Jumat, 30 Desember 2011

Penghujung Tahun di Oh La La


Jumat, 30 Desember 2011 pukul 14.44 WIB. Saya duduk di sofa paling pojok Cafe Oh La La, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Satu hari sebelum akhir tahun 2011. Tak ada yang menemani. Saat itu, tempat tongkrongan orang berbagai macam usia ini sepi. Hanya ada 10 orang di dalam. Dua di antaranya perempuan. Tetapi ketika alinea pertama ini ditulis, kedua perempuan yang mengenakan terusan batik itu pergi.

Tak lama berselang, seorang perempuan lain, mengenakan terusan warna coklat sebatas lutut, datang dan mengambil tempat duduk di sofa dekat AC berdiri, persisnya dekat pintu masuk bagian barat. Saya bisa mengintip paha putihnya ketika dia duduk sambil melipat kaki. Perempuan ini juga datang seorang diri, seperti saya. Sambil menunggu minuman pesanannya, dia membuka laptop warna putih, sambil menyulut sebatang kretek. Sesekali jemarinya menari di atas Blackberrynya.

Tetapi makin sore, jumlah pengunjung makin banyak, seiring jam pulang kantor dan menjelang akhir pekan. Apalagi besok malam sudah malam pergantian tahun.

Meski Natal sudah lewat lima hari, semaraknya masih sangat terasa di tempat ini. Hiasan natal memenuhi seluruh dinding. Kerlap kerlip lampu natal masih ada. Enam gumpal trompet digantung di sisi kiri dan kanan ruangan. Belum lagi balon-balon merah marun di pasang membentuk bujur sangkar di tengah-tengah plafon ruangan. Warna merah menjadi sangat dominan. Kalau di Eropa ada White Christmas karena pohon-pohon dan rumah ditutupi hujan salju, di sini, di ruangan ini, ada Red Christmas.

Saat memasuki ruangan itu saya langsung memesan satu gelas coklat panas (seperti tampak pada gambar di atas). Ketika hendak mengambil dompet untuk membayar, saya dipersilahkan langsung memilih tempat duduk. Karena masih sepi, saya leluasa memilih tempat yang paling enak dan nyaman. Dua kali saya pindah tempat duduk, sebelum akhirnya betul-betul dapat tempat duduk dengan pemandangang yang lega di pojok sebelah kanan.

Sambil menunggu, saya bolak balik Majalah Free yang disediakan di depan loket pembayaran makanan dan minuman. Sesekali saya bolak balik majalah itu. Sempat baca artikel tentang pendiri Kaskus Andrew Darwis. Kemudian saya mengeluarkan buku "Your Journey To Be The UltimateU" dari dalam tas.

Lagi asyik membaca, tiba-tiba pesanan saya datang. Saya tidak menunggu terlalu lama. Kucoba teguk pertama. Menyeruput. Ah, nikmat. Panasnya turun sampai ke perut. Kuletakkan kembali gelas itu di atas meja marmer. Lalu kuambil laptop dari dalam tas dan membuat catatan ini. Sementara buku itu kusisihkan di samping.

Duduk-duduk di Cafe Oh La La ini, pikiranku lalu melayang ke beberapa tahun silam. Tempat ini menjadi vaforit untuk pacaran. Beberapa kali saya dan mantan pacar saya yang kini menjadi istri duduk-duduk di cafe ini, sambil menyeruput kopi panas atau sup khas Oh La La. So sweet.

Kadang-kadang kami duduk dalam diam. Tanpa bicara. Bukan karena marahan. Tetapi memandang dan menyaksikan tingkah pola orang-orang yang datang ke situ. Ada yang datang berkelompok, ada yang berdua. Tetapi ada juga yang sendiri. Tidak jarang mereka yang berkelompok duduk berjam-jam sambil main kartu. Seru.

Ada juga yang datang sambil menarikan tangan di atas laptop. Entah apa yang dikerjakan. Mungkin ada yang menyelesaikan pekerjaan. Tetapi tidak sedikit yang sekedar ber-game ria. Sekedar mengusir kepenatan dan kejenuhan kehidupan ibukota.

Ya, nongkrong memang menjadi tren dan menjadi bagian integral kehidupan masyarakat metropolis. Dan, tempat-tempat nongkrong seperti Oh La La menjadi vaforit. Dia menjadi media pelepas lelah. Ketika kehidupan kota makin pengap dengan tingkat stres yang tinggi maka tempat-tempat seperti ini menjadi alternatif jalan keluar. Bukan hanya itu. Tempat-tempat seperti ini juga kadang menjadi media pertemuan dengan mitra bisnis, bagi mereka yang punya bisnis.

Jumat sore itu, tiba-tiba pikiran saya terganggu musik rege yang mengalun lembut. Jari-jari tanganku berhenti menari di atas tuts laptop lalu menikmati alunan musik itu. Kutengok gelas coklat panasku. Sudah hampir habis dan mendingin. Seketika itu juga mood menulisku menguap. Maka kututupi saja catatan ini di sini. Kumasukkan laptop ke tasku dan kulanjutkan baca buku "Your Journey To Be The UltimateU" karya Rene Suhardono.

Saya berjanji akan membagikan rangkumannya kepada Anda di blog ini. Selamat menunggu. Dan pastikan bahwa Anda akan kembali. Sampai jumpa. (Alex Madji)

Rabu, 28 Desember 2011

Catatan Akhir Tahun


Akhir 2011 tinggal tiga hari lagi. Di ujung tahun ini, saya ingin membuat catatan akhir. Bukan seperti yang dilakukan media-media main stream. Tetapi catatan akhir tahun hanya tentang blog ini. Mengapa? Karena dalam enam bulan terakhir, pertumbuhan blog ini sangat signifikan.

Blog www.ciar-ciar.blogspot.com ini sebenarnya sudah dibuat pada akhir 2009. Tetapi baru mulai diisi Mei 2010 dan berhenti Juli 2010. Jadi hanya aktif selama tiga bulan. Setelah itu, blog ini tidur panjang.

Saya baru bangun dari tidur panjang itu setahun kemudian, tepatnya pada Juni 2011. Artikel pertama yang saya tulis berjudul “Mea Culpa” (Saya Mengaku). Mengaku salah karena tidak rutin meng-update blog ini.

Sejak itu, blog ini rutin diisi. Mula sekali seminggu, lalu dua tiga hari sekali. Malahan pada satu bulan terakhir, diisi hampir setiap hari kerja dengan berbagai macam topik bahasan mulai dari masalah umum sampai masalah pribadi saya. Kecuali pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur.

Sejak rutin diisi, menurut data yang disajikan Blogspot.com, statistik tayangan dan pemirsa blog ini meningkat sangat tajam. Saya masih ingat, pada Juni 2011, jumlah halaman yang dilihat pemirsa hanya 700-an. Tetapi hingga tulisan ini dibuat, pada Rabu, 28 Desember 2011, jumlah halaman yang ditayang mencapai 11.106. Sedangkan jumlah pemirsanya 9.913 dengan perincian: Indonesia (8.790), Amerika Serikat (412), Portugis (156), Britania Raya (141), Malaysia (140), Rusia (90), Jerman (72), Belanda (48), Australia (35), dan Jepang (29).

Jumlah pemirsa setiap hari selalu lebih dari 100. Bahkan pernah mencapai lebih dari 200 pemirsa sehari.

Sementara lima artikel terpopuler sepanjang waktu adalah: Merry Riana, Kisah Sukses Seorang Sales Asuransi (237 Penayangan), Jakob Oetama Itu Katolik (201 Penayangan), Yoga Massal (102 Penayangan), Mau Cantik? Minum Air Putih yang Banyak (100 Penayangan), dan Kelakuan Dahlan Iskan (98 Penayangan).

Meningkatnya jumlah pengunjung dan jumlah halaman yang dilihat tidak terlepas dari sejumlah upaya yang saya lakukan mengikuti trik dan taktik yang dipaparkan dalam sejumlah buku tentang blog. Sejauh ini, baru dua dari beberapa langkah yang saya lakukan yaitu mengisi secara rutin dan blogwalking (bersiarah ke blog lain sambil meninggalkan pesan atau komentar).

Saya berharap, jumlah pengunjung blog ini akan terus meningkat pada tahun depan. Anda yang sudah berkunjung ke sini, saya berharap tidak pernah bosan datang kembali. Saya akan terus mengupatenya, seperti resolusi saya pada artikel “Resolusi Saya” di blog ini.

Sementara dari segi tampilan, blog ini memang masih sederhana dan mungkin tidak memuaskan Anda. Template yang dipakai pun gratisan. Bahkan saya masih belum bisa mengganti foto-foto utama pada template gratisan ini. Foto-foto dengan caption Bahasa Inggris di atas adalah gambar bawaan. Untuk itu, saya mohon maaf kepada pembaca yang terganggu dengan gambar itu. Saya terus berusaha menemukan solusinya. Semoga bisa dan selamat memasuki tahun baru, 2012. (Alex Madji)

Selasa, 27 Desember 2011

Natal yang Hambar


Meski Natal sudah lewat dua hari, tetapi tidak ada salahnya saya membuat catatan tentang Natal. Natal saya tahun ini terasa hambar. Suasananya tidak tercipta sedemikian rupa sehingga selama masa adven hingga hari raya natal, suasanya begitu-begitu saja. Tidak ada yang luar biasa.

Tidak ada hiasan natal di rumah. Tidak ada pohon natal yang menjulang lengkap dengan pernak perniknya serta kerlap kerlip lampu warna warni. Tidak ada bingkisan natal yang disimpan di bawah atau digantung di dahan-dahan pohon Natal. Apalagi kartu ucapan natal yang sudah lama hilang. Tidak ada pula lagu-lagu natal yang mengisi seluruh ruangan dan relung sukma.

Sesekali terdengar nyanyian-nyanyian natal dari televisi. Gebyar menjelang natal di televisi tidak sesemarak beberapa tahun silam. Entah apa yang terjadi. Jangan-jangan suasana natal tidak lagi menarik untuk dijual dan membangkitkan ekonomi di negara ini, seperti terjadi di seluruh dunia.

Bukan hanya itu. Ritual-ritual persiapan natal secara rohani tidak dijalankan. Pengakuan dosa sudah lama absen. Angkanya sudah belasan tahun. Masa-masa adven hanya dirasakan pada setiap hari Minggu. Itupun beberapa kali bolong.

Tetapi dalam kehambaran seperti itu, malam natal tetap disambut gembira. Saking gembiranya, kami sekeluarga datang empat jam sebelum misa malam natal di Gereja Santa Maria Regina (Sanmare) Sektor IX Bintaro, Tangerang Selatan, 24 Desember 2011.

Ini sebenarnya bukan disengaja. Jadwal misa yang didapat dari berbagai surat eletronik menyebutkan bahwa misa di gereja itu adalah pukul 16.00 WIB untuk umat Paroki Ciledug yang tidak punya gereja. Lalu untuk umat Sanmare misa malam natal diselenggarakan pada pukul 18.00. Supaya mendapat tempat di dalam gereja, kami lalu datang satu jam sebelumnya.

Pukul 17.00 WIB, kami sekeluarga sudah tiba di gereja. Misa yang jam 16.00 sudah memasuki lagu Bapa Kami. Beberapa saat kemudian misa kelar. Lalu, kami masuk ke gereja. Tetapi hingga 15 menit sebelum jam 18.00 WIB, situasi gereja masih sepi. Lalu kami coba tanya kepada petugas di situ dan ternyata misa baru berlangsung pukul 20.00 WIB. Maka tidak ada cara lain, selain menunggu misa jam 20.00 itu.

Kembali ke natal yang hambar. Suasana natal seperti itu sedikit terhibur oleh khotbah Romo Deshi Ramadhani, SJ pada misa malam natal tersebut. Menurut dosen Kitab Suci STF Driyarkara yang hadir sebagai pastor tamu pada kesempatan itu, Yesus lahir dalam setiap pengalaman paling kelam dan pengalaman paling buruk manusia. Apa pasal? Yesus sendiri lahir di dalam kandang hewan yang hina. Kemiskinan, kehinaan dan kehampaan adalah pengalaman paling kelam yang dialami manusia. Banyak hal yang dia katakan dalam khotbah itu. Tetapi hanya itu yang saya tangkap.

