Selasa, 30 Januari 2018

Saya pun Terkejut

Saya kaget melihat blog saya ini, ciar-ciar.blogspot.com. Setelah lama tidak diisi dan dikunjungi, ternyata masih ada saja yang menengok. Buktinya, pageview-nya sudah mencapai 756.997. Sebagai sebuah blog yang tidak terawat dengan baik, angka ini tergolong lumayan. Makanya di artikel kecil ini saya mau menulis keterkejutan saya.

Terakhir saya memuat artikel di blog ini pada Jumat 24 Juni 2016 berjudul Serang Teman Ahok, Senjata Makan Tuan. Itu pun dilakukan di sela mengisi weblog Ciarciar.com. Gara-gara mengisi Ciarciar.com, versi blogspotnya jadi terlantar.

Padahal, dua bulan belakangan Ciarciar.com juga tidak pernah di-update lagi. Terakhir, saya menurunkan serial tulisan hasil perjalanan ke Macao selama lima hari. Setelah itu, absen sampai saat ini. Belum ada inspirasi lagi untuk menulis. Alasan basi.

Padahal sesungguhnya malas. Banyak waktu terbuang percuma dan dihabiskan buat main media sosial. Juga karena agak sedikit "hopeless". Untuk apa sih saya buat weblog ini. Dapat uang saja tidak, justru keluar uang untuk bayar hosting dan domain per tahun. Hal-hal seperti ini yang bikin putus asa sehingga baik weblog maupun versi blogspot tidak rutin diisi.

Tiba-tiba, Selasa 30 Januari 2018, Facebook mengingatkan saya akan sebuah artikel yang saya turunkan pada hari ini dua tahun silam. Saya tergoda untuk buka dan baca lagi. Kemudian masuk ke home lalu lihat statistik di ujung bawah. Ah, ternyata sudah punya pageview sudah 756.997 alias sudah mendekat satu juta.

Artinya, saya tidur pun ternyata blog ini terus tumbuh dan dikunjungi. Sehubungan dengan itu, saya mengucapkan terima kasih kepada Anda yang sudah bertamu, termasuk yang membaca tulisan sederhana ini, meski saya tidak sadar karena tertidur lelap untuk waktu yang panjang. Mudah-mudahan saat Anda berkunjung lagi sudah ada sesuatu yang baru di sini.

Jumat, 24 Juni 2016

Serang Teman Ahok, Senjata Makan Tuan

Selasa 21 Juni 2016 malam, pada sebuah acara televisi, politisi PDI Perjuangan Junimart Girsang mengungkapkan bawah “akan ada berita besar dari internal Teman Ahok pada pukul 13.00 WIB Rabu, 22 Juni 2016.” Menyusul pernyataan ini, Rabu pagi, seorang kenalan saya lalu bertanya berita besar apakah yang akan muncul siang itu di facebook.

Lalu pada Rabu, 22 Juni 2016 siang datanglah berita di media online hasil konferensi pers mantan Teman Ahok di sebuah kafe di Jakarta Pusat. Tiga di antaranya adalah Paulus Romindo, Dodi Hendaryadi, dan Richard Sukarno. Mereka menyebut bahwa Teman Ahok melakukan banyak manipulasi dalam mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) dukungan untuk Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Banyak tuduhan dari kelompok ini terhadap Teman Ahok. Baca saja beritanya di sini.

Setelah berita ini muncul di media online, di media sosial muncul beragam reaksi. Umumnya menyerang balik mantan teman Ahok tersebut. Kelompok mantan teman Ahok ini dicap sebagai orang bayaran pihak tertentu. Media sosial kemudian membongkar latar belakang mereka.

Ternyata, mereka ini adalah anggota kelompok organisasi masyarakat bentukan dan dipimpin politisi PDI Perjuangan. Simak saja informasi teman facebook saya ini dengan akun Hery Lesek: Ia menulis begini (saya kutip apa adanya):

"Lagi-lagi, POSPERA; ........... Dari kemaren malam, 21 Juni hingga pagi ini 22 Juni 2016 ketua DPW Pospera Alex Sondang Hutagalung menghubungi sejumlah relawan temanahok yang juga anggota Pospera. Alex memaksa sejumlah orang yang dihubunginya itu tersebut untuk keluar dari relawan temanahok dengan iming-iming uang THR. bahkan sebagian diantaranya dipaksa untuk hadir di acara preskon di Cikini tadi pagi jam 10.00. mereka diminta untuk memberi keterangan agar menjatuhkan proses pengumpulan KTP temanahok yang sudah mencapai angka 1 juta tersebut.

