Senin, 31 Oktober 2011

Terapi Bell's Pasy

Setelah seminggu mengalami Bell's Pasy, Sabtu, 29 Oktober 2011 siang, saya menjalani fisioterapi penyakit lumpuh pada wajah itu di Siloam Hospotal Lippo Karawaci.

Begitu masuk rumah sakit tersebut, kami (bersama istri, kedua anak kami dan dua orang yang membantu kami) mampir sebentar di salah satu kantin rumah sakit yang lobinya seperti hotel tersebut.

Dari situ kami (Saya, Istri saya Susi, dan carrol) langsung ke lantai lima, tempat fisioterapi berlangsung. Sementara Nani, Nita dan putra bungsu kami Enrique bertahan di kantin itu sambil sesekali lihat badut yang menghibur anak-anak di lobi rumah sakit itu.

Setelah menunggu sebentar, sambil tidur di kursi di depan kasir, saya masuk ke ruang dokter. Dokter yang tampak masih muda itu memanggil saya. Saya terbangun dari kantuk dan bergegas.

Sesampai di dalam, dia bertanya kenapa baru datang sekarang. Saya bilang, "Karena saya masih harus minum obat dari dokter saraf, Dokter Yusak." "Obatnya sudah habis?" tanya dia. "Masih berlangsung," timpalku.

Dia lalu menyuruh sanya menggelembungkan kedua pipi. Kemudan dia menusuknya. Pipi kanan masih bocor. "Ini bocor ya," ujarnya singkat.

Dia melanjutkan, "Kesembuhan Bell's Pasy ini sangat tergantung usaha Bapak. Bisa sembuh, tapi saya tidak bisa menjamin 100 persen kalau Bapak tidak aktif melatih di depan cermin. Karena itu kalau di depan cermin, alis coba diangkat ke atas, lalu pipi sebelah kanan juga diangkat," ujarnya sambil memberi contoh pada wajahnya sendiri.

Tak lama berselang dia pergi. "Nanti terapinya di ruangan lain. Silahkan menunggu," imbuhnya.

Saya lalu kembali ke deretan kursi di depan kasir tadi. Belum lama saya duduk, nama saya dipanggil. "Bapak Alexander Madji," panggil seorang suster terapis yang mengenakan kaos berkerah warna abu-abu pagi itu.

Saya yang didampingi sitri dan anak sulung saya, Carrol, masuk ke kamar yang dibatasi kain panjang degan kamar sebelahnya. Saya tidur di atas dipan kecil yang dibungkus seprei putih polos. Sang suster menjelaskan, akan dipasang alat sengatan listrik pada lima titik dengan durasi 3 menit pada masing-masing titik. Sengatan listrik itu dipasang pada dahi sedikit di atas alis mata, pipi, bibir atas, samping mulut sebelah kanan, dan pipi sedikit bagian bawah.

Rasanya seperti ditusuk jarum tumpul. Tidak sakit, kecuali yang di dahi karena, kata susternya, ada luka jerawat.

Setelah itu selesai, muka saya dipijet. Tidak dengan kencang tapi lembut. Saya disuruh buka mata lebar-lebar, senyum lebar-lebar, mengerutkan dahi sekuat-kuatnya, dan menyuruh buka mata kiri sambil mata kanan dipejam. Terasa susah dan berat. Tapi harus dilakukan. "Ini untuk merangsang sel-sel yang rusak itu," ujar suster terapis berkulit kuning langsat tersebut.

Terapinya sendiri tidak lama. Hanya 30-45 menit. Selesai itu kami belanja bulanan dan kembali ke rumah. Saya harus melakukan terapi ini minimal enam kali. Maka setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu dua minggu pertama November 2011, saya harus bolak balik rumah sakit tersebut.

Sesampai di rumah, saya mengikuti anjuran dokter tadi. Kebetulan di samping pintu kamar mandi rumah kami, ada cermin. Maka setiap kali lewat di situ saya praktekkan apa yang dilakukan suster terapis tadi. Dengan satu harapan, bisa cepat pulih. Ya, semoga bisa cepat pulih dan kembali ceria seperti sedia kala. (Alex Madji)

Jumat, 28 Oktober 2011

Mari Bermimpi Sejuta Dolar Bersama Merry Riana


Toko buku Kinokuniya Plasa Senayan Jakarta, Kamis, 27 Oktober 2011 siang riuh. Sebuah ruang kecil di antara rak-rak buku diisi kursi-kursi berbalut kain putih dengan ikatan kain biru tua pada bagian punggungnya. Semua terisi. Belum lagi di sisi kiri, kanan dan belakang, manusia berdiri berjejal. Di depannya ada panggung kecil dengan dua sofa plus satu meja kaca kecil. Di atasnya ada beberapa botol air mineral.

Sekitar 400 orang ada di sana. Mereka sudah menyesaki space itu sejak pukul 12.30 WIB. Bukan hanya warga Jakarta. Ada yang datang dari luar kota seperti Lampung, Yogyakarta, Banyuwangi, dan Pontianak. Mayoritas anak muda. Satu dua orang tampak sudah berumur, bahkan ada yang membawa serta anak kecilnya.

