Kamis, 30 Juni 2011

Pengabdian


Tak terasa, sudah 10 tahun saya bekerja di PT Media Interaksi Utama yang menerbitkan Harian Umum Suara Pembaruan. Tepatnya 1 Juni lalu. Saya resmi tercatat bekerja di perusahan ini pada 1 Juni 2001. Pada tanggal itu, saya dan beberapa teman menandatangani kontrak di lantai empat kantor Suara Pembaruan di Jalan Dewi Sartika 136 D, Cawang Jakarta Timur.

Sebetulnya saya pertama kali masuk di perusahan itu pada 1 Februari 2001. Satu minggu pertama kami menjalani pendidikan di kelas. Lalu mulai minggu kedua Februari 10 tahun silam, kami masuk ke ruang redaksi. Kami diroling setiap satu minggu ke desk-desk yang ada di Suara Pembaruan. Kami belajar menulis dengan praktek langsung di lapangan.

Saya masih ingat, desk pertama yang saya masuki adalah Desk Budaya yang antara lain membawahi Kesra. Berita pertama saya yang dimuat di koran pun adalah liputan kesra, terutama soal pendidikan. Liputan-liputan selama di Desk Budaya adalah menghadiri undangan jumpa pers dan acara dari berbagai instasi. Masa-masa ini dikenal sebagai masa magang.

Kami mengakhiri masa magang pada 1 Juni 2001. Selama masa magang, kami diberi uang transpor Rp 175.000 per minggu. Setelah lulus masa magang kami diikat sebagai karyawan kontrak untuk jangka waktu satu tahun.

Setelah tanda tangan kontrak, kami, anak-anak baru ketika itu, langsung ditempatkan di Desk Metropolitan. Saya ditempatkan di Balaikota DKI Jakarta sebagian bagian dari Desk Metropolitan. Tidak sampai setahun saya di sana, awal 2002 saya lalu dipindahkan ke Desk Politik. Mula-mula saya menjadi wartawan floating yang meliput di mana pun ada acara. Di situlah saya mulai mengenal banyak nara sumber dan kawan wartawan. Selama bertahun-tahun saya menjadi wartawan Desk Politik, saya pernah meliput di Departemen Dalam Negeri (2002-2003), KPU (2003-2004), DPR (Oktober-Desember 2004), Istana Wakil Presiden (2005-2008), dan Istana Presiden (2009-November 2010).

November 2010, saya dipindahkan ke Desk Luar Negeri. Bergelut dengan pekerjaan terjemah menterjemah berita-berita dari kantor berita asing. Lalu pada Maret 2011, hanya satu bulan setelah kantor Suara Pembaruan dipindahkan dari Cawang ke Aryaduta Suites, Semanggi, saya diangkat menjadi Wakil Koordinator Portal SP hingga hari ini.

Dalam perjalanan waktu 10 tahun itu, ada banyak pengalaman pahit dan manis. Pengalaman pahit yang paling tidak bisa dilupakan adalah ketika pengangkatan saya sebagai karyawan ditunda pada 1 Juni 2002. Ketika itu hati saya bagai teriris sembilu. Gara-gara seorang redaktur yang kini sudah keluar dari Suara Pembaruan.

Menurut dia, saya belum layak menjadi seorang wartawan Suara Pembaruan. Padahal penilaian redaktur-redaktur lain, saya dinilai layak. Saya sakit hati. Masa kontrak saya pun diperpanjang selama enam bulan. Saya ketinggalan dari teman-teman seangkatan saya. Pengen keluar ketika itu. Tetapi, saya memikirkan adik-adik saya yang harus saya tanggung. Saat itu saya masih membiayai adik perempuan saya kuliah di STKIP St Paulus Ruteng, Flores NTT. Hanya karena mereka saya kuat meniti jalan ini. Masih banyak kisah pahit. Tapi cukup itu dulu.

Kisah manisnya juga banyak. Salah satunya, ketika pertama kali saya ditugaskan ke Palu, Sulawesi Tengah pada 2002. Ini adalah pengalaman pertama saya naik pesawat terbang. Sebagai anak kampung, tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa suatu saat saya naik pesawat terbang. Setelah itu, tugas ke luar kota begitu akrab dengan tugas jurnalistik saya. Semua kota provinsi di seluruh Indonesia sudah saya kunjungi. Banyak kabupaten/kota juga sudah didatangi.

Pengalaman manis lainnya, ketika seusai pemilu 2004, saya ditugaskan ke luar negeri untuk pertama kalinya, yaitu ke Taiwan. Tugasnya adalah liputan pariwisata di Formosa. Setelah itu hampir setiap tahun saya ditugaskan ke luar negeri hingga Akhir Januari sampai awal Februari 2010 lalu ketika saya ditugaskan ke India. Hanya 2011 ini saya belum ditugaskan lagi ke luar negeri.

Pada pengabidan 10 tahun ini, saya diberi sebuah piagam penghargaan dari perusahan. Hanya secarik kertas bertuliskan kata-kata penghargaan. Selain itu ada bonus masa kerja 10 tahun yang secara nominal kecil. Tetapi, saya tetap bersyukur, meskipun nilainya tidak seberapa.

Tepat pada 10 tahun berkarya di PT MIU, per 1 Juni 2011 lalu dimutasikan dari PT MIU ke PT Jakarta Globe Media. Saya tidak tahu apakah ini juga sebuah penghargaan atau tidak. Hanya pimpinan yang tahu. Sebab pemutasian itu tanpa didialogkan sebelumnya.

SK Pemutasian itu berlaku mulai 1 Juni 2011, tetapi baru saya terima pada 15 Juni 2011. Meskipun sampai tulisan ini saya buat, saya masih bekerja dan menulis untuk suarapembaruan.com. Yah, setelah Suara Pembaruan diakuisisi Lippo, koran sore dari Cawang ini menjadi satu grup dengan grup media milik Lippo.