akhirnya hanya lima orang saja yang bersedia mengikuti ajakan Alex, yaitu Paulus Romindo, Dodi Hendrayadi, Richard Sukarno, Dela yang juga merupakan anak dari Richard Sukarno, dan Khusnul Nurul. Dodi dan Richard sudah dikeluarkan dari keanggotaan relawan Temanahok per februari 2016 itu terjadi menjelang proses pengumpulan KTP baru (Ahok - Heru). mereka dikeluarkan karena berbuat curang dengan menggandakan KTP dan juga KTP bodong yang secara jelas sudah diatur dalam peraturan sebagai anggota relawan temanahok.

Kejadian ini sangat kental kaitannya dengan ancaman yang pernah dilontarkan oleh Adian Napitupulu (Ketua Pospera) bahwa akan ada gesekan antara relawan temanahok dengan relawan Jokowi. Pospera juga sangat kental kaitannya dengan PDIP, dimana Adian merupakan anggota DPR dari PDIP. PDIP semakin kental terasa perannya karena pada acara ILC 21 Juni 2016, Junimart Girsang mengatakan bahwa 14 jam lagi temanahok akan mendapatkan serangan lagi yang kemudian pas waktunya dengan acara konfrensi pers dari eks-temanahok di Cikini.

Catatan tambahan :
•cerita ini disampaikan oleh salah satu relawan yang dipaksa oleh Alex untuk keluar dari relawan temanahok.
•Peran Alex selama di Pospera adalah sebagai pembagi dana jika Pospera akan melakukan aktivitas lapangan.
•Richard ini pekerjaannya adalah sebagai Debt Collector
•Semua yang dikeluarkan ini sudah pernah kena surat peringatan karena berbuat curang demi mendapatkan uang transportasi. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Amalia bahwa jika relawan hanya mengejar uang, maka tidak akan bisa bertahan karena memang perjuangan relawan temanahok bukan demi mengejar keuntungan, tetapi merupakan panggilan jiwa.”

Akun lain menampilkan foto Richard Sukarno yang diambil dari akun facebook-nya. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak dengan kaus merah berlogo PDI Perjuangan di dalamnya. Lalu disimpulkan bahwa ternyata orang ini adalah kader partai moncong putih.

Sentimen yang muncul di media sosial dan media online adalah bahwa penggembosan terhadap Teman Ahok ini dilakukan oleh kader PDI Perjuangan. Mungkin mereka kecewa karena Ahok tidak juga tunduk meski sudah diseruduk. Sementara partai pemenang pemilu 2014 itu sudah kalah langkah dari dari Nasdem, Hanura, dan Golkar yang memilih mendukung Ahok tanpa syarat. Makanya belakangan, kelompok ini sibuk mengklarifikasi seperti ini atau yang dilakukan Ardian Napitupulu ini.

Mungkin PDI Perjuangan ingin mengusung Ahok, tapi syaratnya harus meninggalkan kelompok independen. Dengan keluar dari kelompok independen ada ruang bagi mereka untuk nego dengan Ahok. Sementara posisi mantan bupati Belitung Timur itu sudah di atas angin. Dengan satu juga KTP yang sudah berhasil dikumpulkan Teman Ahok, ia bisa maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017 tanpa harus lewat partai politik. Bergaining position Ahok sangat tinggi.

Untuk menjatuhkan Ahok, tampaknya sulit. Berbagai kasus, mulai dari kasus reklamasi pantai utara Jakarta sampai Sumber Waras belum juga mampu merubuhkannya. Sekarang mereka mencoba menyerang lewat kelompok Teman Ahok. Sayangnya, serangan ini justru melahirkan serangan balik yang merugikan PDI Perjuangan alias senjata makan tuan. Minimal, itu yang terbaca di media sosial. (Alex Madji)

Jumat, 10 Juni 2016

Yang Penting Ahok Jadi Gubernur!

Saya dan istri sudah menyerahkan kartu tanda penduduk (KTP) ke Teman Ahok untuk mendukung Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dua kali malah. Pertama, pada hari kedua lebaran tahun lalu (2015) di Citraland. Saat itu, dukungan masih tunggal. Ahok seorang.