Mereka menenteng buku tentang Merry Riana, baik buku "Mimpi Sejuta Dolar" yang akan diluncurkan di situ maupun buku yang sudah diterbitkan sebelumnya, "A Gift From A Friend". Saya pun "latah" dan tidak mau ketinggalan. Saya beli juga buku "Mimpi Sejuta Dolar" Merry Riana karangan Alberthiene Endah seharga Rp 63.000. Padahal, kalau saya beli di Gramedia bisa dapat diskon dengan pakai ID card istri saya yang adalah karyawati Kelompok Kompas Gramedia. Makahnya saya bilang latah.

Siang itu, motivator muda nan cantik kelahiran Jakarta dan bermukim di Singapura Merry Riana meluncurkan bukunya "Mimpi Sejuta Dolar". Buku ini menceritakan perjalanan hidup Merry Riana berangkat dari orang yang tidak punya apa-apa menjadi memiliki segalanya yang ditulis penulis biografi ulung Indonesia, Alberthiene Endah. Acara itu dipandu wartawan senior, suami artis dan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin, Mayong Suryolaksono. Acara peluncuran itu semakin ramai karena lelucon peserta Stand Up Comedy Kompas TV, Raditia.

Acara peluncuran buku terbitan Gramedia Pustaka Utama itu sedianya dimulai pukul 14.00 WIB. Tetapi molor 25 menit dan baru dibuka Mayong pada pukul 14.25 WIB. Meski molor peserta tak beringsut dari tempatnya.

Sambil menunggu acara dimulai, seorang pemuda di belakang saya dimintai komentarnya soal Merry Riana. Bagi pria muda bermata sipit itu, Merry Riana adalah tokoh yang sungguh inspiratif. "Saya sudah baca buku-buku tentang dia. Saya pun mau seperti dia. Mimpi sejuta dolar saya adalah memulai mimpi saya untuk menjadi sukses, mulai dari nol," ucapnya semangat.

Partisipasi, Energi, dan Action
Tak lama berselang, tokoh yang ditunggu-tunggu datang juga. Merry Riana. Mengenakan kaus hitam bertuliskan "Mimpi Sejuta Dolar" yang dibalut blazer merah marun dipadu dengan celana bahan hitam dan sepatu hak tinggi merah, padu dengan atasannya. Kostum itu nyaris menutup perut buncitnya karena sedang hamil anak kedua 7,5 buan. Meski begitu, Ria - sapaan akrabnya - tampil energik dan menarik.

"Meski lagi hamil 7,5 bulan, saya tetap semangat menjumpai anda karena anda semangat, bahkan datang dari luar kota seperti Lampung, Yogyakarta, dan Banyuwangi," ucapnya penuh senyum.

Menurut Merry yang pindah ke Singapura pada 1998 itu, ada tiga hal yang diperlukan untuk sukses yaitu partisipasi, energi, dan action (aksi). Dia bagai menyihir peserta sehingga sungguh semangat mendengar paparannya. Padahal, jam-jam segitu adalah jam BBS alias bobo-bobo siang.

Caranya pun sederhana. Dia meminta partisipasi peserta cukup dengan mengangkat tangan. "Mana partisipasinya?" tanya Merry. Semua angkat tangan. Sedangkan untuk energi dia meneriakkan yel. "Dalam setiap pelatihan saya, saya selalu menggunakan yel. Kalau saya bilang Indonesia, jawabannya majulah, sambil mengepalkan tangan kanan dan meninju udara," ujarnya. Dan, yang paling penting adalah action atau aksi. Tanpa aksi seluruh mimpi kita tidak akan pernah terwujud.

Itulah yang dilakukan Merry. Dia mengisahkan tentang dirinya. Dia anak orang pas-pasan. Dia "terusir" dari Indonesia ketika negara ini dilanda kerusuhan pada 1998. Sebagai warga beretnis Tionghoa, orang tuanya khawatir akan keselamatan mereka sekeluarga. Maka pergilan dia ke Singapura dan menuntut ilmu di Nanyang Technologcal University, Singapura. Itu bukan rencana keluarganya. Tadinya dia hendak dikuliahkan di Universitas Trisakti, tetapi gagal karena kerusuhan.

Di NTU dia ambil jurusan teknik elektro dan lulus dalam tempo empat tahun pada 2002. Biaya kuliah diperoleh dari pinjaman bank Singapura. Selama kuliah dia hidup prihatin. Biaya hidupnya hanya dengan Rp 70 ribu rupiah per minggu. Makanannya pun sederhana. Mi instan. Makan siang di kampus selalu dibawa dari asrama, yaitu roti tawar. Makannya secara sembunyi-sembunyi di toilet. Seprihatin itu.

Berbagai pekerjaan dicobanya. Mulai dari bagi-bagi brosur di jalanan, menjaga toko bunga, dan pramusaji hotel. Dia lakoni itu semua dengan setia dan tekun. Tujuannya hanya satu, tidak ingin membebani kedua orang tuanya. Itulah fase hidup Merry dimana dia sungguh berkekurangan dalam hal finansial.