Maka pemutasian ini adalah sebuah siarah baru lagi, sebuah pengabdian baru lagi dengan pemaknaan yang baru pula. Apakah saya bisa mengabdi 10 tahun lagi? Hanya waktu yang akan menjawab. Mari mengabdi. [Alex Madji]

Senin, 27 Juni 2011

Kembali ke Alam Bersama Kuda


Anak Anda pengen naik kuda? Atau sekedar ingin melihat kuda? Tidak usah panik. Datang saja ke Bintaro, Tangerang Selatan. TYpatnya di Graha Bintaro, setiap akhir pekan.

Setiap Sabtu dan Minggu, di sebuah lahan kosong di samping cluster Mahagoni Park, beberapa ekor kuda siap ditunggangi. Ada kuda gede, ada yang sedang, ada pula yang kecil. Ada kudah hitam, merah, dan putih. Tinggal pilih. Banyak orang tua datang dengan buah hatinya ke lokasi itu baik untuk sekedar melihat kuda maupun untuk naik kuda.

Sebenarnya, lokasi itu cukup luas. Tetapi para pemilik kuda tidak menjadikan seluruh lahan itu sebagai "lintasan" atau track. Entah apa alasannya. Hanya segelintir lahan yang mereka pakai sebagai track. Yah, tidak lebih dari satu lapangan voli.

Sekali putaran yang hanya seuprit itu dibayar dengan Rp 5.000. Dan rata-rata, seorang anak tidak puas hanya dengan sekali putaran. Musti dua atau tiga kali putaran. Tiga kali putaran itu tidak sampai 15 menit.

Soal keselamatan anak, tidak perlu khawatir. Sebab, pemilik kuda mendampingi anak dengan berjalan kaki di samping kuda. Anak-anak kecil yang belum bisa pegangan kekang, akan dipegang pemilik kuda. Sedangkan anak-anak yang sudah bisa mengendalikan kuda tidak dipegang, tetapi tetap diawasi.

Apalagi, rata-rata kudanya tidak berlari alias jalan. Kalau kudanya lari, ya satu putaran ditempuh hanya dalam beberapa detik.

Meski begitu, tiap Sabtu dan Minggu sore lokasi itu penuh padat. Tapi kadang-kadang, meskipun orang banyak, kuda-kuda itu nganggur. Sebab tidak sedikit warga yang datang ke lokasi yang tidak jauh dari Majid Bani Umar itu hanya untuk menghabiskan senja sambil menikmati ruang yang lega, daripada bertemu tembok terus di rumahnya.

Kalau Anda mau memperkenalkan anak Anda dengan kuda atau mau merasakan menunggang kuda, boleh datang ke "tanah kosong" itu. Dari sektor 9 ambil ke arah Graha Raya. Sementara dari Alam Sutera ke arah Pasar Segar lalu terus ke arah Sektor 9. Begitu Anda turun dari kendaraan, para pemilik kuda sudah menyambut Anda. Lalu rasakan nikmatnya berkuda. (Alex Madji)

Kamis, 23 Juni 2011

Jangan Pandang Sebelah Mata Tukang Tambal Ban


Perjalanan saya ke kantor hari ini (Kamis, 23 Juni 2011) agak sedikit tidak menyenangkan. Penyebabnya sederhana. Ban motor saya pecah. Untunglah pecahnya saat lampu merah di Pos Pengumben, Jakarta Barat, ketika hendak melewati Jalan Panjang. Lebih beruntung lagi, tidak jauh dari situ ada dua tempat tambal ban. Yang satu ke arah kantor Indo Pos, yang lainnya di Jalan Panjang ke arah ITC Permata Hijau.

Nah yang bikin capek adalah saya terlebih dahulu mendorong motor ke tukang tambal ban di jalan menuju Indo Pos itu. Sudah ngos-ngosan karena harus dorong motor di jalan tanjakan, si abang tukang tambal ban menolak karena karet tambalnya habis. Saya lalu balik kanan dan dorong ke tukang tambal ban di Jalan Panjang. Untunglah menuju ke situ jalannya menurun sehingga tidak membuat nafas ngos-ngosan lagi.

Sesampai di situ saya kebelet pipis pula. Setelah mengamati situasi, di belakang kios kecil pemilik tambal ban ternyata ada toilet super kecil. Ada closet biru kusam dengan air seember besar yang ditampung dari sebuah selang kecil yang dialir entah dari mana. Di bawah closet itu, ada sebuah pipa pembuangan yang ujungnya saya tidak lihat. Pipislah saya di situ. Yeah, lumayan lega.

Sekembalinya dari situ, saya ngobrol dengan tukang tambal ban itu. Pemuda itu mengaku bernama Ahmad. Asalnya Cirebon, Jawa Barat. Dia bekerja bersama seorang temannya dari Sumatera Utara yang saat itu masih tidur pulas di atas sebuah dipan kecil. Ada televisi 14 inchi juga di situ.

Menurut Ahmad, tambal ban itu buka 24 jam dan sudah bertahan tujuh tahun. Karena itulah mereka bagi dua shif. Temannya yang masih terlelap itu dinas malam, sementara dia dinas siang. “Kalau malam ada saja yang datang tambal ban atau isi angin,” ujar Ahmad.

Usaha keduanya bukan hanya tambal ban. Di samping tempat tambal ban itu, ada kios kecil. Isinya roti, air mineral, rokok, teh botol, dan sejumlah keperluan lainnya. Tambal ban dan jaga kios dijalankan secara bersamaan.

Menurut pria lajang ini, pendapatan mereka dari usaha tambal ban bisa mencapai Rp 100.000 per hari. Kadang lebih. Artinya, dalam sebulan mereka mendapat di atas Rp 3 juta. Pendapatan ini sudah jauh di atas upah minimum regional (UMR) DKI Jakarta.