Karena itu bagi saya, meskipun suasana natal saya tahun ini hambar tetapi justru Dia hadir dalam situasi seperti itu. Bahkan, lebih dari itu. Lalu bagaimana pengalaman natal Anda yang merayakannya?? (Alex Madji)

Jumat, 23 Desember 2011

Surat untuk Ende


Ende, maaf, saya baru menulis untukmu. Kemarin, Kamis 22 Desember 2011 adalah hari ibu. Tetapi saya tidak sempat menulis surat pada hari istimewa itu. Baru hari ini, Jumat, 23 Desember 2011, saya menguntai kata buatmu. Tetapi keterlambatan itu sama sekali tidak mengurangi hormat dan cintaku kepadamu.

Aku teringat kasih dan cintamu yang sudah tercurah. Kulitmu legam terbakar matahari karena berjemur berjam-jam di sawah dan ladang hanya untuk menghidupi kami bertujuh. Pulang dari kebun, engkau tidak pernah melenggang dengan tangan kosong. Selalu dengan keranjang berisi singkong, talas, ubi, atau pisang. Belum lagi kayu bakar di atas kepala.

Ketika tiga bidang kebun kita masih dianami padi, engkau rela memanen seorang diri. Kalaupun ajak orang, hanya satu dua orang kerabat. Entah untuk hemat, aku tak tahu karena ketika itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti. Sore harinya, engkau memikul padi itu dalam keranjang berisi penuh. Beratnya tidak kurang dari 20-30 kilo gram. Saya hanya bisa mengikutimu dari belakang. Bahkan tidak jarang membuatmu marah dan menambah bebanmu karena masih merengek.

Ketika sawah-sawah kita itu kemudian menjelma menjadi kebun kopi pada 1980-an, punggungmu yang sama bagaikan kuda beban yang mengangkut bulir-bulir kopi berkilo-kilo dalam keranjang. Jalan yang dilalui pun terjal. Peluh bercucur deras, sebelum sampai di rumah kita yang sangat sederhana, sebuah rumah yang dihuni delapan keluarga.

Kadang engkau ke kebun tanpa sarapan memadai. Makan siang pun sering lalai. Engkau baru pulang ketika senja menjelang.

Ende, masih terekam jelas dalam memoriku, ketika hari-hari pada bulan Desember seperti ini, kita makan malam hanya dengan jagung, singkong, dan pisang rebus. Nasi seolah jauh dari kita. Beras ketika itu menjadi barang yang sangat langka dan mahal. Rupiah pun tak punya untuk membelinya pada mereka yang menjual.

Tidak jarang kami menatap tetangga yang makan nasi pada malam hari dengan mata nanar. Apalagi pake lauk. Ikan goreng pula. Tetapi kami tidak pernah membencimu karena tidak memberi kami nasi dan ikan goreng.

Kami tahu, yang Ende punya hanya jagung, singkong, talas, dan pisang. Dan, dengan senang hati kami menikmati itu dalam kehangatan cintamu. Meskipun terkadang kami juga ingin makan nasi dan ikan goreng seperti tetangga sebelah dan terpaksa hanya menelan liur.

Hasil dari kebun kopi yang Ende tanam pun belum pernah dinikmati sendiri hingga saat ini. Tidak pernah hasil kopi itu Ende gunakan untuk sekedar membeli baju bagus atau makan enak. Ende rela tetap makan singkong, jagung, dan talas. Ende juga rela pakai pakaian compang camping demi kami anak-anakmu. Jarang pakai alas kaki. Sandal jepit paling sederhana sekalipun. Bagimu yang utama adalah kami bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah terbaik di daerah kita. Hasil kebun kopi itu dijual untuk uang sekolah dan asrama kami.

Ende, mengenang engkau, saya pernah menangis tersedu-sedu di atas sepeda motor di jalanan Jakarta yang hiruk pikuk ini karena mendengar engkau sakit. Hatiku teriris mendengar engkau terbaring lemah. Seketika itu juga saya lari ke bank terdekat untuk sekedar mengirim uang perawatan di rumah sakit. Tidak seberapa besarnya. Beruntunglah beberapa hari kemudian engkau pulih.

Setelah beberapa anakmu tinggal jauh, engkau selalu kangen. Terkadang engkau menangis mengingat kami. Tak jarang engkau protes karena kami tidak memanggilmu dalam telepon selama beberapa hari. Semua itu menunjukkan cintamu yang luar biasa dan tidak pernah luntur, meski kami belum berbuat apa-apa untukmu.

Ende hanya doa yang bisa kupinta pada hari yang sangat indah ini. Semoga engkau selalu sehat dan dianugerahi umur yang panjang. Semoga kami bisa membahagiakanmu di hari tuamu. Salam sayang dari anak sulungmu. (Alex Madji)

Catatan: Ende adalah kosa kata Bahasa Manggarai, NTT untuk Ibu, mama/mami dan sebutan sejenis itu.

Kamis, 22 Desember 2011

Inilah Ciri-ciri Wajah Seksi


Cantik. Semua orang mendambakan ini. Tidak ada satu orang pun yang mau jelek. Orang berlomba-lomba mempercantik diri. Berbagai cara pun ditempuh. Ada yang dengan mendatangi salon-salon kecantikan. Ada juga yang melakukannya dengan tusuk jarum. Dan masih banyak cara lain.

Tetapi apa itu kecantikan? Tidak ada definisi yang baku. Sebab, setiap periode sejarah dan setiap budaya manusia selalu memiliki gagasan tersendiri tentang kecantikan. Karena itu, tidak definisi yang definitif tentang kecantikan. Cantik adalah sebuah gagasan yang selalu berubah.

Lalu apa yang membuat wajah terlihat cantik dan seksi? Dan apa pula yang membedakan antara wajah yang sangat atraktif dengan yang kurang?

Dari pada pusing menjawab pertanyaan itu, saya membagikan saja ciri-ciri wajah seksi baik pria maupun wanita berdasrkan sebuah proyek penelitian yang menggunakan pendekatan empiris.

Ciri-ciri wajah seksi seorang perempuan adalah: warna kulit coklat, bentuk muka lonjong, kurang lemak, bibir yang lebih penuh, mata yang lebar dan bersih jernih, tulang pipi yang panjang, alis mata yang lebih gelap, hidung mancung, tidak ada cincin mata. Nah ciri-ciri ini tidak dimiliki oleh wajah yang tidak seksi.

Sementara ciri-ciri wajah seksi pada pria adalah: warna kulit yang lebih coklat, bentuk wajah lonjong, tidak berlemak, bentuk bibir yang lebih penuh dan simetris, alis mata yang lebih gelap, wajah bagian atas imbang dengan wajah bagian bawah, tulang pipi lebih tinggi, serta tidak ada kerutan antara hidung dan ujung mulut.

Sekarang tinggal Anda bercermin. Ciri-ciri itu ada pada wajah Anda atau tidak? Selamat bercermin. (Alex Madji)

Gambar diambil dari:http://wallpaper-s.org/78__Hilary_Duff,_Beautiful_Face.htm

Rabu, 21 Desember 2011

Antara Songke dan Ketan

Sabtu, 17 Desember 2011 siang. Suhu Yogyakarta cukup panas. Kami menerobos salah satu satu sudut kota itu tepat saat matahari berada di atas kepala. Menyengat.

Kami menuju sebuah rumah mungil di daerah Babarsari, persisnya kawasan di belakang Hotel Ambarukmo di Jalan Solo, Yogyakarta.

Hari itu, ada acara perkenalan keluarga antara kami, keluarga sepupu saya John, dengan keluarga calon istrinya, Riris, di rumah dua lantai di kawasan itu.

Kami tiba di rumah itu persis ketika azan menggema. Jam 12.00 siang. Di balik gerbang, seorang bapak mengenakan batik keemasan lengan panjang menyambut kami. Diikuti istrinya dengan kostum sepadan. Keduanya adalah orang tua pacar sepupu saya itu. Mereka menyalami kami dengan jabat tangan yang erat dan hangat.

Sejurus kemudian, kami (saya, Om William, sepupu saya yang lain Egi, serta ponakan yang masih kuliah di Yogyakarta Prisno) dipersilahkan masuk. Om William yang berada pada barisan paling depan, sudah lebih dulu melepas kasut.

Sementara kami yang lain dipaksa masuk tanpa harus buka alas kaki. Padahal, ujung kaki saya sudah di luar sepatu. Tetapi terpaksa harus dimasukkan kembali dan melenggang memasuki rumah yang bersih dan tertata rapih itu.

Egi memperkenalkan kami ala kadarnya. Tak lama setelah itu, pembicaraan serius dimulai. Om William membuka pembicaraan. Dengan sigap saya membuka tas mengambil barang-barang yang kami bawa: songke (kain tenun khas Manggarai, Flores, NTT), sebotol bir, dan satu ekor ayam jago, sesuai adat kami, Manggarai Flores NTT. Om Willian tercekat sambil menunggu barang-barang tersebut.

Om William kemudian melanjutkan pembicaraan sambil menyerahkan songke. Kain itu, kata dia, adalah pengikat antara pasangan calon suami istri. Mereka diikat dalam satu kain agar masing-masing tidak pindah ke lain hati. Kemudian diserahkan juga bir. “Kalau di kampung, seharusnya tuak. Tetapi karena tuak sulit didapat, maka kami serahkan bir,” ujar William.

Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan seekor ayam jago yang seharusnya satu paket dengan bir tadi. Ini bermaksud mengambil hati orang tua sang putri agar anaknya mau disunting oleh “jago” kami.

Selanjutnya, “Kami siap menerima perintah Bapak,” kata Om William menutup pembicaraannya.

Pemberian itu disambut keluarga perempuan. Dia lalu memanggil putrinya dan duduk di samping jago kami. “Riris, apakah kamu serius ingin menjalin hubungan dengan Mas John,” tanya Bapaknya. “Serius,” jawab Riris, panggilan akrab di rumahnya. Pertanyaan yang sama disampaikan untuk John. “Serius,” jawab John. Meskipun agak sedikit diprotes oleh Pakde Riris karena jawaban John terdengar tidak tegas. “Jawab yang tegas,” ujarnya dari kursi seberang.

Tepuk tangan pun membahana di ruang tamu rumah itu menyambut keseriusan kedua calon pasangan pengantin. Acara lalu jeda makan siang. Menu makan siang yang disediakan tuan rumah untuk tamu-tamu yang datang dari jauh adalah sayur lodeh, sate ayam, sate ampla, nasi tumpeng dan ayam goreng. Kebetulan pada hari itu, adik bungsu Riris, Anis merayakan ulang tahunnya yang ke-21. Tadi, setelah “interogasi” terhadap Riris dan John, dilanjutkan dengan potong tumpeng ulang tahun si putri bungsu.

Selepas makan siang, pembicaraan dilanjutkan. Kali ini yang dibicarakan adalah tanggal pernikahan John dan Riris. Sejumlah tanggal pada bulan Juni dilihat dan ditimbang-timbang, sebelum akhirnya memilih Sabtu 16 Juni 2012.

Sebelum kami meninggalkan ruma itu, kami disangoni tiga kotak kue ketan. Katanya, ini adalah lambang perekatan dan pengikatan hubungan baik antara Riris-John maupun antara keluarga keduanya. Selain itu, kami juga diberi kue bolu sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke Jakarta pada Minggu, 18 Desember 2011.

Nah, ternyata songke dan ketan dalam acara perkawinan beda budaya seperti ini memiliki makna yang sama. Simbol boleh berbeda. Tetapi makna satu. Pengikat dan perekat untuk tidak pindah ke lain hati. (Alex Madji)

Selasa, 20 Desember 2011

Konsistensi Bambang Widjojanto


Selasa 20 Desember 2011, fotografer Suara Pembaruan Ruht Semiono mengirim beberapa foto Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto sedang naik ojek dan turun dari ojek di depan kantor KPK di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Sebenarnya tidak ada yang luar biasa dari foto ini. Sebab, sudah menjadi kebiasaan seorang Bambang Widjojanto menumpang kendaraan umum baik kereta api, taksi maupun ojek. Ini dilakoninya selama bertahun-tahun.

Tetapi menjadi luar biasa, ketika dia melakukan itu pada saat dia menduduki jabatan publik sepenting KPK. Bambang bersama empat pimpinan KPK lainnya dilantik pekan lalu di Istana Negara, Jakarta.

Di satu pihak, Bambang memperlihatkan konsistensinya bahwa jabatan tidak serta merta mengubah pola dan gaya hidupnya. Tetapi di lain pihak Bambang tidak atau belum memikirkan risiko. Sebab bukan jadi rahasia lagi bahwa pejabat KPK itu menjadi musuh para koruptor. Saya hanya khawatir, BW, sapaan akrabnya, akan dicederai seperti dengan modus ditabrak oleh pembunuh bayaran para koruptor. Tetapi mudah-mudahan ini tidak akan terjadi.

Terlepas dari itu, konsistensinya memilih tetap naik kendaraan umum seperti rakyat kebanyakan patut diapresiasi. Dia tidak malu naik ojek, meski sudah menjadi pejabat publik. Saya berharap, BW bisa mempertahankan hal positif seperti ini dan tidak hangat-hangat tahi ayam. Bila perlu, BW sekalian menolak mobil dinas dari KPK.

Sikap seperti ini absen di kalangan pejabat publik republik ini. Yang terjadi justru sebaliknya. Mereka berlomba-lomba mengadakan mobil dinas yang mahal dan mewah dengan berbagai alasan. Padahal mobil dinas sebelumnya masih layak digunakan. Maka patut diduga pengadaan mobil dinas seperti itu juga menjadi sarang korupsi.

Mestinya, KPK juga mengusut pengadaan mobil dinas di setiap kantor kementerian dan lembaga negara yang selama ini masih luput dari pantauan publik.

Maka konsistensi BW ini bisa menjadi teladan bagi pejabat publik lainnya. Bahwa tanpa mobil dinas pun tidak mengganggu bobot kerja. Justru dengan begini, seorang pejabat publik memberi teladan yang bagus bagi masyarakat. Pada saat bersamaan dia mendapat simpatik yang mendalam. Jadi, ibarat pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampau. Itulah yang dilakukan Bambang Widjojanto. (Alex Madji)

Senin, 19 Desember 2011

Yogyakarta Ya Bakpia


Yogyakarta tidak hanya identik dengan gudek tetapi juga bakpia. Orang-orang yang pulang dari Yogyakarta, kalau tidak bawa gudek, ya bawa bakpia.

Pusat-pusat pembuatan bakpia pun ramai di kunjungi orang, terutama di Jalan KS Tubun. Tetapi bakpia yang paling ramai di jalan itu adalah Bakpia Pathok 25. Ada juga Bakpia 75 yang teletak persis di seberang bakpia Pathok 25 itu, tetapi dari luar kelihatannya tampak sepi.

Sabtu 17 Desember 2011, sore itu, tempat yang agak menjorok ke dalam itu ramai sesak. Gadis-gadis pelayan di ruangan depan sibuk melayani pembeli.

Di ruang belakang, tempat pembuatan bakpia, tidak kalah hiruk pikuknya. Di sebuah meja panjang, laki perempuan dalam balutan seragam merah marun bercorak duduk rapat. Dengan mulut tertutup masker, mereka tekun memtik gundukan adonan di depan mereka menjadi bulatan-bulatan kecil.

Di ujung meja itu, ada beberapa pekerja, kebanyakan laki-laki, yang sibuk menjadikan bulatan-bulatan kecil itu menjelma menjadi bakpia panas. Dari situ, bakpia dimasukkan ke dalam dus-dus kecil, sebelum akhirnya di bawa ke toko bagian depan tadi untuk dijual.

Menurut salah satu sales promotion girl (SPG) Bakpia Pathok 25, Suryani, pusat oleh-oleh bakpia ini paling ramai dikunjungi pembeli pada Sabtu-Minggu. Sementara pada hari-hari kerja, yang berkunjung ke situ hanya sedikit orang.

"Kalau Sabtu Minggu ya begini situasinya. Kalau Senin-Jumat paling dua tiga orang," ujar perempuan bertubuh agak subur itu.

Karena itu menghadapi pengunjung yang membeludak itu, Bakpia Pathok 25 yang berdiri sejak 1948 itu, harus merekrut tenaga lepas pada akhir pekan. Jumlahnya tergantung padat tidaknya pengunjung. "Kalau ramai sekali bisa mencapai 50-an orang. Tapi kalau tidak ya 25 sampai 30 orang," imbuhnya.

Sementara karyawan tetapnya hanya berjumlah 40 orang. Itu sudah termasuk mereka yang menyambut pembeli di parkiran hingga di dapur.

Masih menurut Suryani, rumah panjang berbentuk huruf L itu masih bangunan kontrakan. Bangunan itu tidak jauh dari rumah pemiliknya yang persis berada di depan bangunan yang dari luarnya tampak sederhana tersebut.

Kalau Anda datang ke sana, jangan kaget kalau ditanya, pakai apa? Maksudnya pakai kendaraan sendiri, pakai becak, atau travel. Informasi itu akan dilanjutkan dengan handy talky ke bagian penjualan di dalam dengan bahasa sandi mereka.

Sebab ternyata, kalau kita pakai becak atau kendaraan travel harga bakpia per dus kecil beda dengan kalau kita pakai kendaraan sendiri. Datang sendiri harganya lebih murah dibandingkan diantar becak atau travel. Selisih harga itu akan dibayarkan sebagai balas jasa untuk tukang becak atau travel yang mengantar konsumen.

Sore itu, saya bahkan "diinterogasi", "dimana sandalnya Pak?" Ya, saya datang ke situ nyeker alias tanpa alas kaki sambil tenteng kamera. Bukan karena apa-apa, saya belum sempat beli sandal jepit. Ini bukan trik biar dikasih harga super murah.

Kami pun meninggalkan tempat itu sambil tenteng dua dus bakpia panas sebagai oleh-oleh ke Jakarta. Selepas itu baru beli sandal jepit sebelum menggerayangi sudut-sudut Yogyakarta, kota gudek dan bakpia itu. (Alex Madji)

Jumat, 16 Desember 2011

Sekali Lagi Menyoal Pernyataan SBY


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menegaskan bahwa istrinya Kristiani atau Ani Bambang Yudhoyono tidak akan mencalonkan diri pada pemilu presiden (Pilpres) 2014.

Pernyataan ini ditegaskan SBY pada sarasehan memperingati ulang tahun ke-10 Partai Demokrat, partai yang didirikannya sebagai kendaraan politik untuk maju dalam pilpres 2004 lalu, di Jakarta, Kamis 15 Desember 2011.

Ini untuk kesekian kalinya SBY membuat pernyataan ini. Dalam beberapa tahun terakhir, cukup sering SBY membuat pernyataan ini.

Saking seringnya, publik pun bertanya-tanya. Apakah memang benar seperti pernyataan SBY itu bahwa Ny Ani Yudhoyono tidak akan maju pada Pilres nanti? Atau pernyataan SBY ini hanya untuk mengukur pasar, seberapa jauh Ani Yudhoyono diterima pasar politik Indonesia.

Bagi saya, dengan cukup seringnya SBY membuat pernyataan itu maka SBY mau memberi pesan tertentu. Apa pesannya? Tidak lain adalah bahwa untuk saat ini Ny Ani Yudhoyono memang tidak berniat mencalonkan diri.

Tetapi tunggu setelah pemilu legislatif 2014. Sebab ada pernyataan lanjutan dari SBY bahwa menjadi calon presiden harus berdasarkan kehendak rakyat, bukan kehendak sang calon. Dan kehendak rakyat itu tolok ukurnya adalah pemilu legislatif. Bila, Partai Demokrat nanti menang lagi, bukan tidak mungkin Ny Ani Bambang Yudhoyono didorong menjadi capres. Apalagi, seperti biasa kehendak rakyat di republik ini gampang di manipulasi.

Seperti sudah bilang pada artikel terkait yang sudah diturunkan di blog ini bahwa pernyataan SBY itu adalah pernyataan politis. Dalam politik semua serba abu-abu. Tidak ada hitam putih.

Dan, dalam politik tidak ada kepastian mutlak. Satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Jadi jangan percaya mulu rica-rica, kata orang Manado. (Alex Madji)

Kamis, 15 Desember 2011

Harian Detik


Persaingan bisnis media massa sekarang makin sengit dan ketat. Bukan hanya media online. Tetapi juga cetak. Media cetak mencoba memasuki dunia digital dengan membentuk situs berita online. Sebaliknya, media berita online terjun ke dunia cetak dengan mendirikan versi cetaknya. Padahal, di pihak lain, ada prediksi bahwa usia media cetak tidak akan lama lagi. Kematian akan segera menjemput mereka.

Contoh terbaru adalah Detik.com. Setelah diakuisi pemilik CT Group (pengganti Para Group), Chairul Tanjung, media berita online terbesar di Indonesia itu kini menerbitkan versi cetaknya dengan nama Harian Detik. Harian ini diterbitkan dalam dua edisi yaitu pagi (Harian Detik Pagi) dan sore (Harian Detik Sore). Harian Detik Pagi terdiri dari 11 halaman, sedangkan Harian Detik Sore, sedikit lebih tipis dengan 8 halaman.

Disainnya persis Koran Tempo. Mirip sekali. Maklum awaknya sebagian besar eks Tempo. Sang Pemimpin Redaksi yang juga pendiri Detik.com Budiono Darsono adalah eks Majalah Tempo. Beberapa staf redaksinya teman-teman Koran Tempo yang baru hijrah ke harian baru itu. Tidak tahu apakah mereka dibajak seperti biasa terjadi pada media massa ataukah mereka sendiri yang melamar. Ini musti ditanyakan ke teman-teman itu.

Harian Detik tampil dalam bentuk digital dan dibaca secara gratis. “Harian Detik tampil dalam bentuk digital dan dapat dibaca gratis melalui browser atau iPad Anda,” begitu tulisan yang terbaca pada hariandetik.com.

Munculnya Harian Detik, sebenarnya bukan baru. Mereka pernah mencoba beberapa tahun lalu. Dicetak lalu dijual eceran di jalan. Tetapi tidak lama. Setelah itu senyap. Apakah ini juga akan dicetak? Belum ada jawaban pasti.

Tetapi kemungkinan iya. Sebab Chairul Tanjung berkeinginan untuk memiliki media cetak setelah memiliki media elektronik dan online. Isu yang beredar menyebutkan bahwa dia sedang berupaya mengakuisisi media cetak nasional yang berbasis di Jakarta, tetapi belum ada kesepakatan hingga kini.

Karena itu, saya menduga, bila upaya itu gagal maka Harian Detik versi digital akan menjelma menjadi versi cetak. Bila itu terjadi maka persaingan media cetak akan menjadi semakin sengit. Malah ada juga isu yang menyebutkan bahwa Chairul Tanjung sudah membeli koran tua Harian Merdeka yang sudah dua kali diterbitkan pasca cerai dari Jawa Pos, tetapi tidak bertahan lama.

Sebelum Harian Detik, media online pendatang baru, inilah.com, sudah menerbitkan media cetak versi koran dengan nama Inilah Koran dan majalah Inilah Review. Kedua media ini tidak hanya tampil e-paper, tetapi juga dicetak dan diedarkan.

Media-media ini harus berjuang dengan media-media cetak yang sudah ada. Dalam persaingan itu, kekuatan uang tentu akan sangat berperan, meski bukan satu-satunya. Siapa yang kuat secara finansial dialah yang akan memimpin pasar. Tetapi di atas itu semua, pasar yang akan menjadi hakimnya. Pasar punya mekanisme seleksi sendiri yang terkadang sulit diprediksi. Dia yang menentukan mana koran yang layak dibaca dan mana yang tidak. Pada akhirnya, yang ditolak pasar akan gulung tikar. Sebaliknya yang diterima akan eksis. Akhirnya selamat datang Harian Detik. (Alex Madji)

Rabu, 14 Desember 2011

Sejenak di San Francisco


Artikel berikut ini adalah cerita perjalanan mengikuti rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berkunjung ke Amerika Serikat, Meksiko, Brasil, dan Peru pada November 2008 untuk mengikuti KTT G-20 di Washinton dan KTT APEC di Lima. Saya tampilkan lagi dalam blog ini. Sementara foto di atas adalah foto di depan toko buku terkenal Barnes dan Noble di Washington.

Pesawat Kepresidenan Air Bus A 330-341 mendarat di San Fracisco International Air Port, Kamis 13 November 2008 pada pukul 14.55 waktu setempat atau Jumat 14 November tengah malam waktu Jakarta (waktu San Francisco 15 jam lebih lambat dari waktu Jakarta). Suhu di darat dilaporkan 14 derajat selcius. Sebelum landing, kami menyaksikan kota San Francisco dari atas udara yang dibelah oleh teluk menjadi dua. Keduanya dihubungkan jembatan. Dari udara kelihatannya indah dan jembatan itu ramai dilalulalangi kendaraan.

Presiden SBY dan Ny Ibu Ani Yudhoyono, rombongan resmi, dan rombongan khusus transit di VIP room San Francisco International Air Port. Mereka disambut Walikota San Francesco. Sementara rombongan lain seperti wartawan dan perangkat pengamanan presiden tunggu di dalam pesawat. Tapi dasar bandel, beberapa wartawan termasuk saya, sempat turun dari pesawat hanya untuk berfoto di dekat mobil petugas bandara bertuliskan “San Francisco International Air Port”.

Padahal seorang tentara AS berpakaian stelan jas menjaga di ujung tangga dengan raut wajah serius. Sesekali dia dengan bahasa isyarat melarang wartawan untuk keluar makin jauh mendekati mobil itu. Padahal di pintu keluar belakang pesawat Garuda Indonesia Air Bus 330 sudah dipasang police line.

Kami menyaksikan hiruk pikuk di bandara internasional yang terletak di tepi pantai dan membentang luas di lembah San Francisco itu. Sangat ramai. Dua pesawat bisa susul menyusul take off. Atau dua sampai tiga pesawat bisa take off pada waktu bersamaan, meski dari run way yang berbeda tapi berdekatan. Sungguh jauh berbeda dengan bandara-bandara di Indonesia, Soekarno Hatta International Airport sekalipun.

Kami berangkat dari San Francisco menuju Washington DC ketika senja tiba. Matahari sudah tenggelam di balik bukit kota San Francisco. Dan setelah menempuh penerbangan selama 4 jam 15 menit, akhirnya pada pukul 24.58 waktu Washinton Pesawat Kepresiden mendarat dengan mulus di Andrews Air Force Base, Maryland (seperti Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta. Suhu pada saat itu dilaporkan 11 derajat celcius. Maryland baru saja diguyur hujan. Landasan dan lapangan parkirnya basah.

Setelah pesawat benar-benar berhenti, Presiden dan Ny Ani Yudhoyono bersama rombongan resmi dan rombongan khusus pergi terlebih dulu. Kemudian diikuti rombongan lain yang visanya sudah lengkap. Sedangkan kami 12 orang, beberapa wartawan (Saya, Mas Dodi dari Kantor Berita Antara, Michael dan Arif Suditomo dari RCTI, Ramadhan Pohan dari Jurnal Nasional, Arifin dari Detikcom) serta beberapa Paspampres, bahkan ajudan Presiden harus berurusan dengan pihak Imigrasi AS karena visanya bermasalah. Untunglah ada orang Kedutaan Besar Indonesia untuk AS yang membantu. Kami harus mengisi lagi dua formulir. Satu formulir yang lebih kecil hanya mengisi nama depan, nama belakang, tempat tanggal lahir dan tanda tangan. Satu lagi formulir lebih besar dari itu, sebenarnya sudah diisi oleh pihak kedutaan besar, tetapi kami tinggal isi nama depan saja plus tanda tangan. Setelah itu selesai, kami boleh pergi.

Saat itu, jam sudah menunujukkan pukul 02.00 pagi waktu Washington (Washington beda 12 jam dengan Jakarta atau tiga jam lebih cepat dari waktu San Francisco). Dengan tiga mobil ford baru dengan suara mesin sangat-sangat halus, nyaris tak terdengar, kami diantar staf Kedutaan Besar Indonesia membelah kehengingan malam dan kedinginan Washington yang sudah terlelap dan berkabut menuju penginapan.

Presiden Yudhoyono dan Ny Ani Bambang Yudhoyono, rombongan resmi serta rombongan khusus nginap di The Ritz Charlton Hotel. Sedangkan wartawan termasuk para pemimpin redaksi yang ikut dalam kunjungan itu nginap di Hotel Palomar yang beralamat di 2121 P St NW Washington DC. Letaknya tidak jauh dari The Ritz Charlton. Dalam perjalanan malam itu, kami melewati gedung parlemen AS (Capitol), manumen nasional, dan melewati George Washington University yang luas sekali. Sejumlah mahasiswa dan mahasiswi universitas itu masíh tampak lalu lalang di tengah malam yang dingin dan sepi itu.

Di pojokan lain, dekat hotel Palomar, segerombolan orang laki-laki berkumpul. Hanya ada bebera perempuan. Kata seorang staff Kedutaan Besar Republik Indonesia, tempat itu adalah tempat tongkrongan para gay dan lesbian. Yah di situ masíh ada sisa-sisa kehidupan malam kota besar.

Kami tiba di hotel Palomar pukul 03.00 pagi. Dari luar, hotel itu terkesan sederhana. Tetepi setelah memasuk kamar 425, wah ternyata mewah sekali. Dan benar. Setelah saya cek di brosurnya, harga satu kamar dengan single bed adalah 999 dolar Amerika Serikat per malam. Sedangkan tarif untuk satu kamar dengan double bed, 1.029 dolar Amerika Serikat per malam.

Saya lalu bertanya kepada Mas Dodi dari Kantor Berita Antara yang sudah senior dan sering mengikuti kunjungan Presiden, siapa yang akan membayar hotel itu. Karena kalau bayar sendiri, budjet kantor saya yang hanya 150 US dolar per malam pasti tidak cukup. Tetapi, kata Mas Dodi, dibayar APBN. Lagi pula, dalam order of the day yang dibagikan ke setiap kamar disebutkan bahwa untuk sarapan silahkan pesan, nanti di-charge ke kamar.

Selasa, 13 Desember 2011

Resolusi Saya


Akhir tahun sudah di ujung garis. Tahun baru, 2012, segera menjemput. Selama satu tahun ini mungkin banyak hal yang sudah dikerjakan. Mungkin juga ada hal yang tertunda perwujudannya dengan berbagai sebab.

Maka penghujung tahun ini adalah waktu yang tepat untuk membuat resolusi baru, niat, tekad yang akan dikerjakan selama satu tahun ke depan. Mungkin mengukuhkan kembali resolusi tahun lalu yang belum terwujud. Atau membangun resolusi baru sama sekali.

Menurut motivator perempuan nomor satu Asia Tenggara, Merry Riana, resolusi ini sangat penting. Dia menjadi semacam mahkota yang mau kita raih selama tahun ini. Karena itu segala daya dikerahkan untuk menggapainya. Berbagai taktik dan teknik dipraktekkan untuk memetik mahkota tersebut.

Resolusi memang tidak harus dilakukan menjelang akhir tahun. Kapan saja, Anda bisa membuat resolusi. Tergantung momen yang pas buat Anda. Tetapi tidak sedikit orang yang membuat resolusi pada akhir tahun.

Misalnya, resolusi yang ditulis pemilik blog David Carlson Politics, David Carson. Di penghujung 2008, dia membuat resolusi untuk membaca 50-60 buku selama 2009. Artinya, dalam satu minggu dia harus membaca satu buku. Untuk mewujudkan resolusinya itu, dia membuat daftar 10 buku pertama yang harus dibacanya dengan sinopsis singkat masing-masing buku-buku tersebut.

Sementara Merry Riana membuat resolusi jangka panjang pada perayaan ulang tahunnya yang ke-20. Ketika itu dia masih belajar di Nanyang Technological University (NTU), Singapura dan merasakan pahit getirnya mencari uang untuk menambah uang saku. Belajar dari pengalaman itu, perempuan kelahiran Jakarta itu membuat resolusi untuk mandiri secara finansial sebelum umur 30 tahun. Resolusi itu terwujud empat tahun lebih cepat atau tepatnya pada umur 26 tahun. Dia meraih 1 juta dolar pertamanya.

Setelah sukses dengan resolusi itu, dia membangun resolusi berikutnya, yaitu memberi pengaruh pada satu juta orang di Asia, terutama di Indonesia. Inilah mimpi satu juta dolar Merry Riana.

Nah resolusi saya untuk 2012, sederhana saja. Yaitu, rutin mengisi blog ini dan melipatgandakan jumlah pengunjungnya. Dan apa resolusi Anda pada 2012 yang sudah berada di depan pintu?? Boleh juga dishare dalam kolom komentar di bawah ini.

Tetapi kalau tidak, catat saja dalam hati Anda dan jalankan. Akhirnya, selamat mambangun dan menjalankan resolusi dengan komitmen yang melimpah. (Alex Madji)

Senin, 12 Desember 2011

Sukses di Ujung Karya


“Nunun Ditangkap”. Begitu judul berita utama koran-koran di Jakarta, Minggu 11 Desember 2011. Ya, buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nunun Nurbaeti akhirnya ditangkap di Thailand oleh polisi negara itu pada Jumat, 9 Desember 2011. Kemudian istri mantan Wakil Kapolri Adang Daradjatun itu diserahkan ke KPK di atas pesawat Garuda Indonesia di Bandara Internasional Swarnabhumi, Bangkok pada Sabtu, 10 Desember 2011. Sore harinya, Nunun diterbangkan ke Jakarta.

Nunun tiba di Jakarta pada Sabtu, 10 Desember 2011 malam dan langsung digelandang ke KPK. Setelah pemeriksaan sebentar, terutama terkait kesehatannya, Nunun langsung digelandang ke rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dia ditempatkan dalam ruangan bersama 32 orang tahanan lainnya.

Maka berakhirlah pelarian dan pelesiran Nunun yang lama ini tertangkap kamera sedang berbelanja di Singapura sejak Februari 2011.

Diharapkan, penangkapan Nunun bisa mengurai benang kusut kasus cek pelawat pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Miranda S Goeltom. Sejumlah politisi dari Golkar, PDI-P, dan PPP terpaksa tinggal di hotel Pro Deo alias gratis karena terlilit kasus ini.

Diharapkan pula, Nunun bisa mengungkap otak dibalik pengeluaran cek pelawat itu atau bahasa kerenya, actor intelectualis kasus ini. Termasuk pengungkapan kemungkinan ada mafia perbankan yang bermain dalam kasus tersebut.

Tetapi harapan itu akan pupus bila penyakit lupa Nunun kambuh. Maklum, dokter pribadi Nunun, Andreas Harry mendiagnosa Nunun mengalami sakit hilang ingatan. Meskipun diagnosa ini harus dipertanyakan apakah murni berdasarkan ilmu dan kaidah-kaidah kedokteran atau hanya untuk kepentingan uang sang pasien. Sebab, tidak sedikit dokter sekarang yang tidak mengabdi pada profesi, ilmu dan etika kedokteran tetapi murni pada uang. Tewasnya raja pop Michael Jackson adalah contoh kerja dokter yang hanya mengabdi pada orang yang membayarnya (perusahaan obat).

Apalagi, saat tulisan ini dibuat pada Senin 12 Desember 2012 sore, muncul berita bahwa Nunun harus dilarikan ke Rumah Sakit MMC karena pingsan sebelum diperiksa penyidik di KPK.

Terlepas dari itu, satu hal yang patut dicatat adalah bahwa penangkapan Nunun terjadi pada hari-hari terakhir kerja pimpinan KPK. Sebentar lagi Bibit Samad Riyanto, Chandra M Hamzah, M Jasin, dan Haryono Umar meninggalkan kantor di Jalan Rasuna Said Jakarta Selatan itu. Yang tersisa adalah Busyro Muqqodas yang masuk ke lembaga itu sebagai pemain pengganti dan akan diperpanjang lagi hingga satu periode ke depan.

Ini adalah hasil manis di akhir kerja mereka. Sukses ini menutup noda yang terciptrat di lembaga itu, terutama karena sejumlah pimpinan seperti Chandra M Hamzah disebut terdakwa kasus suap pembangunan wisma atlet, Muhammad Nazaruddin. Noda-noda itu bagai terhapus oleh penangkapan Nunun Nurbaeti.

Tinggal sekarang pimpinan baru Abraham Samad dan kawan-kawan mengungkap tuntas kasus Nunun. Tetapi tetap harus diingatkan untuk menghindari aspek politik dalam kasus ini. Sebab yang banyak terlibat dalam kasus ini adalah para politisi Golkar dan PDI-P. Karena itu, pimpinan baru KPK harus mampu juga mengungkap kasus Bank Century yang khabarnya melibatkan penguasa saat ini. Hanya dengan begitu, mereka menjaga kewibawaan KPK dalam pemberantasan korupsi di negeri ini dan tidak ada tebang pilih dalam penegakan hukum. (Alex Madji)

Sabtu, 10 Desember 2011

Antara Indonesia dan Tunisa


Sondang Hutagalung (22), mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta melakukan aksi bakar diri di depan Istana Presiden pada Rabu, 7 Desember 2011. Ini adalah aksi tunggal. Tidak jelas apa isi tuntutan mahasiswa yang saat tulisan ini dibuat berada dalam keadaan kritis di RSCM itu (Sondang akhirnya meninggal dunia pada Sabtu, 10 Desember 2011 sore setelah tulisan ini dimuat).

Hanya ada fakta bahwa Sondang adalah aktivis dan juga Ketua Himpunan Advokasi Studi Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hamurabi) di kampusnya yang juga salah satu komunitas Sahabat Munir. Itu sebabnya mereka sering berdiskusi di kantor Kontras (Kompas, 10 Desember 2011).

Aksi Sondang ini mengingatkan saya akan aksi serupa yang dilakukan seorang pemuda Tunisia bernama Bouazizi yang menyulut kemarahan rakyat terhadap pemerintah. Revolusi Tunisia berawal dari aksi bakar diri Bouazizi yang memprotes kenaikan harga barang-barang di negara itu. Pemuda ini kemudian meninggal dunia.

Aksi ini menyulut kemarahan rakyat Tunisa terhadap pemerintah otoriter yang sudah berkuasa lebuh dari dua dekade. Aksi demo pun marak di jalan-jalan menuntut Preisden Zine El Abidine Ben Ali turun. Aksi massa selama beberapa pekan memang akhirnya berhasil. Mereka memaksa Presiden Ben Ali lari ke luar negeri menggunakan jet pribadi dan tidak pulang-pulang sampai hari ini.

Aksi pemuda itu, tentu disertai banyak faktor lainnya, membawa perubahan politik di Tunisa. Demokrasi mulai hidup. Pemilu terakhir dimenangkan kelompok Islam "garis keras", Partai Ennahda yang dikritik dan disindir oleh media massa barat, terutama Prancis.

Kembali ke aksi Sondang Hutagalung. Apakah aksi Sondang bisa mendorong Indonesia seperti peristiwa di Tunisia? Rasa-rasanya tidak.

Sebab, Indonesia sudah terlebih dulu masuk ke dalam alam demokrasi. Pemerintahan saat ini pun hasil pemilu demokrasi dan tidak memimpin secara otoriter. Kekuasaannya pun sudah dibatasi konstitusi hanya maksimal dua periode. Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi yang sangat dihormati dunia.

Secara ekonomi, Indonesia lebih baik. Pertumbuhan ekonominya masih lumyan di tengah ancaman krisis ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa. Meskipun pertumbuhan ekonomi itu tidak berdampak signifikan terhadap sektor riil dan pengurangan angka kemiskinan.

Sejalan dengan itu, harga barang-barang kebutuhan pokok masih terkendali, meski ada kenaikan. Tetapi kenaikannya tidak sampai mencekik leher masyarakat kebanyakan.

Maka dari itu, aksi bakar diri Sondang Hutagalung, tidak akan berdampak signifikan bagi perubahan politik dan ekonomi di negeri ini seperti yang terjadi di Tunisia. Aksi ini tidak melahirkan solidaritas masif yang bisa mendorong terjadi perubahan signifikan di negara ini termasuk pergantian pemimpin nasional.

Dengan kata lain, aksi bakar diri yang dilakukan Sondang sangat naif. Karena itu, saya sangat menyayangkan aksi nekatnya itu yang hanya membawa derita bagi Sondang sendiri dan keluarganya. (Alex Madji)

Bintaro, Sabtu 10 Desember 2011

Kamis, 08 Desember 2011

Ketika Sri Paus Jadi Bintang Iklan


Kamis, 8 Desember 2011, saya membaca berita dari Associated Press (AP) tentang Paus Benediktus XVI. Isinya, pada Rabu, 7 Desember 2011, Paus asal Jerman itu menyalakan Pohon Natal yang terbuat dari lampu yang dipasang di Umbria sacara jarak jauh. Sri Paus duduk manis di ruang kerjanya di Vatikan dan dengan hanya menyentuh tablet Sony S dengan jarinya, pohon natal yang dilukiskan terbesar di dunia itu serentak menyala, seperti terlihat pada gambar yang diambil dari suarapembaruan.com di atas.

Pohon natal itu terbuat dari hampir 1.000 lampu yang dipasang di atas Gunung Gubio dengan ukuran 450 meter kali 750 meter di atas sebuah area seluas 130.000 meter persegi atau hampir 30 kali lapangan sepakbola.

Meski sudah uzur, berumur 84 tahun, dan oleh sebagian kelompok dianggap kaku, Paus yang juga guru besar teologi ini terbuka terhadap kemajuan teknologi informasi. Bahkan dia menjadi magnet tersendiri bagi para produsen alat-alat teknologi canggih ini. Mereka berupaya datang ke Vatikan dan bertemu Paus dan memperkenalkan benda-benda itu kepada Sri Paus.

Sebelum memegang tablet Sony, Paus juga diberitakan sudah “berkenalan” dengan iPad. Bahkan, dilaporkan juga bahwa awal tahun ini bekas pembantu dekat Beato Yohanes Paulus II itu men-twit untuk pertama kalinya saat peluncuran portal berita Vatikan bernama news.va di iPad.

Ketika itu dia men-twitt menggunakan akun @news_va_en. Dia menulis begini, “Teman-teman yang baik, saya baru saja meluncurkan News.va. Terpujilah Tuhan Kita Yesus Kristus! Teriring berkat dan doaku, Benediktus XVI”.

Dikhabarkan pula bahwa Paus bernama Asli Joseph Alois Ratzinger ini memmiliki akun facebook. Terkait media social ini, Paus tidak mengharamkan media sosial seperti itu dan tidak mengasingkan diri dari hal-hal duniawi seperti itu. Dia malah meminta para pastor katolik untuk memanfaatkan media sosial itu facebook, twitter dan media sosial lainnya dalam berbagai gedget sebagai medium pewartaan.

Tetapi pada saat bersamaan Paus Benediktus XVI secara terselubung dijadikan bintang iklan produk-produk teknologi itu. Diharapkan, dengan diterima, apalagi dipakai Sri Paus, barang itu laku keras di seluruh dunia. Mungkin ada juga yang berpikir, setelah dipakai Paus, produk-produk itu terberkarti.

Apa yang dilakukan tablet-tablet itu baik iPad maupun Sony jauh lebih elegan dibandingkan yang dilakukan produk pakaian ternama Italia, Benetton Group belum lamam ini. Mereka bikin sensasi dengan menampilkan antara lain foto Paus Benediktus XVI berciuman dengan Imam Masjid Al Azhar, Kairo Ahmed Mohamed el-Tayeb. Tentu ini bukan peristiwa sesungguhnya. Tetapi hasil rekayasa manusia.

Foto ini sudah mengarah ke pelecehan dan penodaan agama serta pembunuhan karakter. Vatikan memprotes keras foto iklan itu dan menuntut perusahaan tersebut secara hukum. Foto itu pun kemudian ditarik. Dan, Benetton minta maaf kepada Vatikan.

Dengan fakta-fakta di atas, saya hanya mau menunjukkan bahwa tidak jarang Paus yang diasosiasikan suci dan menjaga jarak dengan dunia justru menjadi jualan produk-produk duniawi. Caranya pun macam-macam. Ada yang dilakukan secara elegan seperti tablet Sony dan iPad. Tetapi ada juga yang menekankan sensasi, tetapi malah menimbulkan masalah, seperti yang dilaukan Benetton. Jadi, Paus tetap menjadi magnet bagi siapa pun. (Alex Madji)

Rabu, 07 Desember 2011

Republik (Impor) Indonesia


Pemberitaan media massa beberapa waktu terakhir tentang barang-barang impor sungguh membuat hati miris. Kadang-kadang bikin marah. Dan, sebagai anak seorang petani, ingin rasanya memberontak. Bayangkan, hampir semua kebutuhan pokok rakyat Indonesia dipenuhi dengan barang-barang impor.

Beras impor, gula impor, ikan impor, buah impor, garam impor, dan bawang impor. Lalu apa yang tidak impor? Kapan Indonesia mandiri dalam urusan pangan?

Ada banyak alasan pemerintah mengapa barang-barang seperti di atas tetap saja impor. Tetapi ada satu hal yang tidak pernah terungkap adalah bahwa banyak mafia yang bermain pada sektor ini. Dan, sangat boleh jadi pemerintah terperangkap dalam cara kerja mafia itu. Atau jangan-jangan pemerintah sendiri bagian dari mafia itu.

Karena itu pemerintah enggan menghentikan kebijakan impor. Sebab mereka juga meneguk untung. Atau bila pemerintah menghentikan impor kebutuhan-kebutuhan tersebut, sejumlah orang yang selama ini meraup untung dari bisnis itu marah. Repotnya lagi, para pemain di bisnis impor ini adalah politisi yang berperan penting dalam proses pengambilan kebijakan impor baik di pemerintah maupun di parlemen. Akhirnya, lingkaran setan mafia bisnis impor itu sulit dipotong karena semua pihak berkepentingan terkait dan bermain di sana.

Sementara petani penghasil beras, gula, garam, bawang, buah sudah teriak. Hasil jerih payah mereka menjadi tidak bernilai dan berharga karena masuknya barang-barang impor tersebut. Leher mereka tercekik dan nyaris tidak bisa bernapas oleh gempuran barang impor yang bahkan datang hingga ke pintu-pintu rumah mereka.

Ketika beras hasil jerih paya petani rendah, pemerintah seolah tidur. Tidak berbuat apa-apa. Itu dialami orang tua saya setiap tahun. Tetapi dia tidak bisa teriak. Dia menerima kenyataan itu sambil mengurut dada.

Yang dibutuhkan sekarang adalah kemauan dan keberanian dari pemerintah untuk lebih menghargai petani dalam negeri. Berantas mafia impor itu dan petani pasti mendukung pemerintah yang memihak mereka.

Dengan kata lain, hentikan impor berbagai macam barang itu dan pakailah produk petani dalam negeri. Sebab mayoritas penduduk negeri ini adalah petani. Masa hasil kerja mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia? Kalau tidak, persoalannya di mana? Carilah solusi yang bersifat jangka panjang. Bukan jalan pintas. Impor adalah adalah kebijakan jalan pintas dan kalau tidak segera dihentikan akan mengancam masa depan bangsa ini. Atau kalau tidak ubah saja nama negara ini menjadi Republik Impor Indonesia. (Alex Madji)

Selasa, 06 Desember 2011

Kelakuan Dahlan Iskan


Dahlan Iskan tidak berhenti menggebrak publik. Ketika menjadi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) dia selalu membuat catatan yang disebut CEO Notes di website perusahaan tersebut. Catatan-catatannya menarik. Terakhir dia menulis soal detik-detik diangkat menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kemudian dikutip banyak media massa.

Senin, 5 Desember 2011, pemilik Jawa Pos Group itu kembali membuat gebrakan. Dia naik kereta ekonomi jurusan Depok-Tanah Abang. Dia bersumpek ria dengan penumpang lain, rakyat jelata negara ini. Tidak pakai dikawal pula. Dahlan cuek, meski banyak orang mengenalnya.

Dahlan tentu tidak sedang membangun citra sebagai pemimpin yang merakyat demi sebuah jabatan politis yang lebih tinggi dari menteri. Dahlan juga tidak sedang mencari sensasi. Tidak. Buktinya, tidak ada gerombolan wartawan yang meliput sidak atau inspeksi mendadak ala Dahlan Iskan itu. Wartawan malah tahu dari keterangan penumpang kereta yang mengenalnya.

Dahlan Iskan sedang merasakan sendiri angkutan umum yang ambur adul di republik ini. Dia tidak menunggu laporan bawahannya sambil duduk manis di sofa empuk di kantornya sambil menyeruput teh. Sebab, laporan bawahan lebih banyak asal bapak senang (ABS) alias yang baik-baik saja.

Begitulah cara kerja atau kelakuan Dahlan Iskan. Sebenarnya, ini adalah cara kerja jurnalis. Meliput, melihat dan merasakan sendiri fakta di lapangan. Cara kerja jurnalisnya ini tetap dibawa ketika masuk dalam birokrasi. Cara kerja yang sama juga dipraktekkan ketika menjadi CEO PLN. Dia pergi ke berbagai daerah. Merasakan kegelapan di pelosok-pelosok negeri yang belum teraliri listrik. Kemudian mencari solusi untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Saya jadi teringat cerita serorang teman yang pernah menjadi anak buah Dahlan Iskan di Jawa Pos Group. Diceritakan, ketika masih memimpin Jawa Pos Group, Dahlan tidak ongkang-ongkang kaki di kantor. Setelah koran terbit, dia ke lapangan. Ke lampu-lampu merah dan lapak-lapak penjual koran. Dia cek sendiri untuk memastikan bahwa korannya ada di pasar. Dia tidak menunggu laporan anak buahnya. Tetapi tahu sendiri situasi sesungguhnya di lapangan.

Diharapkan, setelah menikmati kesengsaraan rakyat jelata yang berjejal di dalam maupun di atas gerbong kereta, Dahlan Iskan bisa menemukan masalah utama angkutan umum khususnya kereta api. Selanjutnya memberi solusi agar angkutan umum di republik ini lebih beradab dan manusiawi. Meskipun masalah ini bukan urusan Dahlan Iskan semata. Banyak pihak yang terlibat. Tetapi Dahlan Iskan bisa menularkan virus dan niat baik untuk membenahi sektor ini.

Selain itu, sidak ala Dahlan Iskan ini patut ditiru oleh para pejabat lainnya. Tujuannya, agar mereka tidak dibohongi bawahannya dengan memberikan laporan ABS. Sidak juga tidak perlu dikoar-koarkan. Sebab sidak seperti itu tidak untuk menemukan masalah tetapi hanya untuk pencitraan. Sayangnya, hal seperti inilah yang jamak dilakukan para pejabat kita. Karena itu tidak salah dan tidak perlu malu belajar dari Dahlan Iskan. (Alex Madji)

Senin, 05 Desember 2011

IJ Kasimo


Senin, 5 Desember 2011, saya kehabisan ide untuk dituangkan ke dalam blog ini. Sejak pagi saya berpikir keras, kira-kira apa yang mau saya tulis. Tetapi sampai setelah makan siang, ide yang diharapkan belum datang juga. Sungguh mati angin.

Tiba-tiba, sekitar pukul 14.30 WIB, teman sekantor saya, Hendro Situmorang, datang. Belum lama duduk di kursinya, dia membuka tas, lalu mengambil sesuatu. Sejurus kemudian, dia menyerahkan kepada saya sebuah buku yang masih terbukus sampul plastik. Judulnya, “Politik Bermartabat: Biografi IJ Kasimo”.

Buku ini ditulis JB Soedarmanta, seorang editor buku senior dan penulis buku yang sangat produktif dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Menurut Hendro, buku ini dibagikan kepada wartawan, seusai misa syukur penganugerahan pahlawan nasional kepada IJ Kasimo di Gereja Katedral Maria Diangkat ke Surga, Jakarta, Kamis, 1 Desember 2011. “Saya dapat dua,” kata Hendro sambil menyerahkan satu eksemplar kepada saya.

Maka seketika itu juga saya memutuskan untuk menulis saja tentang buku itu. Semacam ringkasan pendek. Bukan resensi. Sebab saya belum membaca seluruh isi bukunya. Saya hanya membaca sekapur sirih yang dibuat mantan Sekjen Partai Katolik Republik Indonesia 1964-1972 Harry Tjan Silalahi. Lalu saya baca pengantar penulisnya, dan Epilog yang dibikin Adnan Buyung Nasution. Sementara yang lain seperti prolog Anhar Gonggong saya lihat sambil lalu.

Penulis buku ini menceritakan bahwa ini bukanlah buku pertama tentang Ignatius Joseph (IJ) Kasimo dan juga buku yang terakhir. JB Soedarmanta menulis, “Perlu dikatakan bahwa bigrafi ini belum selesai dan buku ini diharapkan dapat menjadi bahan Utama bagi Biografi IJ Kasimo yang akan ditulis lebih lengkap dan lebih komprehensif.”

Dia lalu mengutip kata-kata Teolog kenamaan Yesuit Karl Rahner, “Kita hanya dapat mengatakan apa manusia itu dengan menyatakan apa yang menjadi perhatiannya dan apa yang memperhatikannya. Namun, hal itu sendiri merupakan ketidakterbatasan dan ketidakbernmaan.”

Sebelum buku ini, sudah ada sejumlah buku tentang IJ Kasimo yang diterbitkan. Misalnya, “IJ Kasimo Hidup dan Perjuangannya” karya tim wartawan Kompas pada 1980 dalam rangka ulang tahunnya ke-80 dan “Minorites, Modernity, and Emerging Nation” karya Berry van Klinken pada 2003.

Beberapa bagian isi buku ini adalah hasil dua kali seminar tentang IJ Kasimo di Yogyakarta tahun lalu. Catan prolog sejarahwan Anhar Gonggong dan epilog Adnan Buyung Nasution adalah bahan dari seminar tersebut.

Harry Tjan Silalahi dalam “Sekapur Sirihnya” mengungkapkan bahwa IJ Kasimo adalah seorang pejuang kemerdekaan dan nation building bangsa Indonesia. Dia memelopori umat Katolik nusantara untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dia juga menyerukan kepada umat Katolik Indonesia untuk mendukung proklamasi Republik Indonesia.

Meski pemimpin Katolik, IJ Kasimo, menurut Harry Tjan Silalahi, sama sekali tidak sektarian. Sebaliknya dia menjunjung tinggi dan memperjuangkan pluralisme bangsa ini. Karena itu, meski di berbeda pendapat dengan tokoh Masyumi, Natsir di parlemen, tetapi pergaulan mereka di luar parlemen sangat akrab dan akur.

IJ Kasimo, menurut Harry Tjan juga adalah seorang yang sangat sederhana. Dia mampu mengambil jarak yang tegas dan jelas antara barang miliknya dan yang bukan miliknya. Kesederhanaan lainnya adalah ketika ulang tahunnya ke-80 mau dirayakan, dia meminta untuk diselenggarakan secara sederhana. Kesehariannya pun diwarnai dengan pakaian adat Jawa. Tetapi tidak berarti bahwa dia Jawa minded.

Soal kesederhaan ini juga disaksikan oleh Adnan Buyung Nasution dalam epilognya. Adanan yang rumahnya bertetangga dekat dengan IJ Kasimo mengatakan, kursi di rumahnya sangat sederhana.

IJ Kasimo juga dilukiskan Adanan Buyung sebagai seorang yang sangat baik hati. Suatu ketika, cerita Adnan, mobil anaknya menabrakan pagar rumah IJ Kasimo. Adnan Buyung mengira IJ Kasimo marah besar. Lalu buru-buru mendatanginya dan menanyakan apa yang harus digantikan. Alih-alih marah, IJ Kasimo malah bilang ke Adnan supaya jaga anaknya baik-baik.

Bagi Adnan Kasimo adalah seorang guru politiknya. Dia belajar banyak dari Kasimo soal keluasan berpikir dan keluwesan berpolitik. Atau dalam Bahasa Harry Tjan Silalahi, IJ Kasimo adalah seorang politisi yang berkarakter dan memiliki prinsip. Prinsipnya adalah fortiter in re, suaviter in modo yang berarti keras dalam prinsip, halus dalam cara.

Karena itu, baik Harry Tjan Silalahi maupun Adnan Buyung Nasution sangat heran ketika IJ Kasimo tidak juga digelari pahlawan nasional. Beruntunglah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menetapkan IJ Kasimo sebagai pahlawan nasional, sebuah gelar yang layak disandang seorang tokoh sebesar IJ Kasimo. Selamat!! (Alex Madji)

Sabtu, 03 Desember 2011

Menunggu Pembuktian Abraham Samad


Komisi III DPR akhirnya memilih empat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat 2 Desember 2011. Keempat pimpinan KPK yang baru itu adalah Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Pandu Praja, dan Zulkarnain. Dari mereka berempat plus Ketua KPK yang lama Busyro Muqoddas, terpilihlah Abraham Samad sebagai ketua baru dengan raihan suara mayoritas, 43 suara. Dia menyisihkan Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto.

Terpilihnya Samad adalah kejutan kedua dalam pemilihan itu. Sebelumnya, anggota Komisi III sudah membuat kejutan dengan menyingkirkan dua orang calon kuat yang oleh publik dianggap layak duduk di lembaga pemberantasan korupsi itu, yaitu Yunus Husein dan Abdullah Hehamahua.

Betapa tidak. Dua orang ini masuk dalam jajaran empat besar, bahkan berada di nomor dua dan tiga, dari delapan nama yang direkomendasikan Pantia Seleksi Calon Pimpinan KPK. Sementara Abraham Samad tidak masuk dalam empat nama teratas.

Tadinya, publik sangat menginginkan yang menjadi pimpinan KPK berikutnya adalah Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Abraham Samad. Tetapi ternyata keinginan publik itu tidak selaras dengan keinginan anggota dewan.

Persoalannya justru di sini. DPR yang katanya wakil rakyat itu ternyata tidak mendengar suara rakyat. Entahlah. Mereka mungkin tuli dan buta sehingga tidak mendengar dan melihat pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik yang tiap hari menyuarakan kepentingan publik. Sayang, keinginan rakyat itu ternyata tidak sejalan dengan kalkulasi politik anggota dewan. Rakyat selalu berhitung dengan tulus. Tetapi DPR memilih dengan mempertimbangkan untung ruginya bagi mereka.

Meskipun, saya tidak paham kalkulasi politik seperti apa yang saya duga "diputuskan" secara dia-diam oleh Komisi III sehingga mereka mementalkan Yunus Husein dan Abdullah Hehamahua serta tidak memilih Bambang Widjojanto sebagai Ketua KPK. Tetapi saya menduga ini adalah bagian dari upaya "penyelamatan" agar tidak ada anggota DPR atau pimpinan partai politik yang ditangkap KPK. Sehingga mereka dan partainya tidak terganggu menjelang pemilu 2014.

Tetapi yang pasti, mengabaikan opini publik sekali lagi memperlihatkan bahwa memang DPR kita ini tidak peka dan tidak aspiratif. Mereka memperjuangkan kepentingan partainya dan tidak memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.

Tetapi apriori-apriori itu akan terbantahkan bila Ketua KPK Terpilih Abraham Samad mampu memenuhi janjinya, yaitu memberantas kasus-kasus korupsi kelas kakap. Samad harus bisa menangkap para pelaku korupsi dalam kasus Bank Century dan menyeret nama-nama petinggi Partai Demokrat yang disebut Muhammad Nazaruddin dalam kasus suap Wisma Atlet. Selain itu, Samad harus mampu menangkap Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakapolri dan Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Adang Daradjatun.

Kalau Samad bisa mengungkap tuntas kasus-kasus itu, maka apriori-apriori saya di atas terbantahkan dengan sendirinya. Tetapi kalau tidak, maka benar bahwa Samad adalah bagian dari skenario pemberantasan korupsi akal-akalan ala DPR. (Alex Madji)

Seven Eleven, Salemba Tengah, Jumat 2 Desember 2011, pukul 17.30 WIB.

Jumat, 02 Desember 2011

Menyaksikan Orang Papua yang Tersisih


Peringatan hari kemerdekaan Papua pada Kamis, 1 Desember 2011 riuh. Hal itu terlihat dari liputan media massa yang begitu luas. Perayaan pun tidak hanya dilaksanakan di Jayapura. Tetapi juga di Timika, Monokwari, dan Merauke. Tidak ada inisiden hebat, meskipun ada pengibaran Bendera Bintang Kejora dan ada pembacaan pidato Presiden Negara Republik Federal Papua Barat Forkorus Yaboisembut yang ditahan pasca ditangkap pada Kongres Rakyat Papua III di Abepura beberapa waktu lalu.

Isu M (merdeka) selalu hidup di tengah masyarakat Papua. Tiap tahun isu ini digulirkan. Tetapi apakah mereka mau merdeka secara ideologis dan keluar dari NKRI? Atau mereka hanya ingin keluar dari situasi keterpinggiran dan ketersingkirian yang mereka alami? Saya tidak ingin menjawab, apalagi mengulas pertanyaan-pertanyaan itu. Saya hanya ingin menceritakan apa yang saya lihat di Jayapura, ibukota Provinsi Papua.

Cukup sering saya ke Papua. Terutama Jayapura. Pernah tinggal sepekan di Hotel Matoa Jayapura untuk meliput acara pengembalian UU Otsus kepada Pemerintah Pusat, beberapa tahun silam. Pernah juga ke Sorong, Monokwari, dan Merauke. Hanya Dua tahun terakhir ini saya absen ke provinsi paling timur itu.

Kalau Anda ke Jayapura, ada fakta yang sangat mencolok terlihat sejak turun di Bandara Sentani. Begitu keluar ruang kedatangan, orang-orang yang menjajakan jasa angkutan atau yang mereka sebut taksi, nyaris tidak ada orang-orang asli Papua yang berciri-ciri rambut kriting dan berwarna kulit hitam (ini bukan sara, karena saya juga hitam). Kalaupun orang-orang seperti ini ditemukan di Bandara, mereka hanya penjual koran dan buruh angkut. Kebanyak para sopir taksi itu adalah mereka yang berambut lurus dan warna kulitnya terang alias coklat.

Pemandangan menarik juga diperlihatkan di Kota Jayapura. Di jantung kota, ada sebuah pusat perbelanjaan Gelael. Saya pernah iseng masuk ke dalamnya. Astaga! Tidak satupun orang berambut keriting dan berkulit hitam menjadi pelayannya. Ke mana mereka? Walahualam.

Mama-mama Papua hanya menjual sirih pinang yang digelar begitu saja di depan Gelael itu. Yang mendatangi mereka pun, hanya orang-orang Papua sendiri. Sebab hanya mereka yang memiliki budaya makan sirih pinang. Apakah ada pendatang yang membeli jualan mereka? Sepengamatan saya, tidak ada.

Di hotel-hotel, hanya segelintir pemuda Papua yang bekerja sebagai karyawan. Itupun sebagai room service dan cleaning service. Kebanyakan, terutama karyawati hotel, adalah perempuan-perempuan berkulit kuning langsat. Tidak satu pun nona-nona Papua yang ditempatkan di desk terdepan hotel, yaitu bagian informasi. Kemana nona-nona Papua? Lagi-lagi walahualam.

Di tempat-tempat makan juga sama. Hampir semua rumah makan di Jayapura milik orang luar. Tidak ada satu pun orang asli Papua yang masuk dalam usaha kuliner itu. Orang-orang asli Papua, terutama para pejabatnya, hanya sebagai pengguna.

Di pasar-pasar juga begitu. Pasar Hamadi, misalnya, dikuasai pendatang. Di pasar yang terkenal sebagai pusat kerajinan Papua ini jarang dijumpai orang asli Papua. Kerajinan-kerajian Papua justru dijual oleh para pendatang. Hanya segelintir orang asli Papua ada di situ.

Hanya ada satu pasar di mana saya jumpai penjualnya hampir seluruhnya orang Papua, yaitu di Sentani. Tetapi itu pasar kaget. Letaknya di sisi jalan raya. Pace-pace (bapak-bapak) dan mace-mace (mama-mama) menjual segala macam hasil pertanian di situ.

Itulah sedikit fakta yang saya saksikan di Jayapura. Siapa yang membuat mereka tersisih dan tersingkir di tanah kelahiran mereka sendiri? Apakah karena mereka tidak mampu bersaing? Lalu ini salah siapa? Salah mereka sendiri? Ah masih terlalu banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan.

Mungkin jawaban paling penting dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah bangunlah Papua bukan hanya secara fisik tetapi juga pembangunan manusianya dari segala macam aspek. Mereka harus dihargai dan diperlakukan sama dengan manusia dari daerah-daerah lain. Jangan diskriminatif. Menurut saya, ini adalah kunci penyelesaian masalah Papua. Kalau tidak, Papua tetap akan bergolak seperti tergambar dalam foto perempuan yang tubuhnya diwarnai Bendera Bintang Kejora dalam aksi demo di Jakarta, Kamis (1/12/2011) karya Fotografer Suara Pembaruan, Joanito De Soaojoa. (Alex Madji)

Kamis, 01 Desember 2011

Andik Mencuri Hati David Beckham


Setelah memuat tiga artikel tentang Jembatan Kertanegara atau Jembatan Mahakam, hari pertama Desember 2011 ini, saya mulai dengan catatan sepakbola. Catatan dari laga persahabatan antara tim nasional Indonesia selection racikan Rahmad Darmawan versus klub peserta Major League Soccer (MLS) Los Angeles (LA) Galaxy yang diperkuat mantan bintang Manchester United (MU) David Beckham.

Tetapi saya tidak membuat catatan tentang Beckham. Sebab sudah terlalu banyak ulasan tentang dia. Saya hanya ingin membuat catatan tentang Andik Vermansyah yang berhasil mencuri perhatian mantan bintang klub raksasa Spanyol Real Madrid itu. Andik juga mencuri perhatian publik sepakbola Indonesia.

Harus diakui bahwa Andik Vermansyah bermain sangat bagus pada laga tersebut. Dia cepat. Gocekan bolanya menawan. Serta berani bertarung dengan para “londo” itu, meski postur tubuhnya kecil. Hebatnya lagi, dia selalu menang dalam perebutan bola dengan para pemain LA Galaxy tersebut.

Tak jarang dia berani menggocek bola dan melewati dua hingga tiga pemain LA Galaxy yang baru saja menjuarai MLS 2011. Ya, dia licin bagai belut dan cerdik seperti merpati. Tetapi karena itu pula dia paling sering dijatuhkan pemain lawan dan mengerang kesakitan.

Dalam pertarungan dengan Beckham, Andik hampir selalu menang. Dia berhasil merebut bola dari pemain yang pernah merumput di kampiun Seri A Italia musim lalu, AC Milan. Bahkan, tak jarang, Beckham sulit mengejarnya. Itulah sebabnya, dia digunting Beckham di sayap kiri pertahanan LA Galaxy pada pertengahan babak pertama seperti terlihat pada foto yang diambil harian The Jakarta Globe dari AFP di atas.

Beruntung Beckham tidak diganjari kartu kuning oleh wasit atas aksinya itu. Tetapi setelah laga usai, suami Victoria Caroline Adams atau yang akrab dipanggil Victoria Posh Beckham itu menyesali aksinya.

Di bandingkan pemain-pemain lain, penampilan Andik Vermansyah yang dijuluki Lionel Messinya Indonesia itu, sangat menonjol. Pada babak pertama dia adalah man of the match pertandingan tersebut.

Postur yang kecil tidak menghalangi pemain Persebaya ini tampil memukau. Andik seolah mau membangkitkan kesadaran publik bahwa ukuran tubuh yang mungil bukanlah penghalang untuk berprestasi dalam dunia sepakbola. Sebab para pemain Brasil, Argentina atau Spanyol pun tidak tinggi-tinggi amat. Tetapi mereka sukses menjadi juara dunia. Kenapa Indonesia tidak?

Andik adalah pemain berbakat. Beckham mengakui itu. Beckham sampai mengeluarkan jurus menggunting untuk menghentikan laju Andik. “Dia pemain yang sangat berbakat,” puji Beckham terhadap Andik setelah laga usai.

Kesengsem dengan Andik, di sela-sela wawancara dengan wartawan televisi, Beckham melepas kausnya bernomor punggung 23 dan diserahkan kepada Andik. Beckham mempersembahkan kaus itu khusus kepada Andik. Tidak untuk pemain lain. Padahal sejumlah pemain memintanya. Tetapi dia tunjuk Andik. “Saya ingin mendapatkan kausnya (Andik),” kata Beckham. Mereka bertukaran kaus. Andik pun senang bukan kepalang.

Ya Andik sudah berhasil mencuri perhatian dan hati Beckham. Tidak dengan yang lain. Tetapi dengan permainan yang menawan, berani, pantang menyerah, dan bermental. Dia menjadi bintang baru dalam sepakbola Indonesia. (Alex Madji)

Rabu, 30 November 2011

Jembatan-jembatan yang Pernah Runtuh


Jembatan Kertanegara atau Jembatan Mahakam di Kutai Kertanegara yang runtuh pada Sabtu, 26 November 2011 sekitar pukul 16.00 WIB, bukanlah satu-satunya yang pernah terjadi di dunia. Di belahan dunia lain, hal serupa juga terjadi. Bedanya, pada peristiwa-peristiwa di sana tidak menelan korban jiwa seperti di Kutai Kertanegara.

Saya hanya mau tunjukkan dua jembatan. Yang satu di perbatasan Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Tepatnya di Niagara Fall (AS) dan Ontario Kanada. Yang lainnya di Brisbane Ausralia.

Jembatan di Niagara Fall bernama Honeymoon Bridge (Jembatan Bulan Madu) yang aslinya bernama Upper Steel Arch Bridge. Dia melintas di atas Sungai Niagara dengan panjang 1039 meter . Jembatan ini menghubungkan Kota Ontario Kanada dengan Niagara Falls AS.

Jembatan ini dibangun pada Januari 1897 oleh Niagara Falls and Clifton Suspension Bridge Company. Perusahaan ini semula hanya untuk memperkuat suspensi jembatan, tetapi insinyur perusahaan tersebut, Leffert L Buck, diminta pihak perusahaan untuk mendisain ulang jembatan tersebut. Bahkan ada permintaan supaya dilakukan konstruksi jembatan baru.

The Upper Steel Arch Bridge selesai dibangun dan dibuka bagi kendaraan umum pada 23 Juni 1897. Jembatan itu dilengkapi dengan jalur ganda untuk troli listrik, ruang untuk bagasi dan pejalan kaki. Pemandangan jembatan ini sangat elok dengan struktur yang luar bisa sehingga bisa melihat pemandangan dari ketinggian yang mahaindah.

Pada 18 April 1899, The International Traction Company mencoba memperbaiki kondisi jembatan yang rusak akibat hantaman bongkahan es. Baja-baja yang bengkok dibetulkan, dinding batu setinggi 24 kaki yang dimulai empat kaki di bawah permukaan air dibangun untuk melindungi fondasi jembatan dari hantaman bongkahan es. Upaya itu sukses. Buktinya, jembatan itu tetap dibuka hingga hampir 40 tahun kemudian.

Tetapi The Upper Steel Arch Bridge memiliki muatan yang berlebihan plus tiupan angin yang kencang membuat jembatan itu tidak stabil. Ketidakstabilan itu terjadi pada 8 Juni 1925 dan terekam ketika sekelompok orang berkumpul di jembatan itu untuk menyaksikan fireworks pada perayaan bertajuk “The Festival of Lights”. Para penonton yang memenuhi jembatan itu segera sadar bahwa jembatan bergoyang. Menyadari itu mereka lalu dengan cepat meninggalkan jembatan.

Kalau jembatan itu kolaps bersama begitu banyak orang di atasnya, sungguh sebuah kejadian yang sulit terbayangkan. Dan karena itu, meskipun struktur jembatan tidak mengalami kerusakan, jembatan itu diperkuat untuk menghindari terjadi kecelakaan lebih parah di kemudian hari.

Setelah diperbaiki, jembatan tersebut masih bisa dibuka lagi hingga 13 tahun kemudian sampai Januari 1938. Pada 25 Januari 1938, bongkahan es setinggi 100 kaki dari Danau Erie kembali menghantam jembatan tersebut hingga tiang-tiang penyangganya bengkok. Ditambah lagi tiupan angin kencang mempercepat robohnya jembatan itu. Para saksi mata yakin bahwa jembatan ini tinggal menunggu waktu saja untuk runtuh.

Lalu, wartawan, warga setempat, wisatawan berdatangan ke Niagara Fall. Mereka berharap bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri runtuhnya jembatan tersebut. Dan benar. Dua hari kemudian, tepatnya pada 27 Januari 1938, pada pukul 16.10 sore, sebuah gerakan es kemudian mendorong jembatan tersebut. Akibatnya jembatan itu rubuh dan besi-besi baja berlipat hingga membentuk huruf “W” di bawah es. Besi-besi baja dari jembatan itu kemudian dipotong menjadi enam bagian dan tetap menjadi atraksi menarik bagi para wisatawan. Kemudian potongan-potongan itu diangkat satu demi satu.

Maka untuk menghubungkan Kanada dengan AS, dibangunlah jembatan baru bernama Rainbow Bridge (Jembatan Pelangi) pada 1941 agak sedikit ke utara dari lokasi Honeymoon Bridge yang roboh itu.

Albert Bridge
Satu lagi jembatan yang pernah runtuh yakni Jembatan Albert atau Albert Bridge di Brisbane Australia. Ini adalah jembatan rel kereta api yang menyeberangi Sungai Brisbane, Queensland, Australia dengan panjang 103,7 meter. Jembatan ini menghubungkan antara Stasiun Indooroopilly dan Chelmer.

Pembangunan jembatan ini rampung pada Juli 1875. Selama pembangunan jembatan ini, arus kereta api Ipswich tidak dibuka. Pasca pembangunan, rel kereta api dari Ipswich ke Granschester bisa sambung hingga ke Brisbane.