Pada hari ulang tahun ke-20, dia lalu membangun mimpi dan tekad dalam hati. Dia menegaskan bahwa sebelum umur 30 tahun, dia sudah harus mandiri secara finansial. Dan betul-betul terjadi. Bahkan, lebih cepat dari mimpinya itu. Pada umur 26 tahun, dia sudah mendapatkan 1 juta dolar pertamanya melalui berbagai usaha yang jatuh bangun, sebelum akhirnya sukses. Pencapaiannya itu membuat dia menjadi buah bibir di negeri Singa dan kemudian melebar ke negeri-negeri tetangga, termasuk tanah airnya sendiri Indonesia. Liputan tentang dia pun meluas hingga Vietnam.

Pencapaian itu kemudian membawanya, tentu saja menjadi seorang entrepreneur, dan juga model dan bintang iklan sejumlah produk. Dia juga menjadi motivator perempuan nomor satu di Asia. Dia sudah menyemangati ribuan orang. Kini Merry hidup berecukupan dan berkelimpahan. Tetapi dia tidak berhenti bermimpi. Mimpinya sekarang adalah mempengaruhi satu juga orang di kawasan Asia, terutama di tanah air tercinta Indonesia. Itulah Mimpi Sejuta Dolar Merry Riana berikutnya. Lalu Anda? Apa mimpi Sejuta Dolar Anda?? (Alex Madji)

Kamis, 27 Oktober 2011

Jadi CEO IBM, Virginia Ginni Rometty Meniti Karir dari Bawah


Virginia Ginni Rometty baru saja diangkat sebagai Chief Executive Officer (CEO) International Business Machines (IMB) Corp menggantikan Samuel J Pamisano pada Selasa, 26 Oktober 2011. Dia adalah wanita pertama yang menduduki jabatan eksekutif tertinggi pertama dalam 100 tahun sejarah perusahan raksasa komputer Amerika Serikat (AS) tersebut.

Pada saat bersamaan dia menjadi wanita kedua AS yang duduk pada jabatan tertinggi dalam perusahan komputer di negeri Paman Sam itu setelah sebelumnya Meg Whitman diangkat sebagai CEO pada raksasa komputer lainnya, HP, menyusul kesuksesannya membesarkan eBay.

Perempuan yang meraih gelar Bachelor of Science dalam bidang ilmu komputer dan mesin listrik dari Northwerstern University dan kini berumur 54 tahun ini akan resmi menggantikan Samuel J Palmisano pada 1 Januari 2012 mendatang. Dia akan menjadi orang nomor satu di perusahan yang bermarkas di The Armonk, New York itu. Sementara Palminaso yang menjabat CEO sejak 2002 akan menjadi chairman.

Rometty tidak mendadak naik ke puncak. Dia memulai kariernya di perusahaan itu dari bawah. Sebelum diangkat sebagai CEO, dia menjabat sebagai senior vice president, Enterprise Business Service, sebuah unit bisnis yang dibentuk pada Juli 2005. Dan, sejak saat itu pula dia dikader sebagai pengganti Palmisano.

Sebelumnya dia menjadi Managing Partner Layanan Konsultasi Bisnis yang memimpin formasi tim konsultan bisnis terbesar industri itu dan melayani para ahli spesialis dalam membantu klien untuk memberikan informasi teknologi kelas dunia guna mengoptimasi bisnis perusahaan. Di sini dia membangun strategi dan kapabilitas untuk meningkatkan penampilan layanan transformasi.

Sebelumnya lagi dia menjabat general manajer Layanan Global IBM Americas. Dia memimpin sebuah tim yang beranggotakan lebih dari 75.000 profesional. Dia bertanggung jawab terhadap kepemimpinan strategis operasi dan hubungan dengan klien layanan bisnis global di Amerika Serikat, Kanada dan Amerika Latin. Dia juga pernah menjabat sebagai manajer strategi, pemasaran dan penjualan untuk IBM Servies Worldwide.

Sebelumnya lagi dia menjabat general manajer pada Sektor keuangan dan Asuransi IBM. Di sana dia memimpin strategi bisnis IBM untuk pasar asuransi seluruh dunia dengan bidang tanggung jawab, pemasaran, penjualan dan konsultasi. Dia juga melakukan mensupervisi Pusat Penelitian Asuransi IBM di Hawthorne, New York, Zurich Swis dan Yamaha Jepang. Masih ada jabatan lain di IBM sebelum dia duduk di posisi puncak perusahaan tersebut.

Sebelum bergabung dengan IBM pada 1981, Rometty bekerja di General Motor Corporations. Di sana dia bertanggung jawab atas aplikasi dan sisem pengembangan.

Belajar dari Pengalaman
Dalam sebuah wawancara, Rometty mengatakan bahwa karirnya di IBM melejit karena belajar dari pengalaman. "Saya belajar untuk selalu mengerjakan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya," ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg.

Berbekal pengalaman yang dimilikinya, Rometty yakin dia mampu menambah pendapatan perusahan sebesar 20 miliar dolar antara 2010-2015 seperti yang dia sampaikan tahun lalu. Dia pun akan tetap mempertahankan peta jalan perusahaan yang sudah diletakkan sebelumnya karena di sendiri ikut dalam membuat peta jalan tersebut.

"Saya sudah menjadi Kepala Strategi di IBM dan bersama teman-teman lainnya turut membuat rencana lima tahun. Prioritas saya adalah terus menjalankan dan melaksanakan rencana-rencana tersebut," ujarnya.

Saat ditunjuk menduduki jabatan tertinggi ini, dia sebenarnya merasa tidak mampu. Sejak awal bergabung di IBM tidak pernah terlintas di benaknya bahwa suatu saat dia menduduki jabatan tersebut. "Sungguh sejak awal karier saya, saya tidak membayangkan mendapat tugas berat seperti ini. Anda tahu kenapa? Karena saya tidak siap untuk tugas ini."

Sekembali ke rumah, dia menceritakan penunjukan ini kepada suaminya Mark. Mendengar itu, Mark hanya melihat padanya dan berkata, "Anda kira, seorang pria juga akan pernah menjawab pertanyaan seperti itu? Kamu harus percaya diri meskipun Anda dikritik. Pertumbuhan dan kenyamanan tidak bisa berada secara bersama." Maka diterimalah Rometty jabatan tersebut. Oleh Majalah Fortune, pada 2011 ini dia dinobatkan sebagai perempuan yang paling berpengaruh nomor tujuh dari 50 perempuan paling berpengaruh dalam bisnis dengan total penghasilan pada 2010 sebesar 6.395.556.00 dolar Amerika Serikat.

Rometty tumbuh di daerah pinggiran Chicago. Dia adalah anak sulung dari empat bersaudara. Pada 1979 dia lulus dari Northwestern University dalam bidang Ilmu Komputer dan Mesin Listrik. Dia memulai kariernya di General Motors di Detroit. Di sana dia bertemua seorang pria bernama Mark yang kemudian menjadi suaminya. Setelah kawin dia bergabung dengan IBM.

Dengan menduduki jabatan itu membuat dia harus pintar-pintar membagi waktu untuk perusahan dan keluarga. Dia harus bolak balik dari rumahnya di White Plains, New York dan Bonita Springs, Florida di mana dia dan suaminya Mark melakuan kegiatan menyelam. Sukses ya bu. (Alex Madji)

Rabu, 26 Oktober 2011

Mengenal Lebih Jauh tentang Bell's Pasy

Bell's Pasy yang menyerang saya menuntut saya mencari tahu tentang penyakit ini. Sebab, sebelumnya saya tidak paham dan bahkan jarang mendengar tentang penyakit tersebut. Bukan hanya saya. Survei kecil-kecilan yang saya lakukan di tempat saya bekerja pada Rabu, 26 Oktober 2011 menunjukkan bahwa penyakit ini tidak banyak diketahui publik.

Dari tiga orang yang saya tanya tentang Bell's Pasy, tidak ada satu pun yang mengetahui penyakit tersebut. Mereka mengira, penyakit ini sama dengan stroke karena ciri-cirinya sama.

Bell's Palsy diambil dari nama seorang dokter dari abad ke-19 asal Skotlandia, Sir Charles Bell. Dia melakukan studi tentang saraf dan inervasinya pada wajah 200 tahun silam. Dialah yang menemukan penyakit ini sehingga nama penyakit ini diambil dari namanya sendiri. Dialah orang pertama yang menjelaskan kondisi ini dan menghubungkan dengan kelainan pada saraf wajah.

Bell's palsy adalah nama penyakit yang menyerang saraf wajah hingga menyebabkan kelumpuhan otot pada salah satu sisi wajah. Penyakit ini terjadi secara tiba-tiba dan mencapai puncaknya dalam 48 jam.

Penyakit ini bukanlah stroke, meski ciri-cirinya hampir sama dengan stroke. Memang umumnya Bell'S Pasy hanya menimpa salah satu bagian wajah. Tetapi satu dua kasus menunjukkan bahwa penyakit ini bisa menimpa dua wajah.

Berbeda dengan stroke, kelumpuhan pada sisi wajah ditandai dengan kesulitan menggerakkan sebagian otot wajah, seperti mata tidak bisa menutup, tidak bisa meniup, mulut perot, kening tidak bisa dikernyit, sakit pada bagian bawah telinga, dan sakit pada kepala bagian sebelah.

Beberapa ahli mengatakan penyebabnya adalah karena terjadi disfungsi syaraf VII (syaraf fascialis). Virus herpes membuat syaraf ke-7 itu menjadi bengkak akibat infeksi. Ada juga dokter yang menyebutkan bahwa penyakit ini terjadi karena peradangan pada syarat ke-7 yang terletak di bawah telinga sehingga perintah dari otak yang menjadi pusat syarat tidak bisa diteruskan oleh syaraf tersebut. Peradangan ini ditimbulkan oleh terpaan angin AC atau kipas angin. Penyebab lainnya adalah karena trauma.

Tetapi jangan takut. Sebab kerusakan saraf ke-7 ini ternyata tidak permanen dan bisa diobati. Karena itu dengan atau tanpa pengobatan, penderita Bell's Pasy bisa pulih dalam waktu dua minggu dan bisa normal kembali dalam waktu 3 sampai 6 bulan.

Orang yang sangat parah terserang Bell's Pasy, kata Dokter Yusak Mangara Siahaan yang saya jumpai di Siloam Hospitals Lippo Karawaci, Selasa, 25 Oktober 2011, akan memiliki sisa sedikit pada ujung mulut yang terserang Bell's Pasy. "Masa ibu tidak bisa menerima itu," ujarnya sambil mlihat istri saya.

Metode pengobatannya berupa obat-obatan jenis steroid yang dapat mengurangi pembengkakan dan vitamin yang membantu pemulihan syaraf yang rusak tersebut. Selain itu, pengobatannya bisa dilakukan dengan cara terapi. (Alex Madji)

Selasa, 25 Oktober 2011

Terserang Bell's Palsy

Kalimat Dr Willy di Ladogi Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo, Senin 24 Oktober 2011 sore bagai petir di siang bolong. Saya diduga mengidap penyakit Bell's Pasy. Dugaan itu cukup mengagetkan saya. Bahkan istri saya syok dan cepat-cepat keluar ruangan pemeriksaan gigi. Kegembiraan setelah wisuda Feus sesaat sebelumnya bagai sirna.

Sebelum ke situ, kami ke klinik Doctors&Dentist di Pasar Palmerah, Jakarta Barat. Tapi resepsionis di sana mengatakan bahwa di tempat itu tidak bisa lagi bedah mulut. Bedah mulut dilakukan di RSCM, karena dokter bedah mulutnya praktek di sana dan terlalu jauh datang dari Depok ke Pasar Palmerah.

Beberapa hari ini, saya merasakan perih pada mata sebelah kanan disertai pusing pada kepala sebelah kanan. Mulai Senin, 24 Oktober 2011 pagi, saya merasakan sesuatu yang aneh pada mulut saya. Setiap buang ludah, saya merasa mulut miring ke kiri. Sudah itu, saat kumur, air yang ditekan di dalam mulut keluar ke bagian bibir kiri. Padahal, biasanya, air yang ditekan dan digerak-gerakan di dalam mulut tidak bocor setes pun.

Kemudian, saya merasakan sakit pada bagian belakang telinga dan kini saya tidak bisa bersiul lagi. Selain itu, sejak beberapa hari sebelumnya, ujung lidah saya bagai mati rasa. Nasi goreng yang dibikin Nanik, pembantu kami di rumah, tidak berasa.

Saya mengira, gejala-gejala itu disebabkan oleh gerakan gigi bungsu yang menabrak kakak-kakaknya dan saraf-saraf mata dan sekitarnya terjepit.

Bulan Mei 2011, saya pernah mengalami sakit tak terkira pada rahang kanan. Lalu saya ke klinik Doctors&Clinic di Palmerah Barat. Sampai di sana, saya disuruh foto rontgen gigi. Setelah foto, saya kembali ke sana dan dijadwalkan operasi mulut. Tetapi, bedah mulut saya batalkan karena keesokan harinya, tiba-tiba rasa sakit itu hilang.

Ketika gejala-gejala yang saya sebutkan di atas tadi muncul, saya mengira itu karena gigi bungsu. Maka kali ini saya yang didesak sama istri memutuskan untuk melakukan bedah mulut.

Tetapi betapa kagetnya saya ketika Dr Willy di Ladogi mengatakan, "Kemungkinan Anda terkena Bell's Pasy. Tapi bukan sesuatu penyakit yang terlalu serius. Saya anjurkan Anda ke Neurolog," ujarnya.

Menurut dia, keluhan-keluhan saya bukan karena gigi bungsu. Sebab berdasarkan foto rontgen yang saya bawa, gigi bungsu saya masih berada di bawah rahang semuanya. Dia pun menyarankan saya ke neurolog. Dia membaut pengantar dalam secarik kertas dan baru diamplopkan di kasir. Jasa dokter itu kami bayar Rp 75.000.

Sesampai di rumah, kami telusurui jenis penyakit ini di Mbah Google. Gejala yang saya alami, berdasarkan artikel-artikel itu, betul-betul memastikan bahwa saya terkena Bell's Pasy.

Keesokan harinya, Selasa 25 Oktober 2011, kami ke neurolog di Siloam Hospital Lippo Karawaci. Kami bertemu Dokter Yusak Siahaan. Ketika konsultasi ke dia, sang dokter memastikan bahwa saya terkena Bell's Pasy. Menurut dia, penyakit ini disebabkan oleh terpaan angin pada wajah baik air conditioner maupun kipas angin.

Tetapi dia buru-buru menegaskan bahwa penyakit itu tidak berbahaya. Sebab dia bukan stroke. Kalau stroke yang diserang adalah pusat syarat yaitu otak. Sedangkan ini hanya syaraf di bawah telinga yang terganggu. Sehingga tekanan darah tidak sampai dahi, mata, dan mulut. Akibatnya, dahi tidak bisa mengernyit, mata tida bisa berkedip dan mulut monyong. Dia menganalogikan penyakit ini seperti jaringan listrik. Bell's Pasy dianalogkan dengan kerusakan listrik di rumah, sedangkan jaringan dari pusatnya (PLN) alias otak masih normal. Karena itu dia bilang, jangan takut.