Pendapatan itu hampir sama atau malah lebih besar dari penghasilan seorang sarjana yang bekerja kantoran. Bedanya, pekerja kantoran rada bersih dan necis, tetapi tukang tambal ban itu bergulat dengan oli dan debu. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah jangan menganggap enteng mereka, apalagi menghina mereka sebagai pekerja rendahan.

Ketika hendak mengakhiri catatan ini saya tiba-tiba teringat lelucon teman saya begini: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Lalu teman saya itu menambahkan, “Kecuali angin, dikuasai orang Batak.” Horas Bah. [Alex Madji]

Rabu, 22 Juni 2011

Kealpaan Negara


Sejak Sabtu, 18 Juni 2011 lalu, media di Jakarta riuh memberitakan soal hukuman mati yang diterima tenaga kerja Indonesia (TKI) Ruyati Binti Satubi di Arab Saudi. Ucapan belasungkawa, penyesalan, caci maki dan sumpah serapah memenuhi ruang publik, paling tidak di Jakarta.

Kasus itu kemudian berbuntut tuntutan mundur kepada Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar, Ketua BNP2TKI Jumhur Hidayat, serta Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Tetapi tidak sedikit pula, pengamat menilai hukuman mati Ruyati ini adalah bukti kegagalan Presiden SBY melindungi warga negaranya.

Sebab Ironis. Ketika Ruyati menjalani hukuman pancung di Arab Saudi, pada saat hampir bersamaan, Presiden SBY berbicara tentang perlindungan tenaga kerja migran di International Labor Organization (ILO) di Swis.

Para politisi Partai Demokrat seperti Saan Mustopha dan Ramadhan Pohan pun tangkas. Mereka menilai, terlalu berlebihan kalau kasus Ruyati diarahkan kepada SBY.

Sebelum kasus Ruyati menyeruak, ada satu kasus kematian lagi yang tidak kalah mengenaskan. Seorang nenek tua meninggal secara tragis di Jalan Thamrin, yang jaraknya hanya sepelemparan batu jauhnya dari Istana Presiden yang beralamat di Jalan Medan Merdeka Utara. Berita tentang kematian nenek tua ini sempat dipublikasikan media televisi. Diberitakan, kemungkinan nenek tua ini meninggal karena kelaparan. Sebab tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh ringkihnya. Sayang, kepergian nenek tua ini tenggelam oleh kasus kematian Ruyati. Begitulah media di Indonesia. Kematian nenek tua itu dianggap kurang seksi sebagai berita dibandingkan Ruyati.

Padahal baik Ruyati maupun nenek tua yang mati di Thamrin itu sama-sama warga negara Indonesia. Keduanya sama-sama meninggal secara mengenaskan. Bedanya, Ruyati meninggal di luar negeri, sementara nenek tua tadi meninggal di Jalan Thamrin yang menjadi pusat perputaran ekonomi Indonesia di di luar pagar Istana Presiden.

Dari dua kasus itu, ada satu hal yang pasti. Yaitu, negara alpa melindungi warga negaranya baik di dalam maupun di luar negeri. Konstitusi mengamantkan bahwa negara harus “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Ya negara. Siapa negara? Ya Presidennya. Karena Presiden SBY yang kini sedang menjabat harus bertanggung jawab atas kematian Ruyati dan nenek tua itu.

Tetapi pertanggungjawaban SBY tidak harus dengan cara dimakzulkan. Sebagai kepala pemerintahan, SBY bisa saja memberi sanksi terhadap bawahannya yang sudah ditugaskan untuk mengurus TKI tetapi tidak bekerja optimal, seperti BNP2TKI. Begitupun lembaga yang sudah ditugasi mengurus fakir miskin, seperti Kementerian Sosial tetapi tidak menjalankan tugasnya sehingga seperti nenek tua tadi harus meninggal secara mengenaskan di dekat Istana Presiden.
Sayang, tidak banyak media yang mengangkat kealpaan negara dalam melindungi warga negaranya. Dan, media terlalu fokus pada kasus Ruyati seraya melupakan nenek tua yang meninggal secara mengenaskan di luar pagar Istana Presiden. [Alex Madji]

Etos Kerja


Selasa 21 Juni 2011 kemarin, saya marah besar. Penyebabnya sederhana. Ada seorang calon wartawan yang masih magang di desk saya, ngelunjak. Bayangkan. Dia baru mengirim pesan singkat bahwa dia kesiangan pukul 08.15 WIB, tanpa alasan dan penjelasan yang logis.

Enaknya lagi, dia minta langsung ke TKP alias tempat kejadian perkara (istilah polisi yang diadopsi dunia jurnalistik). Sebagai orang yang bertanggung jawab sementara atas pendidikannya sebagai wartawan, saya sedikit keras dengan kata-kata sedikit pedas. Sebab menurut saya, dan itu yang saya alami ketika tahun-tahun pertama saya menjadi wartawan 10 tahun silam, wartawan baru harus pulang paling akhir dan datang paling pertama di kantor keesokan harinya. Dengan kata lain, bila perlu wartawan baru itu bekerja 24 jam.

Tetapi justru kata-kata sedikit pedas saya itu ditanggapi dengan lebih keras sama dia. Saya kutip saja pesan singkatnya. “Lho kok malah begitu. Aku kan bilang baik2, aku kesiangan. Kok malah dihina. Jangan mentang-mentang anda atasan saya bang bisa menghina.”

Saya lalu menyuruh dia ke kantor sesegera mungkin. Sesampainya di kantor, saya suruh dia duduk di samping meja saya. Saya tanyakan alasan mengapa dia kesiangan. Sebab saya tidak menugaskan dia meliput sampai malam, apalagi sampai dini hari.

Apa yang terjadi? Dia justru melakukan kebohongan. Dia menceritakan bahwa dia meliput acara jumpa pers Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar tentang TKI asal Bekasi Ruyati binti Satubi yang dihukum pancung di Arab Saudi. Menurut dia, acara yang berlangsung Senin (20/6/2011) itu dimulai jam 20.00 WIB. Padahal, faktanya, acara jumpa pers itu sudah berlangsung dari jam 16.00 WIB dan disiarkan secara langsung oleh TVOne dan Metro TV. Konyolnya lagi, berita live kedua televisi, dianggapnya bohong. Sebab menurut dia acara itu baru dimulai pukul 20.00 WIB. Dia pun baru bikin beritanya pada Selasa (21/6/2011) pagi.

Kebohongan demi kebohongan ini membuat saya tambah marah sampai bibir bergetar dan seisi kantor memelototi kami. Saya pun usir kawan itu dan mengatakan bahwa saya tidak akan memberinya tugas lagi selama berada di bawah tanggung jawab saya. Dengan kata lain, saya persona non grata-kan kawan ini.

Setelah itu, anak ini hilang entah ke mana. Dan, Rabu (22/6/2011) tidak menampakkan batang hidungnya lagi di kantor.

Saya berpendapat, setiap karyawan sebuah perusahan, termasuk wartawan, harus memiliki etos kerja. Ini syarat utama bagi semua upaya peningkatan kualitas tenaga kerja atau SDM, baik pada level individual, organisasional, maupun sosial.

Pada kawan itu saya tidak melihat ada etos kerja. Yang ada malah kebohongan dan tipu muslihat. Bila hal seperti ini dipelihara, perusahan tidak akan maju. Asumsi saya, baru masuk saja sudah begitu, apalagi kalau sudah menjadi pegawai tetap. Bisa hancur perusahan.

Kalau ini menjadi sikap dasar, maka perilaku seperti ini akan selalu muncul. Dan, perusahan mana pun pasti tidak mau menampung orang-orang seperti ini. Karena itu tidak ada gunanya mempertahankan orang-orang yang tidak memiliki etos kerja yang baik. [Alex Madji]

Senin, 20 Juni 2011

Berburu Barang Bermerek di Sogo Jongkok BTC


Anda ingin mendapat barang-barang bermerek dengan harga miring? Cobalah berkunjung ke Bintaro Trade Center (BTC). Ini salah satu alternatif. Letaknya cukup strategis. Bila ikut tol Lingkar Luar Jakarta atau Jakarta Outer Ring Road (JOR), Anda keluar di Pondok Aren, lalu menuju ke Bintaro.

Menjelang jembatan layang Bintaro (yang sedang dibangun) Anda belok kiri. Lalu jalanlah pelan-pelan dan siap-siap masuk BTC. Di kawasan itu banyak pedagang kaki lima menjajakan dagangan. Ada pakaian, sepatu, tas, mainan anak-anak, dan masih banyak lagi. Semuanya bermerek.

Kalau sudah capek berkeliling dan kelaparan, jangan khawatir. Di situ juga ada penjual makanan yang siap memanjakan lidah Anda.

Sebenarnya ini adalah pasar kaget. Aslinya, BTC itu adalah deretan rumah toko (ruko). Karena pasar kaget, maka tidak dibuka setiap hari. Hanya sekali seminggu yaitu pada hari Minggu. Meski begitu, sesungguhnya para pedagang sudah ada di tempat itu sejak Sabtu sore.

Minggu, 19 Juni 2011, setelah pulang Gereja Santa Mari Regina (Sanmare) yang terletak tidak jauh dari BTC, kami mampir sebentar di situ. Kami jumpai sepatu-sepatu bermerek seperti Geox, Kickers, Adidas, dan merek-berek kenamaan lainnya. Merek boleh keren, tetapi harganya miring. Original dan bisa ditawar pula. Mak tak pelak, BTC menjadi Sogo Jongkok.

Sebagai contoh, saya membeli sepasang sepatu Kickers hanya dengan harga Rp 190.000. Tadinya dijual Rp 200.000. Tetapi setelah ditawar, hanya boleh turun Rp 10.000 ke Rp 190.000. Coba bandingkan harga sepatu dengan merek yang sama di etalase-etalase mal-mal berbintang di Jakarta.

Saya juga membeli sepatu sandal Geox untuk anak saya dengan harga Rp 100.000 dari Rp 125.000 yang ditawarkan. Saya pernah menyanyakan harga sandal serupa di sebuah mal di Jakarta. Astaga, harganya hampir dua kali lipat.

Menurut salah seorang penjual sepatu-sepatu bermerek itu, barang-barang yang mereka jual original dan dijamin kualitasnya. Lalu kenapa dijual murah? Menurut dia, barang-barang itu adalah produk-produk yang mengalami sedikit cacat. Dan, mereka mengambilnya langsung dari pabrik. Tetapi kalau kita jeli, kata dia, tidak sedikit barang yang tanpa cacat alias mulus.

Nah, Anda tidak percaya? Buktikan saja sendiri. Silahkan datang ke BTC setiap hari Minggu. [Alex Madji]

Kamis, 16 Juni 2011

Membaca Jurus Mr A Partai Demokrat


Kemelut yang dihadapi Partai Demokrat melahirkan jurus baru dari partai penguasa tersebut. Jarus itu bernama Mr A yang pertama kali meluncur dari mulut Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Ramadan Pohan.

Pohan yang mantan wartawan itu hingga kini tidak mengungkapkan identitas Mr A. Tetapi jurus ini sedikit meredakan serangan bertubi-tubi kepada partai yang didirikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut.

Salah satu petinggi partai itu yang juga mantan Ketua Ahmad Mobarok juga mengeluarkan pernyataan Mr A. Tetapi kali ini terkait dengan kemunculan Sri Mulyani Indrawati untuk menjadi calon presiden pada 2014. Mubarok mengatakan, Mr A ada di balik Sri Mulyani. Belum ketahuan apakah jurus Mr A ini bisa menghambat gerak laju mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani itu.