Kedua, setelah “dikasih masukan” oleh Yusril Ihza Mahendra yang juga berniat maju dalam pilkada DKI Jakarta 2017, maka dukungan untuk Ahok harus dengan pasangannya. Dengan sigap, Ahok memilih anak buahnya, Heru Budi Hartono. Ia menjabat Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah. Saya dan istri pun menyerahkan dukungan untuk pasangan tersebut. Kali ini, formulir diambil di posko Teman Ahok, diisi di rumah, lalu dikembalikan. Tentu saja lengkap dengan foto kopi KTP.

Intinya, saya mau mendukung Ahok. Berpasangan dengan siapa pun dia, saya dukung. Saya ingin DKI Jakarta yang dari hari ke hari semakin tertata dan bermartabat. Enak ditempati dan bersahabat. Tapi dukungan saya itu diberikan murni karena Ahok tidak punya partai politik dan ia tidak ingin disandera parpol.

Tapi perkembangan politik menjelang Pilkada DKI Jakarta ini bergulir begitu cepat. Dalam satu pekan terakhir, PDI Perjuangan memberi isyarat sangat jelas bahwa mereka mau mendukung Ahok. Tapi syaratnya, Ahok harus berpasangan dengan kader si Moncong Putih. Nama Wakil Gubernur saat ini, Djarot Saifulah Hidayat, sang kader, disebut-sebut akan diduetkan kembali. Sebelum signal-signal ini dimunculkan, bergulir rumor bahwa Heru mengundurkan diri dan takkan mendampingi Ahok pada pilkada tahun depan.

Kredit Foto: Temanahok.com

Signal bahwa Ahok akan masuk kandang banteng itu semakin benderang saat dia menghadiri haul Taufiq Kiemas di kediaman Megawati Soekarnoputri, istri Taufiq dan Ketua Umum PDI Perjuangan. Diperkuat lagi dengan pernyataan Ahok bahwa ia adalah orangnya Mega. Padahal sebelumnya, Partai Nasdem dan Hanura sudah lebih dahulu mendukung Ahok tanpa syarat.

Kondisi ini membuat Teman Ahok galau. Mereka masih sangat ingin agar Ahok maju lewat calon Independen. Apalagi syarat untuk itu sudah tercapai. Bahkan target 1 juta dukungan KTP tinggal selangkah lagi tercapai. Sekarang sedang dilakukan hitung mundur menuju satu juta KTP.

Pada saat bersamaan seorang teman saya, melakukan survei kecil-kecilan di media sosial facebook. Pertanyaannya, menurut Anda lebih baik Ahok maju secara independen atau lewat partai politik (koalisi PDI Perjuangan)? Sebagian besar "responden" menjawab, sebaiknya Ahok maju dari calon Independen. Hanya saja, yang buat survei itu adalah seorang warga Bekasi. Hahahahaha.

Terlepas dari itu, bagi saya tujuan mendukung Ahok adalah mengantar mantan Bupati Belitung Timur itu kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta. Karena ia tidak punya parpol maka saya mendukungnya lewat jalur independen. Tapi kalau sekarang ada partai, yang tidak perlu berkoalisi dengan partai lain mengusung Ahok, saya kira itu sangat bagus. Tidak juga berarti bahwa dengan begitu KTP saya menjadi mubazir. Tidak. Dengan didukung partai maka peluang Ahok dijegal, termasuk lewat revisi UU Pilkada bisa terhindarkan.

Dengan kendaraan apa pun Ahok maju pada Pilkada nanti, baik melalui jalur independen maupun lewat partai politik, saya tetap akan memilihnya. Sebab, sejak awal tujuan saya adalah mendukung Ahok menjadi gubernur. Itu saja. Apa pun kendaraannya, yang terpenting Ahok jadi gubernur. Asal bukan Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, apalagi Ahmad Dani dan Haji Lulung. Jadi, Teman Ahok tak perlu galau dengan dukungan PDI Perjuangan kepada Ahok. Toh Hanura dan Nasdem sudah lebih dulu mendukung. Belum lagi Golkar memperkuat posisi itu.

Justru kalau makin banyak partai mendukung Ahok, maka mereka mau mendengar rakyat. Sebab itulah esensi partai politik. Mendengar dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan mengejar tujuan pribadi pengurus dan para elite-nya. (Alex Madji)

Selasa, 16 September 2014

Antara Paus Fransiskus dan Falcao

Permulaan September 2014, pelatih Arsenal Arsene Wenger terbang ke Roma, Italia. Dia didapuk menjadi pelatih salah satu tim dalam pertandingan amal untuk mempromosikan perdamaian dunia yang digagas Paus Fransiskus. Satu tim lainnya diasuh pelatih Timnas Argentina, Gerardo "Tata" Martino.

