingin menjalin hubungan dengan Mas John,” tanya Bapaknya. “Serius,” jawab Riris, panggilan akrab di rumahnya. Pertanyaan yang sama disampaikan untuk John. “Serius,” jawab John. Meskipun agak sedikit diprotes oleh Pakde Riris karena jawaban John terdengar tidak tegas. “Jawab yang tegas,” ujarnya dari kursi seberang.
Tepuk tangan pun membahana di ruang tamu rumah itu menyambut keseriusan kedua calon pasangan pengantin. Acara lalu jeda makan siang. Menu makan siang yang disediakan tuan rumah untuk tamu-tamu yang datang dari jauh adalah sayur lodeh, sate ayam, sate ampla, nasi tumpeng dan ayam goreng. Kebetulan pada hari itu, adik bungsu Riris, Anis merayakan ulang tahunnya yang ke-21. Tadi, setelah “interogasi” terhadap Riris dan John, dilanjutkan dengan potong tumpeng ulang tahun si putri bungsu.
Selepas makan siang, pembicaraan dilanjutkan. Kali ini yang dibicarakan adalah tanggal pernikahan John dan Riris. Sejumlah tanggal pada bulan Juni dilihat dan ditimbang-timbang, sebelum akhirnya memilih Sabtu 16 Juni 2012.
Sebelum kami meninggalkan ruma itu, kami disangoni tiga kotak kue ketan. Katanya, ini adalah lambang perekatan dan pengikatan hubungan baik antara Riris-John maupun antara keluarga keduanya. Selain itu, kami juga diberi kue bolu sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke Jakarta pada Minggu, 18 Desember 2011.
Nah, ternyata songke dan ketan dalam acara perkawinan beda budaya seperti ini memiliki makna yang sama. Simbol boleh berbeda. Tetapi makna satu. Pengikat dan perekat untuk tidak pindah ke lain hati. (Alex Madji)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar