Kamis, 11 April 2013

Berani Keluar dari Kemapanan

Rabu, 10 April 2013 malam, saya kongkow dengan dua teman lama di sebuah warung makan 24 jam di kawasan Serpong, Tangerang. Sebenarnya, saya sudah siap mau tidur, ketika panggilan via blackberry messenger (BBM) datang. Saya pun lansung mengiyakan ajakan tersebut.

Maka pintu rumah dan gerbang yang sudah dikunci rapat harus dibuka kembali dan bergegas menuju tempat dua teman tadi menunggu pada pukul 23.00 WIB. Keduanya adalah teman lama, senasib sepenanggungan beberapa tahun silam. Tetapi salah satunya kini mengalami nasib lebih baik. Sedangkan yang satu lagi masih sama seperti saya.

Kami hanyut dalam diskusi, bertukar cerita sambil menyeruput segelas es coklat dan teh panas. Saling meneguhkan dengan kata-kata inspiratif dari sejumlah motivator dan orang-orang yang sudah sukses. Diselingi dengan menghidupkan kembali memori-memori lawas, terutama ketika ada yang “bening-bening” melintas di depan meja kami pada malam yang sesepi itu. Tertawa lepas pun membahana ketika memori-memori itu kembali.

Tetapi poin yang paling penting dari pertemuan itu adalah cerita sang teman yang nasibnya kini lebih baik. Kini dia tidak lagi sebagai kuli tinta, tetapi sudah naik kelas menjadi kelas pengusaha. Meski usahanya belum berskala besar, apalagi kakap, tetapi langkah yang diambilnya sudah jauh lebih maju dari saya dan satu teman tadi.

Dia lantas bercerita bahwa hal itu tidak terjadi begitu saja. Ada sebuah proses sebelum terjun ke dunia wirausaha. Hal utama yang dia lakukan adalah berani mengambil keputusan untuk membanting kemudi hidupnya dan memulai sesuatu yang baru. Pada saat bersamaan dia siap menanggung risiko dari keputusannya tersebut. Apapun itu. Dia juga tidak lelah belajar dari nol perihal sesuatu yang baru. Keberanian mengambil keputusan dan menghadapi semua risiko dari keputusan itu menjadi langkah awal untuk naik ke kelas wiraswasta.

Semua itu dilakukannya karena sadar bahwa kalau tetap bertahan dengan pekerjaan sebagai kuli tinta, maka masa depannya sama sekali tidak terjamin. Suram. Gaji dari bekerja sebagai kuli tinta belum cukup untuk makan minum satu keluarga selama sebulan. Kadang sebelum akhir bulan, gaji sudah habis. “Maka keputusan mendesak diambil. Roda kehidupan tidak boleh seperti ini terus. Harus ada keputusan radikal yang tidak boleh ditunda-tunda. Jangan terpaku pada apa yang digenggam saat ini dan harus berani keluar dari kemapanan,” begitu tekadnya dalam hati beberapa tahun silam.

Keberanian teman tersebut, kini membuahkan hasil. Hidupnya sekarang jauh lebih baik dari saya dan teman yang satunya lagi. Dia sudah merancang masa depan dia bersama keluarganya dengan sangat baik. Bahkan dia sedang mengembangbiakkan apa yang sudah dikumpulkannya sehingga suatu saat nanti menjadi lebih besar, lebih besar, dan lebih besar lagi.

Tetapi sebelum sampai ke sana, pesannya, keluar dulu dari kemapanan yang membelenggu saat ini dan berani mengambil keputusan.

Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.11 WIB dini hari. Tempat itu bukannya menyepi, malah semakin ramai. Sementara pertandingan bola Liga Champions leg kedua antara Barcelona versus Paris Saint-Germain (PSG) sudah berlangsung. Lalu kami putuskan untuk meninggalkan lokasi itu dan kembali ke rumah dengan membawa "oleh-oleh" dari teman yang sudah sukses itu tadi dan membangun tekad untuk segera banting stir. (Alex Madji)

Sumber foto: yulitanurmalasari.wordpress.com

Senin, 08 April 2013

Sepakbola dan Agama di Mata Prandelli

Ini adalah artikel pertama blog ini pada bulan Arpil 2013. Kali ini saya mengangkat cerita tentang Claudio Cesare Prandelli. Dia pelatih Tim Nasional (Timnas) Italia. Saya tidak ingin menulis tentang strateginya dalam meracik tim sehingga Italia yang tadinya terkenal dengan pola permainan bertahan (sepakbola negatif) kini mengusung permainan menyerang dan lebih indah (sepakbola positif). Saya ingin mengungkapkan sisi lain dari sosok ini.

Prandelli adalah salah satu pelatih Italia yang cukup religius. Religiusitas pria berambut klimis ini paling tidak dibuktikan dengan dua hal berikut ini. Pertama, pada Piala Eropa 2012 silam, dia membawa stafnya mengunjungi sebuah biara Katolik di Polandia. Ceritanya, setelah sukses masuk ke perempat final pascamengalahkan Inggris, mereka mengunjungi biara Bruder-bruder Camaldolese yang berada di luar Kota Krakow, tempat "Gli Azzuri" bermarkas.

Sebetulnya kunjungan ini dilakukan untuk memenuhi janjinya. Sebelumnya bruder-bruder Benediktin Camaldolese itu mengunjungi tempat latihan Timnas Italia di Krakow. Kepada para bruder tersebut, Prandelli berjanji bahwa bila Italia tembus ke perempat final dia akan berjalan kaki sejauh 21 kilometer untuk mengunjungi biara mereka. Italia pun kemudian masuk perempat final, setelah menyingkirkan Inggris melalui adu tendangan penalti. Maka nazar harus dipenuhi.

Prandelli dan stafnya pun berjalan kaki dari hotel tempat mereka menginap berangkat ke biara yang terletak di kaki Pegunungan Carpathian di Polandia Selatan itu, sejauh 21 kilometer selama empat jam. Mereka berangkat pukul 03.00 dini hari waktu setempat dari hotel dan tiba di biara itu pada pukul 07.00 waktu setempat sebelum kemudian kembali kembali ke Krakow pada siang harinya. Bersama mereka, bergabung mantan bintang AC Milan dan Timnas Italia, Albertini. Salah satu saudara Albertini yang kini menjadi Wakil Ketua Federasi Sepakbola Italia adalah seorang pastor.

Kedua, pria yang istrinya meninggal pada 2007 itu ingin menggelar pertandingan persahabatan antara Timnas Italia versus Argentina. Tetapi yang unik, dia ingin agar Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik seluruh dunia yang berasal dari Argentina dan penyuka bola itu datang ke Stadion dan menyaksikan laga tersebut.

Laga persahabatan kedua negara belum ditetapkan. Tetapi kemungkinan akan dilakukan pada Agustus mendatang di Stadion Olimpico yang tidak terlalu jauh dari Vatikan. Prandelli ingin mempersembahkan laga tersebut untuk Paus Fransiskus yang orang tuanya berasal dari Italia dan anggota pendukung klub Buones Aires, San Lorenze. Paus ini adalah anggota fans San Lonrenzo yang membayar iuran secara rutin.

Dari dua hal sederhana ini oleh media-media asing lalu menyimpulkan bahwa Prandelli yang ketika masih aktif sebagai pemain berposisi di gelandang adalah seorang pelatih sepakbola yang religius. Sepakbola atau calcio dalam Bahasa Italia memang memiliki dua sisi. Di satu pihak, sepakbola bisa membawa orang ke hal-hal yang suci (agama), tetapi di sisi lain, bola juga membawa mereka ke kehidupan berdosa terutama ketika terjadi skandal pengaturan skor.

Bahkan Presiden UEFA Michel Platini secara berkelakar mengungkapkan bahwa melawan Italia bukan hanya melawan Timnasnya tetapi juga melawan agama Italia. “Setelah Paus, agama di Italia adalah bahwa bila Anda sudah pimpin 1-0, maka mustahil lawan bisa pulang,” kata mantan bintang Timnas Prancis yang pernah bermain untuk Juventus itu. (Alex Madji)