Yang terlibat dalam pertandingan ini adalah para mantan bintang sepakbola, para pemain dan pelatih sepakbola dari berbagai agama di seluruh dunia seperti Kristen, Islam, Hindu, Budha, dan Yahudi. Sebut saja misalnya, Diego Armando Maradona, Roberto Baggio, pelatih Atletico Madrid Diego Simeone, Javier Mascherano, Javier Zanetti, dan masih banyak yang lain lagi.

Tidak penting hasil dari pertandingan ini. Yang terpenting adalah pesannya, yaitu mempromosikan perdamaian dunia. Pasalnya, sepakbola adalah sarana yang paling bagus dalam mempromosikan dunia. Banyak nilai yang terkandung dalam sepakbola yang bisa mendorong perdamaian dunia.

Sepulang dari Roma, Wenger dikritik pedas di Inggris, terutama oleh fans Arsenal. Gara-gara terlibat dalam kegiatan amal ini, Arsenal gagal mendapatkan Radamel Falcao yang akhirnya memilih bergabung dengan Manchester United. Padahal, kalau Wenger tidak ke Roma, kemungkinan besar Falcao hijrah ke Emirates.

Tetapi yang menarik perhatian saya adalah jawaban Wenger menanggapi kritikan tersebut. Menurutnya, datang ke Vatikan dan bertemu Paus Fransiskus adalah kesempatan langka dan tidak bisa dilewatkan begitu saja. Karena itu dia lebih memilih ke Roma dan bertemu Sri Paus daripada mengejar Falcao di bursa transfer.

Mengapa Wenger begitu ngotot ke Vatikan? Ini dia jawabannya. "Saya adalah seorang Katolik. Ini sebuah pengalaman dan sesuatu yang sudah lama saya terima. Bertemu Paus adalah sesuatu yang langkah yang tidak ingin melewatkannya," kata Wenger seusai pertandingan amal tersebut.

Dia melanjutkan, "Dia (Sri Paus) adalah seorang yang hebat, sangat rendah hati dan mau bertemu dengan siapa pun. Dia juga seorang penggemar sepakbola. Dia pendukung San Lorenzo di Argentina. Anda tidak bisa lahir di Argentina dan tidak dapat menjadi seorang penggemar sepakbola. Dia berbicara dengan begitu banyak orang Argentina, karena itu saya ingin menyampaikan salam dan berkata, 'sangat menyenangkan bertemu Anda dan sampai jumpa."

Selain itu, kedatangan Wenger ke Roma juga karena pertandingan tersebut adalah untuk perdamaian dan demi saling pengertian antaragama. "Saya kira sekarang kita berhadapan dengan perang antaragama di Gaza. Karena itu, pertandingan ini sangat penting," tutupnya.

Lagipula, kata Wenger, dia sudah bekerja keras sepanjang jendela transfer dan mendapatkan sejumlah pemain berkelas. Karena itu tidak berhasil mendapatkan Falcao sama sekali tidak mengurangi kualitas timnya dalam mengarungi musim ini. Meskipun, Arsenal terseok-seoak di awal musim 2014-2015.

Bagi Wenger yang terpenting adalah bisa beraudiensi dan berjabat tangan dengan Paus. Sri Paus adalah orang hebat dan momen itu tidak ingin berlalu begitu saja. Lebih dari itu, Wenger, bersama Paus, ikut mendorong perdamaian dunia, meski melalui pertandingan amal yang kalah prestisius dengan Liga Utama Inggris ataupun Liga Champions. (Alex Madji)

Keterangan foto: Arsene Wenger memperhatikan pemainnya Diego Armando Maradona pada laga amal untuk perdamaian dunia di Stadion Olimpico awal September 2014. Foto: www.dailymail.co.uk

Rabu, 10 September 2014

Mengenang Liputan Pemilu Timor Leste 2007

Sabtu, 17 Maret 2012, Republik Demokratik Timor Leste menggelar Pemilihan Umum Presiden. Ini adalah pemilu ketiga negara itu sejak merdeka dari Indonesia. Membaca berita pemilu presiden Timor Leste ini, saya teringat pengalaman meliput pemilu presiden 2007 di negara bekas provinsi ke-27 Indonesia tersebut. Ketika itu, suasana masih tegang karena baru dilanda konflik politik dan kekerasan horishontal.

Pertikaian politik terjadi antara kelompok Partai Fretelin di satu pihak dengan tokoh utama Mari Alkatiri melawan Xanana Gusmao dan Jose Ramos Horta di pihak lain. Pertikaian politik ini berujung pada jatuhnya Mari Alkatiri dari kursi Perdana Menteri. Pertarungan ini sebenarnya pertarungan idiologis antara kelompok sosialis (Fretelin) dengan kelompok pragmatis/kapitais diwakili Xanana Gusmao dan Ramos Horta yang didukung asing terutama Australia.

Konflik ini ditambah lagi oleh pemecatan sekelompok militer. Kasus inilah yang kemudian menimbulkan peristiwa berdarah dan memakan korban jiwa. Kelompok tentara yang dipecat ini menjadi kelompok pemberontak pimpinan Mayor Alfredo. Konflik kemudian merembet ke pertikaian antara warga Timor Leste bagian timur dan warga Timor Leste bagian barat. Suasana mencekam masih terasa ketika saya tiba di Dili tujuh tahun silam.

Korban konflik pun masih tinggal di tenda-tenda pengugsi di tengah Kota Dili ketika itu, tidak jauh dari Hotel Timor, Hotel Indonesianya, Timor Leste, tempat Presiden SBY menginap saat kunjungan ke Dili Agustus 2014.

Pemilu Timor Leste tujuh tahun silam itu berlangsung hanya sehari setelah paskah. Saya tiba di Dili persis Jumat Agung. Begitu tiba di Bandara Lobato Dili yang dulu disebut Bandara Comoro, saya memilih menginap di Hotel Timor Lodge. Tidak jauh dari Bandara.

Hotel itu sebenarnya terbuat dari petikemas yang disulap jadi hotel. Tapi yang nginap di situ kebanyakan bule. Punya kolam renang. Resepsionisnya seorang perempuan Filipina. Sedangkan satpamnya mantan tentara Fretelin yang berjuang di hutan Timor Leste ketika menjadi bagian wilayah Indonesia. Bahasa Indonesia mereka patah-patah.

Selepas mengurus hotel, saya langsung mencari Gereja Katedral. Tapi sayang, ketika itu ibadat Jumat Agungnya masih lama. Tarif taksi dari Comoro ke tegah kota Dili 1 dolar Amerika Serikat. Sopir taksi setempat berbicara Bahasa Indonesia. Siaran-siaran radio pun masih campur Bahasa Tetun dan Indonesia. Sopir taksi mengingatkan saya untuk tidak pulang terlalu malam karena situasi belum kondusif. Taksi pun tak berani pulang di atas jam enam. Maka setelah melihat Dili sepintas lalu dan mengunjungi Kantor KPU-nya, saya kembali ke hotel menggunakan taksi dengan tarif yang sama. Hari itu dilewati tanpa mengikuti Jumat Agung.

Jam demi jam di hotel saya lewati dengan membaca novel yang saya bawa dari Jakarta. Keesokan harinya saya kembali ke pusat Kota Dili. Saya mampir di Hotel Timor tempat para pemantau dan pengamat asing berkumpul. Pas jam makan siang saya ke Kampung Alor. Makan siang di warung nasi milik orang-orang Indonesia dengan menu nasi ayam seharga satu dolar AS.

Selepas makan siang, saya mengikuti jumpa pers para calon dan para pendukungnya. Juga mengikuti jumpa pers KPU. Jumpa pers di sana diberikan oleh seorang pastor SDB dalam empat bahasa: Tetun, Inggris, Indonesia, dan Porto dengan sama lancarnya. Mengagumkan.

Ketika senja tiba, saya bergeser ke depan Governo atau Kantor Perdana Menteri. Ini adalah bekas kantor Gubernur Timor Timur. Tidak ada pagar pembatas. Ini adalah kompleks kota tuanya Dili. Di sekitar situ banyak bangunan tua peninggalan Portugis. Ada yang terawat bagus. Ada juga yang tidak. Di depan kantor perdana menteri itu, ada lapangan cukup luas. Di ujungnya ada pohon-pohon yang di bawahnya ditempatkan kursi. Pengunjung bisa duduk-duduk di situ menikmati senja dan semilir angin pantai. Di bibir pantai ada tembok yang bisa diduduki sambil menyaksikan matahari tenggelam di balik ufuk. Sungguh Indah. Sebelum jam enam, saya balik ke Hotel Timor Lodge. Malamnya, saya ikut misa paskah di gereja Comoro yang tidak jauh dari hotel. Saya bersama umat di sekitar gereja itu mengendap dalam kegelapan malam. Tidak ada penerangan jalan. Wangi-wangian para gadis yang ke gereja semerbak.

Minggu, saya kembali ke tengah Kota Dili. Kali ini naik angkot sampai tengah Kota Dili. Kemudian ambil taksi untuk mensurvei rumah salah satu calon presiden yang menjabat sebagai perdana menteri saat itu, Jose Ramos Horta, yang tidak jauh dari bibir pantai Pasir Putih di jalan menuju bukit Patung Kristus Raja. Sengaja saya melihat tempat itu karena saya berencana meliput hari pemungutan suara besok pagi di tempat tersebut. Rutinitas hari itu sama dengan Sabtu kemarin.

Hari H, saya meliput pemungutan suara di tempat pemungutan suara tidak jauh dari rumah Romos Horta. Tidak seperti di Indonesia, Ramos Horta ikut antre bersama warga lain saat ke bilik suara. Saya ambil fotonya, dan menjadi foto headline koran tempat saya bekerja pada hari itu. Padahal foto itu diambil pakai kamera saku. Saya tidak sempat ke rumah Xanana Gusmao karena mereka memberikan suara pada jam yang hampir bersamaan.

Setelah kirim berita, saya mengaso sebentar. Menjelang sore, saya pergi ke beberapa TPS untuk menyaksikan penghitungan suara. Di beberapa TPS yang saya lihat, Ramos Horta unggul jauh dari lawan-lawannya. Begitupun di TPS di SMP di depan Hotel Timor Lodge. Ramos Horta unggul atas calon presiden dari Fretelin, Lu Olo. Dan benar, di Dili, Horta menang total. Tetapi di daerah lain, Lu Olo unggul, diikuti calon-calon lain seperti calon dari Partai Demokrat Fernando De Araujo yang pada pemilu tahun ini mencalonkan diri kembali.

Hasil akhirnya, tidak ada calon yang menang mutlak. Pemilu Presiden harus dilakukan dalam dua putaran. Dua calon peraih suara tertinggi yaitu Jose Ramos Horta dan Lu Olo bertarung head to head. Pasca pengumuman itu, segmentasi politik lalu terbentuk. Fretelin menjadi musuh bersama. Dan, memang akhirnya, pada putaran kedua, Jose Ramos Horta menang telak dan terpilih sebagai Presiden Timor Leste.

Tetapi saya sudah tidak mengikuti lagi pemilu putaran kedua tersebut. Saya hanya mengikuti pemilu putaran pertama sampai tahap pengumuman pemenang, sebelum akhirnya saya kembali ke Jakarta.

Proses demokrasi di negara baru itu memang tidak berjalan mulus karena diwarnai kekerasan. Tetapi tampaknya tahun ini, prosesnya lebih baik dan jauh dari aksi kekerasan. Mudah-mudahan tahun ini pemilunya lebih demokratis, fair, adil dan jujur. Selamat berpesta demokrasi Timor Leste. (Alex Madji)

Selasa, 20 Mei 2014

Pemain Muslim Pertama di MU

Anda tahu siapa pemain muslim pertama di Manchester United (MU)? Kalau tidak tahu, saya kasih tahu informasinya. Pemain muslim pertama di tim senior MU adalah Adnan Januzaj. Dia tembus ke tim senior Setan Merah ketika Sir Alex Ferguson masih melatih klub itu pada musim terakhirnya, 2012-2013 lalu. Ketika itu, usia Adnan baru 18 tahun.

Setelah Ferguson diganti David Moyes yang kemudian dipecat manajemen The Red Devils pada April 2014, jumlah pemain muslim di Old Trafford bertambah lagi menjadi dua orang dengan kehadiran Marouane Fellaini yang dibawa dari Everton pada musim panas 2013. Uniknya, kedua pemain muslim MU itu sama-sama berasal dari Belgia dan juga sama-sama imigran.

Dalam tulisan ini, saya hanya mau mengulas tentang Adnand Januzaj. Pemain ini cukup fenomenal selain karena penampilannya yang yahud di atas lapangan, juga karena sempat diperebutkan oleh sejumlah negara untuk mengisi skuat tim nasional mereka yaitu, Belgia, Kosovo, Albania, Turki, hingga Inggris.

Adnan Januzaj adalah pemain kelahiran Brussels, Belgia keturunan Albania, Kosovo pada 5 Februari 1995. Karena itu, pria bertinggi badan 1,80 sentimeter dan berat 75 kilogram ini memiliki dua kewarganegaraan yaitu Belgia dan Kosovo-Albania.

Ayahnya bernama Abedin, anak pertama dari enam bersaudara yang lari dari Isto, Kosovo ke Belgia pada 1992 karena tidak mau direkrut menjadi tentara Yugoslavia. Sementara paman Januzaj (adik babapknya) bernama Januz dan Shemsedin menjadi anggota tentara pembebasan Kosovo atau Kosovo Liberation Army yang memperjuangkan kemerdekaan Kosovo dari Yugoslavia. Sementara keluarga ibunya sudah dideportasi ke Turki oleh Pemerintah Yugoslavia karena terus memperjuangkan kemerdekaan Kosovo. Mereka adalah keluarga muslim Kosovo.

Setelah Kosovo mendeklarasikan kemerdekaan pada 2008 dan menjadi negara berdaulat, Adnan masih rutin mengunjungi keluarganya di Kosovo pada setiap musim panas.

Karier sepakbolanya dimulai di FC Brussels. Dia menempuh pendidikan sepakbola di akademi sepakbola klub ini. Kemudian bakatnya dipantu oleh klub elit Belgia, Anderlecht dan kemudian bergabung dengan klub itu dalam usia 10 tahun pada 2005. Bakatnya tercium oleh klub-klub elite Eropa, termasuk Manchester United (MU). Maka ketika berusia 16 tahun pada 2011, dia diboyong ke Old Trafford. Tetapi baru bisa dimainkan di kompetisi resmi pada usia 18 tahun pada 2013 sesuai aturan Federasi Sepakbola Dunia atau FIFA.

Bakat dan skill individunya membuat sejumlah negara terpincut dan ingin memberi kewarganegaraan untuk dia. Inggris yang menjadi tempat bermainnya sejak usia dini ingin menaturalisasinya. Sedangkan Turki juga mengklaimnya sebagai warga negara mereka karena faktor ibunya yang berasal dari Turki.

Sementara Belgia, Kosovo, dan Albania juga berharap agar pemain ini membela timnas mereka. Pada akhirnya, Adnan Januzaj memilih membela Timnas Belgia. Pelatih Belgia Marc Wilmots memasukkannya dalam daftar cadangan pada Piala Dunia 2014. Wilmots tidak memperlakukannya secara istimewa. Maklum, Belgia dipenuhi pemain bintang yang sama-sama merumput di Liga Utama Inggris.

Di Timnas Belgia, banyak sekali pemain muslim yang berasal dari keturunan Maroko dan Aljasair seperti Marouane Dellaini, Eden Hazard, dan Kosovo-Albania seperti Adnan Januzaj. (Alex Madji)

Foto: Adnan Januzaj (sumber:http://www.mirror.co.uk/sport/football/news/adnan-januzaj-profile-everything-you-2174902)

Rabu, 04 Desember 2013

Mourinho dan Wenger Katolik Taat

Setiap pemain dan pelatih memiliki ritus tersendiri sebelum masuk lapangan. Ada pemain yang keluar masuk lapangan seperti masuk keluar gereja. Selalu dimulai dengan tanda salib. Pemain lain punya cari tersendiri yaitu, menyentuh tanah dengan tangannya lalu mengacungkan jari telunjuknya sambil menengadah ke langit.

Di Indonesia, penyerang Tim Nasional Indonesia, Titos Bonay atau Tibo memiliki kebiasaan menarik-narik jaring gawang lawan. Bukan hanya saat mengenakan seragam timnas, tetapi juga ketika membela klub. Entah apa tujuannya. Mungkin agar dia bisa merobek gawang lawan. Atau, para pemain Timnas Indonesia U-19 memperkenalkan ritus baru dalam sepakbola Indonesia. Seusai seorang pemain mencetak gol, seluruh pemain ikut sujud syukur bersama pemain yang mencetak gol itu.

Nah, pelatih sekaliber Jose Mourinho ternyata juga memiliki ritus tersendiri sebelum pertandingan. Perihal ritus dan kebiasaannya ini, beberapa media di Indonesia belum lama ini, mengutip media online asing, memberitakan tentang kebiasaan pelatih Chelsea itu yang membacakan satu perikop injil sebelum pertandingan. Kebiasaan ini dilakukan oleh pria kelahiran Setubal, Portugal, 26 Januari 1963 atau hampir 51 tahun silam ini selama melatih klub di manapun.