Jembatan itu runtuh pada 1893 karena banjir. Kemudian dibangun kembali dan rampung pada 1895 dan bertahan hingga saat ini. Jembatan itu dirancang oleh Henry Charles Stanley, Kepala Insinyur Kereta Api Queensland periode 1891-1901. Dalam rancangannya, dia tidak mau mengulangi kesalahan sebelumnya sehingga jembatan itu bisa runtuh akibat banjir.

Jembatan itu dibuka kembali pada Agustus 1895 dan tetap menjadi jembatan tebesar di Australia. Kedua jembatan itu tetap diberi nama Albert Bridge untuk menghormati Pangeran Wales, Pangeran Albert.

Selama konstruksi jembatan yang kedua pasca runtuh akibat banjir, sebanyak 240 pekerja dikerahkan. Pada jembatan itu disediakan pula tempat pejalan kaki (pedestarian), hingga dibangun Jembatan Walter Taylor pada 1937 di dekat Albert Bridge. Ada juga jembatan kereta api yang tanpa nama dan terletak antara Albert Bridge dan Walter Taylor Bridge.
Itulah dua jembatan yang pernah runtuh dan berhasil dibangun kembali. Runtuhnya dua jembatan itu bukan karena kelalaian manusia, seperti yang terjadi di Jembatan Kertanegara. Tetapi karena faktor alam yang berada di luar jangkauan manusia. (Dari berbagai sumber/Alex Madji)

Selasa, 29 November 2011

Kambing Hitam


Ini bukan catatan tentang kambing berwarna hitam. Tetapi tentang sebuah kebiasaan buruk di negeri ini, yaitu suka menyalahkan orang atau pihak atau sesuatu yang lain. Mereka yang seharusnya bertanggung jawab terhadap sesuatu cuci tangan alias lempar tanggung jawab. Yang lazim terjadi adalah mengkambinghitamkan orang lain. Lebih buruk lagi, mengkambinghitamkan benda mati.

Hal seperti itu tidak hanya terjadi dalam dunia politik. Juga dalam bencana. Termasuk dalam peristiwa runtuhnya Jembatan Kertanegara atau Jembatan Mahakam di Kutai Kertanegara pada Sabtu, 26 November 2011 sore.

Jembatan itu rubuh ketika umurnya baru 10 tahun. Padahal, dia didisain untuk kokoh hingga 50 tahun. Tapi apa mau dikata. Roboh dalam usia yang masih sangat muda.

Jembatan tersebut dibangun oleh perusahaan konstruksi milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Hutama Karya. Tetapi belum apa-apa, Menteri BUMN Dahlan Iskan membela anak buahnya. “Runtuhnya jembatan Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur kini tidak ada lagi kaitannya dengan Hutama Karya,” tulis Vivanews.com pada Senin, 28 November 2011.

Menurut Dahlan Iskan, jembatan itu sudah lama diserahkan kepada operator pengelola swasta. “Soal pemeliharaan sudah diserahkan kepada pihak swasta,” kata mantan Direktur Utama PLN itu. Karena itu, pihaknya tidak akan memanggil direksi Hutama Karya terkait rubuhnya jembatan terpanjang di Kalimantan itu.

Sementara Bupati Kuta Kertanegara yang juga anak kandung mantan Bupati Kutai Kertanegara Syaukani AR, Rita Widyasari, seolah melemparkan tanggung jawab kepada PT Bukaka, perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla, atas runtuhnya jembatan yang dibangun pada masa pemerintahan ayahnya itu. Pasalnya, mereka yang memenangkan tender senilai Rp 2,7 miliar untuk memperbaiki jembatan tersebut.

Sementara Direktur Utama PT Bukaka, Irsal Kamarudin menampik. Robohnya jembatan itu karena kondisi awal sejak dibangun sudah berubah. Sejumlah baut sudah mulai longgar. “Kami mendapat kontrak dari PU (Kementerian Pekerjaan Umum) untuk mengencangkan baut-baut jembatan yang mulai longgar,” ucapnya Senin, 28 November 2011 seperti dikutip Vivanews.com.

Mur-mur atau baut-baut yang longgar itulah yang menyebabkan jembatan menjadi miring dan bebannya menjadi tidak merata hingga akhirnya rubuh. “Memang sudah ada perubahan dari awal jembatan itu dibangun,” lanjutnya.

Dengan kata lain, pembangunan jembatan itu sudah bermasalah sejak awal. Hutama Karya juga patut dimintai pertanggungjawaban atas rubuhnya jembatan tersebut.

Lingkaran kambing hitamnya sangat jelas. Dahlan Iskan menuding pihak swasta sebagai yang bertanggung jawab. Rita Widyasari memperjelas bahwa yang dimaksud adalah PT Bukaka. Lalu Bukaka menuding benda mati baut atau mur yang longgar. Baut longgar itu adalah kesalahan Hutama Karya sebagai penyebab utama rubuhnya jembatan itu.

Karena itu tindakan Dahlan Iskan “melindungi” Hutama Karya sebagai perusahaan yang membangun jembatan tersebut tidak tepat dan terlalu prematur. Seyogyanya, biarkan aparat kepolisian memeriksa Hutama Karya, seperti juga polisi memeriksa karyawan Bukaka yang sedang mempersiapkan pekerjaan perbaikan.

Sehubungan dengan itu, menarik pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bidang Pencegahan M Jasin bahwa ada indikasi ketidakjujuran dalam pembangunan Jembatan Kertanegara itu, terutama terkait pengadaan barang dan jasa. Tetapi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diminta untuk mengaudit perusahaan yang membangun jembatan itu. Kalau ada indikasi korupsi di dalamnya baru akan ditindaklanjuti KPK. (Suarapembaruan.com, 28 November 2011).

Mari kita tunggu hasil akhirnya. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas runtuhnya jembatan itu. Atau, seperti biasa terjadi di negeri ini, masalah itu selesai pada pengkambinghitaman dan yang menjadi “korban” adalah baut-baut yang logar itu??? Semoga ada makhluk hidup yang secara gentle akan bertanggung jawab. (Alex Madji)

Senin, 28 November 2011

Di Ujung Jembatan Kertanegara


Berita Sabtu, 26 November 2011 siang sungguh mengejutkan. Isinya, Jembatan Kertanegara atau yang akrab disebut Jembatan Mahakam runtuh. Seluruh jembatan jatuh ke Sungai Mahakam. Tidak ada yang tersisa. Kecuali dua tiang penyangga di kedua ujungnya. Sejumlah mobil jatuh ke sungai. Hingga, Senin, 28 November 2011 baru 11 orang ditemukan tewas.

Mendapat berita ini, pikiran saya melayang ke jembatan itu dan mencoba mengiat-ingat peristiwa di ujung jembatan tersebut lima setengah tahun silam. Tepatnya 13 Juni 2006. Saya termasuk dalam 10 wartawan yang dipukul oleh pereman suruhan Bupati Kutai Kertanegara Syaukani AR di ujung jembatan Kertanegara pada hari itu. Foto di atas adalah kenangan buruk lima setengah tahun silam itu.

Ceritanya begini. Saya ditugaskan kantor tempat saya bekerja memenuhi undangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk meliput persiapan penyelanggaraan Pekan Olah Raga Nasional (PON) di Smarinda 2008. Bersama wartawan-wartawan dari media lain, kebanyakan wartawan olah raga, kami tiba di Samarinda 12 Juni 2006, setelah beberapa saat sebelumnya mendarat di Bandar Udara Sepinggan Balikpapan.

Pada 12 Juni 2006 sore, kami bertemu dengan Gubernur Kalimantan Timur ketika itu Suwarna AF alias Suwarna Abdul Fatah dan beberapa pejabat setempat termasuk Sekretaris Daerah. Dalam pertemuan itu, Suwarna memaparkan perkembangan pembangunan infrastruktur PON 2008. Dalam pembicaraan di Kantor Gubernur Kaltim itu, terselip juga masalah politik lokal.

Isu yang mencuat ketika itu adalah Bupati Kutai Kertanegara Syaukani AR pergi ke luar negeri tanpa sepengetahuan Gubernur Suwarna AF. Sebagai wartawan peliput di Depdagri, saya tahu betul bahwa seorang bupati, kalau ke luar negeri harus meminta ijin kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. Tetapi itu tidak dilakukan Syaukani. Karena itu, sayalah wartawan yang paling gencar mempertanyakan masalah ini.

Tetapi saya sebenarnya bertanya dalam ketidaktahuan saya tentang pertarungan politik lokal. Kemudian baru saya tahu bahwa ternyata Suwarna AF dan Syaukani AR bersaing untuk memperebutkan jabatan Gubernur Kalimantan Timur. Keduanya saling potong dan saling jegal. Suwarna AF akhirnya dijebloskan ke penjara karena korupsi dan gagal maju dalam pemilihan umum Gubernur Kaltim. Untunglah, Syaukani AR juga dijebloskan ke penjara lagi-lagi karena masalah korupsi dan juga gagal maju ke pemilihan Gubernur Kaltim. Justru yang menjadi Gubernur kemudian adalah Awang Faroek.

Setelah acara tatap muka selesai, kami diantar ke penginapan di Hotel Samarinda. Malam itu dilewati dengan suka cita.

Keesokan harinya, 13 Juni 2006, karena tidak ada kegiatan lagi, ketua rombongan wartawan Zulkarnain Alregar mengajak kami ke Kutai Kertanegara untuk melihat pembangunan di Tenggarong, ibukota Kabupaten Kutai Kertanegara, yang disebut-sebut maju.

Maka setelah sarapan, dengan menggunakan beberapa mobil kami meluncur ke Tenggarong melewati jalan bak tol, yang belum lama dibuka. Mobil melintas dengan kecepatan tinggi.

Tetapi ada yang aneh. Ada sebuah mobil Avanza menguntit rombongan ini. Begitu mobil rombongan berhenti, laju kendaraan itu melambat. Tetapi kecurigaan sepanjang jalan itu tidak sampai menghentikan rencana ke Tenggarong.

Tibalah kami di Jembatan Kertangara. Jembatan itu panjang sekali dan menjadi jembatan terpanjang di Kalimantan. Indah. Di atasnya agak di sebelah kanan, ada kereta gantung. Ini adalah proyek-proyek mercusuar Syaukani AR sebagai Bupati Kutai Kertanegara.

Kami berhenti di situ. Menyaksikan keindahan Sungai Mahakam dan Tenggarong agak dari kejauhan. Kami abadikan keindahan itu dalam gambar. Belum lama kami berfoto ria, tiba-tiba segerombolan laki-laki menyerang. Kami kalang kabut. Saya yang tidak tahu menahu masalahnya berteriak. Paha saya ditendang dan dan didorong masuk ke dalam mobil. Untung tidak dipukul dengan benda keras.

Kami disuruh kembali ke Samarinda melintasi jembatan Kertanegara itu. Di ujung sebelah sana kami dipaksa belok kiri mengikuti mobil Avanza yang menguntit kami sejak dari Samarinda. Kami lalu belok kanan dan menyusuri Sungai Mahakam kembali ke Samarinda. Sementara Avanza tadi menghilang. Gara-gara kasus kekerasan ini, kami tidak jadi menyaksikan pembangunan di Kota Tenggarong, selain melihat jembatan dan kereta gantung, proyek ambisius Syaukani.

Hari itu menjadi hari tersedih dan termuram dalam hidup saya. Dipukul tanpa salah pada saat menjalankan tugas jurnalistik. Setelah menyusuri Sungai Mahakam, kami tiba kembali di Hotel Samarinda. Saya menghabiskan satu malam lagi di hotel ini dalam ketakutan.

Sejumlah rekan warawan Kaltim berdatangan ke hotel untuk sekedar memberi dukungan. Sejumlah orang, sepertinya dari kelompok Gubernur Suwarna, juga datang memberi jaminan keamanan kepada kami. Tetapi saya tetap takut. Kemudian saya minta Bang Zulkarnain untuk membelikan saya tiket agar bisa pulang keesokan harinya, 14 Juni 2006.

Akhirnya saya pulang juga ke Jakarta pada hari itu. Sejak kasus ini, saya tidak pernah datang lagi ke Samarinda. Beberapa tahun kemudian pernah ditugaskan ke sana. Tetapi saya menolak tugas itu karena masih trauma.

Kenangan akan peristiwa ini muncul kembali ketika mendengar berita runtuhnya Jembatan Kertanegara yang untuk sementara menelan korban jiwa sebanyak 11 orang. Ya, semoga mereka semua diterima di sisi Tuhan. (Alex Madji)