Dia malah ketawa ketika saya disuruh monyong karena mulut saya miring dan tidak enak dilihat. Dia menguatkan saya bahwa penyakit ini bisa sembuh total tanpa obat sekalipun, terutama dalam usia-usia seperti saya dan bisa pulih dalam tempo maksimal dua bulan. Meski demikian dia menyarankan saya minum obat, terutama vitamin dan anti radang. Anti radang untuk menghentikan peradangan yang terjadi pada saraf di bawah telinga. Sedangkan vitamin untuk memulihkan kembali saraf yang tidak berfungsi itu.

Selain itu dia mengusulkan untuk melakukan terapi di rumah sakit terdekat dengan rumah. Dia menulis pengantar untuk rumah sakit terdekat. Tetapi kami akhirnya memilih terapi di Siloam Hospital Karawaci mulai Sabtu, 29 Oktober 2011. Maka surat itu dititipkan di fisioterapi rumah sakit itu. Yah semoga cepat sembuh. (Alex Madji)

Akhirnya Diwisuda


Senin 24 Oktober 2011. Ini hari istimewa bagi adik saya Alfeus Jebabun. Dia diwisuda sebagai seorang sarjana hukum dari Universitas Kristen Indonesia (UKI). Dia lulus hanya dalam 3,5 tahun, sesuai target yang saya berikan.

Ada perasaan bangga di hati bahwa pengorbanan saya untuk mengongkos dia akhirnya berbuah hasil. Meski diwarnai suka duka. Pernah marah dan jengkel tapi tak kurang cinta kasih. Apalagi sekarang dia sudah kerja menjadi peneliti di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Meskipun, penghasilkannya cukup untuk bayar kos dan biaya hidupnya sendiri selama sebulan. Paling tidak dia tidak tergantung lagi pada saya.

Pada acara wisuda itu, saya, istri saya, Maria Susi Berindra, dan anak sulung kami Carrol Houben Alleindra datang. Tiba di tempat acara, Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta Pusat pukul 09.30. Padahal, kami berangkat dari rumah pukul 07.00 WIB.

Acara berlangsung sangat lama dan membosankan. Diisi dengan pidato dari Rektor UKI, Ketua Yayasan UKI, dan pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pemindahan tali topi wisuda, dan penyerahan sebuah gulungan kertas dalam bungkusan hitam yang setelah dibuka anak saya ternyata isinya hanya ucapan selamat karena sudah lulus. Bukan ijazah.

Untuk membunuh kebosanan, kami bertiga ngopi-ngopi di depan ruang acara itu. Bukan persediaan panitia, tetapi beli sendiri. Kami "terhibur" oleh seorang ibu yang datang ke situ mendampingi putrinya diwisuda sebagai sarjana kedoteran. Dia datang sendiri. Dia cerita bahwa suaminya yang dokter tentara sibuk sendiri. Dia banyak berkisah tentang tentara dan kehidupan keluarga tentara.

Seluruh cerita itu berakhir setelah Feus keluar dari ruangan. Sebelumnya dia mendatangi kami di meja itu di sela-sela acara wisuda tapi dia kembali. Kali ini, acara sudah rampung.

Kemudian dilanjutkan dengan sesi foto yang sudah dibayar Rp 350.000 hanya untuk dua sesi foto yakni foto sendiri dan bersama keluarga yang tidak lebih dari lima orang. Kalau lebih, per orangnya dibayar Rp 50.000.

Setelah foto-foto, kami rayakan kegembiraan itu berempat secara sederhana. Kami makan siang di FX Plaza yang tidak jauh dari lokasi JCC. Kami ambil meja di Sate House Senayan. Menu pesanan kami sederhana. Sop Buntut, sate ayam, kambing, kangkung plecing, dan sayur pecel. Sementara minumnya jus stroberry, air mineral, dan es cendol. Lumayan kenyang. Lebih menyenangkan lagi, karena Carrol "cerewet"; bercerita, nyanyi dan sungguh semangat. Mungkin dia juga turut bergembira bersama omnya.

Setelah makan, kami antar Feus ke kosnya di Jalan Pramuka, Jakarta Pusat. Tidak persis di kosnya, tetapi diturunkan di Percetakan Negara. Dari situ dia cukup jalan kaki ke kosnya yang hanya sepelemparan batu jauhnya.

Dari sana kami ke klinik gigi Doctors and Dentist di kawasan Pasar Palmerah, Jakarta Barat untuk memastikan apa yang sedang saya alami saat itu. Tetapi periksa gigi tidak jadi dilakukan di situ,melainkan di Ladogi, Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo. (Alex Madji)

Jumat, 21 Oktober 2011

Korporasi Media dan Masa Depan Demokrasi


Perkembangan media massa Indonesia dalam satu dekade terakhir sungguh pesat. Berbagai media baru tumbuh. Sementara yang lama terancam. Bisnis media bukan lagi monopoli sejumlah pengusaha saja seperti Jakob Oetama dengan Kompas-Gramedia-nya, Dahlan Iskan dengan Jawa Posnya, Goenawan Mohammad dengan Temponya, atau Surya Paloh dengan Grup Medianya.