"Sebelum pertandingan, di ruangan saya, saya bisa membuka Injil dan membaca beberapa ayat selama beberapa menit. Rutinitas itu selalu memberikan perasaan positif kepada saya," kata Mourinho sebagai ramai dikutip media-media Inggris.

Tetapi ini bukan satu-satunya ritus Mourinho sebelum mendampingi anak-anak asuhnya di pinggir lapangan. Dia masih memiliki sebuah kebiasaan lain sebagaimana disebutkan dalam sebuah artikel yang dimuat http://www.theguardian.com/theobserver/2006/feb/19/features.review37. Di sana dikatakan bahwa setiap kali sebelum pertandingan, Mourinho menicum salib. Sebelum meninggalkan ruang ganti menuju lapangan, dia juga melambungkan doa, ketika para pemainnya menatap cermin untuk mengamati rambutnya sudah rapih apa belum. Bahkan saat menjuarai Liga Champions, Mourinho mengaku bahwa Tuhan selalu menyertainya. Mourinho mengaku selalu ada campur tangan Tuhan dalam kesuksesannya.

Berita-berita dan kebiasaan-kebiasaan tersebut mendorong saya untuk mencari tahu perihal agama pria yang di negerinya menjadi bintang iklan sebuah bank itu. Saya lalu menemukan jawabannya di situs ini: http://hollowverse.com/jose-mourinho/. Di sana disebutkan bahwa sebagaimana orang Portugal umumnya, Mourinho adalah seorang penganut Katolik yang taat. Dalam setiap keberhasilan, selalu ada campur tangan Tuhan.

Pengakuan bahwa Mourinho adalah seorang Katolik bukan hanya datang dari MOurinho sendiri, tetapi juga diakui oleh oleh orang lain yang mengenalnya. "Mourinho adalah seorang penganut Katolik dan percaya pada Tuhan. Dalam hal kehidupan yang profesional, dia sangat percaya pada kerja keras. Hanya kerja keras yang membuahkan kesuksesan. Dia tidak percaya pada keajaiban dalam sepakbola," kutip media tadi.

BBC.co.uk dalam artikel berjudul, "What makes Mourinho tick" yang diupload pada 20 Mei 2010 pukul 07.01 waktu Inggris, Mourinho dengan terus terang mengakui bahwa dia adalah seorang Katolik. "Saya banyak berdoa. Saya seorang Katolik. Saya percaya pada Tuhan. Saya mencoba menjadi seorang yang baik dan Dia mengulurkan tangannya ketika saya membutuhkannya," ujar Mourinho.

Meski penganut Katolik yang taat dan tekun berdoa, Mourinho juga yakin bahwa kesuksesan itu lahir dari kerja keras dan cerdas. "Anda harus kerja keras dan kerja cerdas. Banyak orang kerja keras tetapi tidak cerdas. Sebagai pelatih, saya harus menjalin hubungan yang baik dengan para pemain, sebuah kepemimpinan yang diterima, bukan kepemimpinan yang dipaksakan karena kekuasaan atau status," ujarnya.

Situs lain, www.kgbanswers.co.uk juga memberi jawaban bahwa Mourinho adalah seorang penganut Katolik Roma yang taat.

Bukan hanya Mourinho yang disebut sebagai pelatih cukup religius di Liga Utama Inggris. Pelatih Arsenal Arsene Wenger juga ternyata seorang pria religius. Religiusitas pria asal Prancis ini sangat ditentukan oleh pendidikan masa kecilnya. Meskipun kadar religiusitasnya sekarang agak sedikit menurun ketika masih kecil di Prancis.

"Ketika masih kanak-kanak, saya rajin berdoa karena saya dididik di lingkungan Katolik.
Bagi kami, agama sangat kuat. Untuk bermain pada Minggu sore saja, saya harus minta ijin kepada pastor. Tetapi sekarang agak sedikit kurang religius karena saya hanya memikirkan sepakbola, bagaimana saya memenangkan pertandingan dan selalu berpikri lebih pragmatis," kata Wenger kepada The Associated Press sebagai dikutip Mailonline.co.uk 10 Oktober 2013.

Dia melanjutkan, “Tetapi percaya itu penting dan saya selalu bersyukur atas nilai-nilai yang diajarkan agama saya. Sesungguhnya semua agama mengajarkan dan mewartakan nilai-nilai yang baik dan positif. Nilai-nilai itu juga bisa ditemukan dalam sepakbola.” (Alex Madji)

Foto: www.dailymail.co.uk