Kemudian, beberapa hari lalu, ada teman yang men-tag foto lucu. Almarhum Soeharto, seorang jenderal bintang lima sedang berdiri di depan kelas dengan papan tulis hitam di belakangnya, mengajar. Sementara seorang murid duduk dengan takjim mendengar penjelasan sang guru. Murid itu adalah SBY.

Entah apa maksud orang yang membikin gambar tersebut. Tetapi orang awam seperti saya membacanya begini: SBY adalah satu-satunya murid Soeharto (karena hanya dia siswa di kelas yang diajarkan Soeharto itu). Pembacaan itu didukung oleh fakta bahwa SBY adalah salah satu petinggi TNI ketika Soeharto masih berkuasa. Bahkan, seperti diakui SBY sendiri, SBY-lah salah satu otak di balik reformasi TNI sebelum akhirnya Soeharto turun.

Lalu apa kaitannya jurus Mr A dan gambar tersebut? Soeharto adalah ahli strategi. Juga dalam politik. Salah satu hal yang terkenal pada masa Soeharto adalah politik kambing hitam. Orang lain dituduh dan dijadikan korban demi sebuah tujuan penguasa. Pada 1996, misalnya, penyang kantor PDI-P di Jalan Diponegoro adalah TNI. Tetapi yang dituduh adalah Budiman Sudjatmiko dengan PRD (Partai Rakyat Demokrati)-nya. Budiman dan kawan-kawan kemudian dijebloskan ke penjara.

Saya melihat, strategi Soeharto itulah yang di copy paste dan dimodifikasi oleh Partai Demokrat dengan Mr A-nya. Penyebutan Mr A itu adalah hasil modifikasi. Modifikasi lainnya adalah pernyataan itu disampaikan oleh orang-orang sipil. Padahal, hal itu murni taktik dan strategi khas militer.

Strategi itu terbukti mampu meredam serangan terhadap Partai Demokrat. Publik disibukkan untuk mencari-cari sendiri siapa Mr A yang misterius itu. Publik kemudian lupa pada persoalan pokok yang seharusnya dipertanggungjawabkan oleh Partai Demokrat yaitu korupsi di Kementerian Pemuda dan Olah Raga. [Alex Madji]

Senin, 13 Juni 2011

Menguji Sebuah Kejujuran dengan Segelas Urin


Saya mau men-share-kan cerita lucu dan konyol. Hari Minggu 12 Juni 2011 kemarin, saya main ke sebuah rumah kos di kawasan Cempaka Putih Jakarta Pusat. Di rumah kos itu, di salah satu kamar, tinggallah dua saudara sepupu, Leksi Armanjaya dan Jonsi Lopong.

Leksi seorang profesional muda, sementara Jonsi adalah seorang calon mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebagai kakak, Leksi menekankan kejujuran kepada sepupunya itu. Karena itu dia menguji seberapa jujur Jonsi ini.

Suatu kali, Leksi tinggalkan sprite di kamar kos itu. Begitu pulang kantor, sprite itu habis. Leksi tidak pernah protes. Beberapa hari kemudian, Leksi tinggalkan madu. Habis juga. Lagi-lagi tidak ada ungkapan kemarahan dari Leksi. Tetapi pada saat bersamaan muncul pikiran nakal untuk mencobai Jonsi.

Hari berikutnya, Leksi menabung urinnya sendiri di sebuah gelas kaca. Warna urin itu mirip bir. Lalu dia letakkan secara baik, layaknya minuman yang akan diminum. Kebiasaan Jonsi menikmati apa saja yang ditinggal saudaranya itu kambuh.

Mata Jonsi tiba-tiba tertuju pada gelas kaca itu. Dalam hati dia berpikir, “Ah enak juga kalau minum bir siang-siang begini.” Tanpa pikir panjang, Jonsi mengambil gelas “bir” itu dan langsung di arahkan ke mulutnya.

Seketika itu juga dia menghirup bau tidak sedap. Seteguk “bir” itu sudah masuk ke mulutnya, untung belum ditelan. Saat itu dia tersadar bahwa itu bukan bir benaran, tetapi urin.

Jonsi mengisahkan kisah ini di sela-sela kami membicarakan sesuatu yang serius. Tak pelak, cerita dan pengakuan yang jujur dan polos itu ini mencairkan suasana dan mengocok perut. Tetapi begitulah sebuah kejujuran diuji dengan segelar uirn. Intinya, kejujuran penting dalam hal sekecil apa pun. [Alex Madji]

Berperan sebagai Istri


Sejak Sabtu (11/6/2011) lalu hingga Rabu (15/6/2011), istri saya bertugas keluar kota. Tidak jauh. Hanya ke Surabaya dan Malang. Sejak hari itu saya berperan sebagai istri di rumah. Saya harus mengurus kedua buah hati kami; Carrol Houben Alleindra (2,5 tahun) dan Enrique Paulo Vera Alleindra (10 bulan).

Saya memang tidak sendiri. Ada dua orang pembantu. Tetapi praktis mereka hanya berperan pada siang hari, ketika saya bekerja. Begitu saya pulang, kedua pangeranku itu saya urus sendiri.

Malam pertama ditinggal maminya, si bungsu, Enrique rewel. Tiap dua jam nangis. Jam 22.00 WIB bangun dan menangis. Jam 24.00 nangis. Jam 02.00 bangun dan nangis lagi. Jam 04.30 bangun lagi. Ternyata dia minta susu. Praktis malam itu saya tidak tidur. Repot.

Parahnya lagi, begitu si sulung (Carrol) sadar dan tidak mendapatkan papi di sampingnya, dia pun menangis. Biasanya, saya tidur di sampingnya dan berpelukan. Mulai Sabtu itu saya tidur di kaki mereka. Tujuannya, untuk menghalangi Enrique agar tidak tiba-tiba turun dari tempat tidur yang agak tinggi.