Konglomerat kakap yang tadinya tidak main di bisnis media mulai merambah bisnis ini. Sebut saja sebagai contoh, perusahan rokok Djarum yang baru saja membeli Kaskus, sebuah forum komunitas terbesar di Indonesia. Atau Lippo Grup yang dalam beberapa tahun terakhir menggeluti bisnis media di bawah Berita Satu Media Holdings. Begitupun Chairul Tandjung yang terjun ke media dengan bendera Trans Corporationnya.

Lebih unik lagi, dalam beberapa tahun terakhir, tren bisnis media di Indonesia adalah grouping atau pengelompokan. Satu grup bisa memiliki begitu banyak media. Penelitian yang dilakukan Merlyna Lim, Director of Participatory Media Lab at ASU, Faculty of School of Social Transformation and Consortium for Science, Policy, and Outcomes, Arizona State University, menunjukkan bahwa paling tidak ada 12 grup usaha media di Indonesia.

Ke-12 grup itu adalah, Media Nusantara Citra (MNC) Group milik Hary Tanoesoedibjo, Mahaka Group milik Erick Tohir, Kelompok Kompas Gramedia milik Jakob Oetama, Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan, Media Bali Post Group milik Satria Narada, Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja, Lippo Group milik James T Riady, Bakrie & Brothers milik Anindya Bakrie, Femina Group milik Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo, Media Group milik Surya Paloh, Mugi Reka Aditama (MRA) Group milik Dian Muljani Soedarjo, dan Trans Corpora milik Chairul Tanjung.

Tetapi sebenarnya masih ada group lain yang tidak dimasukkan Merlyna dalam penelitiannya yaitu Tempo Group milik Goenawan Muhammad dan Bisnis Indonesia Group milik R Sukamdani S Gitosardjono. Kedua grup ini juga cukup kuat dan tangguh serta, terutama Bisnis Indonesia, memiliki usaha lain selain media seperti 12 grup di atas.

Selingkuh
Dalam pemaparan hasil penelitiannya berjudul “At Crossroads: Democratization & Corporatization of Media in Indonesia” pada Kamis, 13 Oktober lalu di Jakarta, Merlina Lim mengatakan, sebagian besar pemilik grup media itu juga aktif di partai politik. Bahkan ada yang menjadi petinggi partai. Kalaupun ada yang tidak aktif di partai, paling sedikit mereka dekat dengan penguasa dan petinggi partai.

Dia misalnya menyebutkan, Surya Paloh pernah menjadi petinggi Partai Golkar lalu keluar dari partai beringin itu dan mendirikan Nasional Demokrat. Aburizal Bakrie, pemilik Bakrie & Brothers adalah Ketua Umum Partai Golkar. Harry Tanoesoedibjo baru-baru ini masuk ke Partai Partai Nasional Demokrat. Sementara Lippo, meski tidak aktif di partai politik, tetapi dengan menempatkan Theo Sambuaga sebagai Presiden Direkturnya cukup memperlihatkan preferensi politik James T Riady. Theo Sambuaga adalah Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Sedangkan Chairul Tanjung dan Dahlan Iskan memang tidak masuk partai politik tetapi mereka sangat dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Satu-satunya grup media yang dinilai Merlyna Lim masih independen adalah Tempo. Tetapi sebetulnya kalau Merlyna teliti, Tempo juga tidak independen. Sebab pada pemilu 2009 lalu, pemilik grup itu, Goenawan Muhammad menjadi pendukung Wakil Presiden Boediono. Hubungan itu tetap mesra sampai sekarang. Sebagai imbalannya, Tempo menang tender iklan pengumuman tender seluruh proyek pemerintah yang sebelumnya dimenangkan Media Indonesia. Kini Goenawan Muhammad masuk atau paling tidak mendukung Partai SRI, sebuah partai yang akan mengusung Sri Mulyani menjadi Presiden 2014 mendatang.

Korporasi media dan hubungannya dengan partai politik dan penguasa ini, menurut Merlyna sungguh mengancam demokrasi. Sebab terjadi hegemoni informasi di sana. Berita-berita yang terkait dengan masalah yang membelit korporasi pemilik media tidak akan dibuka ke pulik. Dia memberi contoh kasus Lumpur Lapindo yang pemberitaannya kalah marak dari berita koin untuk Prita. Padahal, kasus Lumpur Lapindo itu sungguh dahsyat.

Pemilik media yang dekat dengan kekuasaan juga akan dengan gampang dikendalikan oleh penguasa. Kebobrokan pemerintah sulit terungkap ke publik karena media-media pun dibungkam.

Dengan kata lain, perselingkuhan antara korporasi media dengan penguasa partai politik akan sangat mengancam demokrasi di negeri ini. Proses menuju masyarakat komunikatif, meminjam bahasa Jurgen Habermas, sulit tercapai. Karena itu, menurut Merlyna, perlu ada media alternatif, seperti blog atau media sejenis itu dan media sosial.