Nah ketika keduanya menangis, saya pusing sendiri. Sambil gendong adik, saya ke samping kakaknya, mengelus-elus kepalanya sampai dia tertidur kembali. Sementara adiknya diam setelah digendong. Setelah itu baru bikin susu untuk adik.

Lucunya lagi, jam 02.00 Carrol bangun minta pipis, adiknya juga bangun. Saya dilema. Kalau bawa Carrol ke kamar mandi, saya takut adik jatuh dari tempat tidur. Untung di kamar ada ember untuk tampung air AC. Carrol pun saya arahkan pipis di ember itu.

Makin malam saya makin cemas karena belum tidur. Baru saja merem, eh jam 04.30 adik sudah menangis lagi. Saya pun keluar kamar dan ketok pintu pembantu. Saya minta mereka urus adik. Mereka kemudian membuatkan dia susu dan tertidur di kamar pembantu sampai pagi. Sementara saya tidur dengan kakak.

Minggu (13/6/2011) malam, suasana agak beda. Adik tidur nyenyak. Sempat tidur di kamar pembantu sampai pukul 22.00, tetapi kemudian karena menangis, saya ambil dan tidur bertiga di kamar kami. Dia baru bangun pukul 02.00 dini hari. Begitu menangis, saya langsung gendong dan membawanya ke dapur sambil bikin susu. Setelah minum susu sambil tiduran, dia pun terlelap dan baru bangun pukul 5.30.

Pengalaman Sabtu (11/6/2011) malam itu menyadarkan saya bahwa ternyata menjadi ibu itu tidak mudah. Dia harus menyediakan ASI setiap saat untuk anaknya. Dia rela tidur tidak nyenyak. Lebih luar biasa lagi saat menyaksikan istri melahirkan. Sungguh perjuangan hidup-mati. Maka, ketika ditinggal istri, saya tidak merasa terbebani mengambil alih perannya sebagai ibu. [Alex Madji]

Jumat, 10 Juni 2011

Mereka-reka Pernyataan SBY


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pembukaan President Lecture di hadapan para pemimpin muda potensial di Jakarta, Kamis (9/6/2011) berjanji bahwa dia, istri, dan anak-anaknya tidak akan maju dalam pemilu presiden 2014.

Dia bilang begini, “Nama saya SBY. Saya Presiden RI ke-6. Saya bukan calon presiden 2014. Istri saya, sekali lagi, istri saya dan anak-anak saya tidak akan dicalonkan pada pilpres 2014. Saya juga tidak mempersiapkan siapa pun. Biarkanlah demokrasi berjalan dan rakyat memilih sendiri pemimpinnya.”

Pernyataan ini bukan hal baru. Berulang kali SBY menegaskan hal ini dalam berbagai kesempatan. Tetapi pernyataan itu sebaiknya jangan diterima sebagai sebuah kebenaran mutlak. Sebab pernyataan ini diucapkan oleh seorang politisi kawakan dan karena itu pula bernilai politis sangat tinggi. Dalam politik tidak ada yang pasti. Hari ini A, besok bisa B. Dalam politik, satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri.

Dengan menegaskan kembali hal itu, sebenarnya SBY mau menyampaikan pesan tertentu. Dengan pernyataan itu SBY mau memperlihatkan wajah demokratis, taat konstitusi dan tidak haus kekuasaan. SBY mau memperlihatkan bahwa dia adalah seorang negarawan.

Konstitusi memang sudah membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode. Tetapi ada kekhawatiran publik bahwa SBY akan mengamandemen pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) yang membatasi masa jabatan presiden tersebut melalui fraksi-fraksi pendukung pemerintah di MPR untuk tetap berkuasa. Apalagi, dorongan untuk amandemen konstitusi sangat tinggi, terutama dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Sekilas, kekhawatiran dan keresahan itulah yang mau ditepis SBY dengan pernyataan tadi.

Dan, dengan mengatakan bahwa istri dan anak-anaknya juga tidak akan menjadi calon presiden pada 2014, SBY memperlihatkan wajah yang teduh bahwa dia bukan tipe pemimpin yang mau memelihara dinasti kekuasaannya seperti Kim Jong-Il di Korea Utara (Korut) yang mempersiapkan putranya Kim Jong-un sebagai penggantinya. Atau SBY tidak mau seperti almarhum Presiden Argentina Nestor Kirchner yang mendorong istrinya Cristina Kirchner untuk maju dalam pemilu presiden Negeri Tango itu, dan akhirnya terpilih, karena dilarang konstitusi untuk maju lagi untuk periode ketiga. Meskipun Nestor Kirchner masih sangat populer saat itu.

Apa ujung dari semua ini? Tidak lain ada politik pencitraan. Ini adalah upaya mengangkat kembali citra SBY yang terus menurun dalam satu tahun terakhir. Sebab, survei berbagai lembaga menunjukkan bahwa popularitas SBY anjlok tajam dari sekitar 60 persen setelah pemilu 2009 ke angka di bawah 50 persen pada awal tahun ini. Begitupun tingkat elektabilitas istrinya, Ny Ani Yudhoyono masih rendah dan kalah jauh dari Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.

Dengan demikian, kalau citranya pulih dan popularitas naik kembali dan terjaga hingga menjelang pemilu presiden 2014, kemungkinan faktanya akan lain. Mari kita tunggu kebenaran pernyataan ini menjelang 2014. [Alex Madji]

Kamis, 09 Juni 2011

Melihat Yesus yang Melangit (2)


Kami berangkat ke Patung Cristo Redentor di Gunung Carcavado dari Hotel JW Marriot yang terletak di bibir Pantai Copacabana - tempat Presiden Yudhoyono dan delegasi resminya menginap, menggunakan minivan hotel. Mobil itu hanya sampai di stasiun trem. Jaraknya hanya 15 menit perjalanan dari hotel. Sesampai di stasiun, kami mengantri membeli tiket masuk. Harganya 36 Real. Dalam tiket, tertera kami harus berangkat pukul 09.30. Tetapi 10 menit sebelum waktunya kami sudah meninggalkan stasiun. Dua gerbong trem itu penuh, bukan hanya oleh kami tetapi juga oleh wisatawan lainnya.

Kami berhenti sebenar di Estacao (stasiun) Paineiras, sebelum akhirnya turun di Estacao Christo Redentor, tempat tujuan terakhir. Jarak tempuhnya hanya 25 menit. Itu pun dengan kecepatan yang rendah karena harus mendaki gunung yang cukup tinggi. Di sisi kiri kanan jalan, hutan cukup lebat. Menjelang stasiun terakhir ada patung Bunda Maria dan Santo Yosef. Selain menggunakan trem, untuk sampai ke puncak juga bisa menggunakan mobil pribadi, tetapi parkirannya agak jauh dari puncak.

Turun dari trem, tiket kami diperiksa petugas sebelum diijinkan naik lift. Keluar dari lift, masih harus melewati dua eskalator untuk sampai ke Patung Christo Redentor yang berdiri kokoh di puncak gunung batu itu. Sebenarnya untuk sampai ke sana, bisa juga melalui tangga di samping kanan ekslator itu. Orang yang tidak tahan di ketinggian pasti gemetaran bila melihat ke bawah.

Sesampai di Puncak, kami tidak hanya mengagumi patung Yesus yang tinggi menjulang seolah menyentuh langit dan kokoh sambil merentangkan tangan melindungi Kota Rio de Jeneiro, tetapi juga menikmati keindahan kota itu. Tidak ada yang tersembunyi dari kota itu. Semuanya telanjang bulat. Sungguh sebuah keindahan yang menakjubkan.

Wisatawan yang ke sana tidak menyia-nyiakan momen itu. Semua berlomba-lomba berfoto baik dengan latar belakang Patung Christo Redentor maupun berlatar belakang Kota Rio de Jeneiro. Orang yang difoto dan pemotret sama-sama bergaya. Biar Patung Christo Redentor terekam utuh, pemotret rela mengambil gambar dengan berbaring. Yang difoto bergaya merentangkan tangan, meniru gaya Patung Christo Redentor di belakangnya. Di sana juga ada pemotretah langsung jadi. Tetapi kelihatannya mereka tidak terpakai karena semua orang membawa kamera.

Di bawah kaki Yesus ada sebuah kapel. ”Capela de Nossa Senhora da Apareida” namanya. Di dalamnya ada 22 tempat duduk dengan sebuah altar, mimbar, taber nakel, dan sebuah kotak kolekte. Setiap orang yang berdoa di situ dengan suka rela memasukkan uang kolekte ke kotak tersebut. Di pintu masuk, ada seorang penjaga yang dengan ramah mempersilahkan setiap pengunjung masuk dan berdoa sejenak di situ. Tidak jarang orang berdoa di sana sambil meneteskan air mata. Entah apa yang mereka alami.

Yang berwisata ke situ bukan hanya orang yang beragama Katolik, tetapi siapa saja yang ingin menikmati keindahan alam yang diciptakan-Nya dan keagungan karya cipta manusia dalam membangun tempat wisata tersebut.

Sebenarnya waktu satu jam lebih belum cukup untuk menikmati keindahan di sana. Tetapi apa mau dikata, waktu sangat terbatas. Kami harus segera turun melalui rute yang sama. Dua puluh lima menit kemudian, kami tiba di stasiun keberangkatan dan dengan bus kembali lagi ke hotel untuk berkemas meninggalkan Rio de Jeneiro dengan Pantai Copacabana yang eksotik dan Cristo Redentornya yang agung menuju Lima, Peru untuk mengikuti KTT APEC. Sampai jumpa di Rio de Jeneiro. [Alex Madji]

Sebuah Siang di Copacabana (1)


Pengantar: Tulisan ini adalah pengalaman saya berada di Rio de Jeneiro, Brasil. Sudah dimuat di blog saya yang lain, tapi saya tampilkan lagi di sini. Saya bagi dua soal Pantai Copacana dan Patung Cristo Redentor. Selamat menikmati.

Rio de Jeneiro tiga tahun silam. Tepatnya, Kamis 20 November 2008. Pagi itu cuaca sangat cerah. Udara pun tak terlalu panas seperti daerah tropis umumnya, serasa seperti di Jakarta. Jas dan jaket penahan dinggin ditanggalkan. Cukup pakai kaus oblong. Sehari sebelumnya kota metropolitan dan industri Brasil itu mendung dan diguyur hujan, saat Pesawat Kepresidanan Garuda Indonesia Airbus A-330 mendarat di Bandar Udara Internasioanl Galeo Antonio Carlos Jobim.

Memasuki Kota Rio de Jeneiro, orang akan terpikat pada dua hal yaitu Pantai Copacabana yang begitu mempesona dan Patung Christo Redentor, pelindung kota itu. Keduanya masyhur. Patung itu terletak di atas gunung batu Corcovado di belakang Kota Rio de Jeneiro. Dari sana, pemandangan seluruh kota terlihat indah. Lekukan, kontur bukit, dan detali-detail kota, serta garis Pantai Copacabana transparan sekali.

Keindahan alam dan karya manusia itu langsung menutup pemandangan lain Kota Rio de Jeneiro yang di beberapa sudutnya masih kumuh, dinding-dinding rumah, kantor dan papan reklame yang penuh coretan orang iseng merusak pemandangan. Begitulah Rio de Jeneiro. Pemandangan itu mungkin sekaligus menunjukkan karakter ibu kota negara-negara berkembang, seperti juga Jakarta.

Dalam cuaca yang cerah di hari itu, pemandangan Pantai Copacabana sangat indah dan mengagumkan. Dia sangat cantik dan mempesona. Semakin mempesona karena sejak pagi, orang sudah memenuhi pantai yang luas itu serta sebagaian jalan yang memang sengaja ditutup bagi kendaraan sehingga warga bisa dengan leluasa ber-jogging. Kebetulan hari itu merupakan hari libur nasional bagi rakyat Brasil.

Hampir semua orang di sepanjang pantai dengan deburan ombak yang tinggi itu telanjang. Laki-laki dari yang muda sampai yang tua hanya mengenakan celana dalam. Beberapa di antaranya mengenakan celana pendek. Sedangkan perempuan, tua muda, lenggang kangkung berjalan maupun jogging di pedestarian yang luas dan median jalan hanya mengenakan bra. Tak ada yang terusik. Banyak pula yang membawa serta binatang kesayangannya, seperti anjing.

Di bibir pantainya, ditemukan sangat banyak lapangan bola voli yang dipakai baik untuk voli pantai, voli biasa atau bahkan untuk takraw menggunakan bola kaki. Makin siang, suasana pantai makin ramai. Ribuan orang berjemur di bibir pantai, seperti yang bisa disaksikan di Pantai Kuta Bali. Tetapi bedanya, di pantai itu baik pria maupun wanita atau gabungan pria-wanita bermain voli pantai. Sangat serius.

Tak ketinggalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menikmati indahnya Pantai Copacabana. Dia bersama sejumlah menteri dan pasukan pengamanan kepresidenan bermain voli di bibir pantai. Serius. Sementara Ibu Ani setia memberi semangat di pinggir lapangan. Hari itu, jarak SBY, Ibu Ani dengan rombongan kunjungan Presiden SBY ke Brasil sangat dekat.

Kata Ibu Ani, Pak SBY tidak bisa lagi optimal bermain voli karena permainan yang disukai SBY itu tidak lagi direkomendasikan dokter. Pasalnya, Presiden SBY mengalami gangguan lutut.

Setelah bermain voli di bibir pantai pada pagi yang indah itu, Presiden SBY, Ibu Ani dan para menteri kembali ke hotel. Sementara tim hore, termasuk wartawan, berwisata ke Patung Cristo Rendetor. Kebetulan jadwal dua hari Presiden SBY di Rio de Jeneiro tidak padat. Smangat! [Alex Madji]

Kalau ke Ambon, Jangan Lupa ke Tulehu


Kalau Anda ke Ambon, jangan lupa ke lokasi wisata alam yang mengandalkan permandian air panas di daerah hutan yang asri. Di sana, Anda berendam di kolam air panas sambil menyeruput secangkir kopi hangat atau menikmati makanan ringan.

Wartawan Suara Pembaruan dari Ambon, Vonny Litamahuputty menceritakan, lokasi itu terletak di desa Tulehu Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) yang berjarak hanya 25 kilometer dari Kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku. Nama lokasi itu, Permandian Air Panas Tulehu. Selain menawarkan pemandangan alam yang indah, berendam di kolam air panas yang jernih bisa membuat masyarakat lebih rileks dan segar.

Ini adalah salah satu objek wisata yang berguna untuk terapi kesehatan alami. Memanjakan dengan air jernih bersuhu hangat dan memungkinkan pengunjung berendam sepuasnya sambil menyeruput kopi atau menikmati makanan ringan dan mie instan panas yang memanjakan lidah Anda.

Selain keunikan sumber air panas yang menyembul dari bebatuan, berendam di kolam yang hangat di sekitarnya juga dipercaya bisa menyembuhkan beragam penyakit kulit dan rematik.

"Saya senang menghabiskan liburan akhir pekan di sini. Selain karena alasan sehat berendam di air panas, juga karena alamnya yang asri," ujar Johan Gerson (70), pengunjung Hatuasa di Tulehu.

Air panas Hatuasa mulai dibangun pada tahun 1993 oleh Muhammad Nahumarury, seorang punawirawan TNI. Pertama dibuka, pengunjung yang datang tidaklah banyak karena akses jalan menuju lokasi air panas berbatu dan sulit dilalui. Terlebih dihalangi kali yang sewaktu-waktu banjir jika turun hujan. Jangankan mobil, motor saja susah lewat.

Pada hari-hari biasa jumlah pengunjung berkisar 300 orang per hari. Sedangkan hari libur atau akhir pekan yakni sabtu dan minggu mencapai 600 orang

"Sejak pertama dibangun pemiliknya tahun 1993, sumber air panas Hatuasa diniatkan untuk sarana terapi kesehatan bagi mereka yang ingin menjalankan terapi kesehatan secara alami," kata Syam Adam, tokoh masyarakat desa Tulehu di Ambon.

Syam yang juga keluarga pemilik sumber air panas Hatuasa mengatakan, seiring bergulirnya waktu, sarana air panas itu meningkat fungsinya sebagai objek wisata dan terapi dengan merendam tubuh.

Mea Culpa

Tak terasa, blog ini berusia satu tahun. Tetapi dalam kurun waktu itu, blog ini mengalami tidur panjang. Tak ada nafas. Tak ada hidup. Sejak dibikin Mei 2010, praktis dia bertahan hidup selama tiga bulan. Setelah itu mati suri.

Penyebabnya tidak lain karena kealpaan pengasuhnya. Saya absen hadir setiap hari dengan cerita apa saja. Padahal, tidak sedikit cerita yang dijumpai. Lagi pula, semula saya bertekad untuk mengisi blog ini dan berbagi cerita apa saja secara rutin. Tapi itulah manusia. Selalu ada saja keterbatasan dan kelemahan serta selalu ada alasan pemaaf.

Karena itu, pada saat ini saya hanya hadir untuk mengaku dosa. Dosa karena tidur terlalu panjang dan alpa mengisi blog ini. Padahal, trafiknya lumayan dengan 415 pageview. Daripada berpanjang kata, sekali lagi saya mau mengaku dosa atau mea culpa dalam Bahasa Latin. (Alex Madji)