Media-media kecil seperti ini akan bisa menyelamatkan demokrasi kalau bersatu padu “melawan” korporasi media untuk tetap menyampaikan fakta yang tidak diberitakan media yang sudah dikuasai korporasi tersebut. Dia memberi contoh, di Amerika Serikat, blog-blog jaringan warga hispanik mampu melengserkan pemimpin tertinggi CNN dari jabatannya menyusul pernyataan rasialisnya terhadap warga hispanik.

Tetapi untuk itu perlu ada sinergitas antara blog yang satu dengan yang lain dan perlu membangun jaringan seperti yang dilakukan warga hispanik AS itu. Hanya dengan begitu, media-media seperti ini bisa menyelamatkan demokrasi dari pembajakan para konglomerat-penguasa.

Atau cara lainnya adalah perlu aturan tegas dari pemerintah agar hak masyarakat untuk mendapatkan informasi apa pun tetap terjamin. Pemerintah, kata Merlyna, perlu membatasi korporasi media. Tetapi hal ini cukup sulit dilaksanakan karena penguasa juga perlu media untuk memelihara dan memoles citra pemerintahannya. Untuk itu dia harus berbaikan dengan para pemilik media. Pemerintah tidak mungkin membuat aturan keras yang membatasi penguasaan media.

Kalau itu yang terjadi, maka demokrasi yang dibangun dengan darah dan nyawa mahasiswa dan rakyat ini sedang melewati persimpangan jalan dan berada di tubir jurang. Itu sebabnya Merlyna memberi judul penelitiannya: At Crossroads: Democratization & Corporatization of Media in Indonesia. (Alex Madji)

Rabu, 19 Oktober 2011

Reshuffle, Vox Populi Vox Dei?


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya merombak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Reshuffle itu diumumkan pada Selasa, 18 Oktober 2011 pukul 20.00 WIB di Istana Merdeka Jakarta, tepat seperti diumumkan Juru Bicara Kepresiden Julian Aldrin Pasha sebelumnya.

Tetapi pengumuman reshuffle itu tidak mengejutkan publik. Bahkan, ditanggap sinis. Dialog-dialog televisi oleh para cerdik pandai memperlihatkan hal itu. Dalam dialog di sebuah televisi misalnya, seorang pengamat ekonomi mengeritik pernyataan SBY yang menyebut Mari Eka Pangestu berhasil di Kementerian Perdagangan. Terutama dalam memajukan ekonomi kreatif. Itu sebabnya dia dipindahkan ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Menurut sang pengamat, tidak ada keberhasilan yang dicatat mantan peneliti CSIS ini. Yang ada justru sebaliknya. Kegagalan. Karena itu sang pengmat bingung dan tidak mengerti dengan klaim keberhasilan Mari Elka Pangestu oleh SBY.

Bukan hanya mereka. Reaksi rakyat jelata sama dan sebangun. Pada status Facebook (FB) mereka dan percakapan di grup Blackberry Messanger (BBM) mengungkapkan hal itu.

Imam Suhartadi dalam status FB-nya, misalnya, menulis, “Optimiskah anda terhadap hasil reshuffle kali ini akan membawa perubahan besar dan signifikan?...saya pesimis bung...saya jadi rindu sosok JK...I miss u Pak JK..”

Fian Padju lain lagi. Dalam Bahasa Inggris dia menulis, “after 7 years he still upset of the right ministry on the right department...do we have the right president?” Statusnya ini dikomentari 11 kali.

Sementara seseorang yang menggunakan nama akun Sang Pencinta Filsafat mencatat, “Reshuffle Kabinet: Menteri kelautan & perikanan: Nelayan; Menteri Perhubungan : Sopir, Pilot, Nahkoda, Masinis ; Menteri Perdagangan : Yang dagang di pasar ; Menteri Pariwisata : Gaet & agen travel ; Menpora : Para Atlet ; Menakertrans : dari TKW/TKI & Buruh ; Menkumham : Aktivis & LSM, dsb. Gitu aja koq repot sampai angkat wakil menteri segala. Pak Beye....Pak Beye....!!!

Tiga status FB itu mau mengungkapkan pesimisme yang tinggi di kalangan masyarakat bahwa kabinet baru ini tidak akan membawa banyak perubahan. Karena orang-orang yang dipilih SBY bukanlah orang yang tepat pada posisinya masing-masing.

Pesimisme Imam itu dipertajam oleh Fian Padju. Bahkan dengan sangat tajam Fian menilai bahwa sudah tujuh tahun SBY berkuasa, tetapi dia gagal menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat di kabinet. Atau, jangan-jangan, - tanya Fian – Presiden ini bukan orang yang tepat untuk pimpin Indonesia. Sebuah keraguan yang mendalam.

Sedangkan Sang Pencinta Filsafat dengan sangat sederhana menjawab Fian bahwa seharusnya orang tepat duduk dalam kabinet adalah mereka yang sehari-hari menggeluti masalah yang menjadi tugas dan tanggung jawab kementerian yang bersangkutan. Dia mencontohkan, Menteri Kelautan dan Perikanan seharusnya dipimpin oleh seorang nelayan. Menteri Pemuda dan Olah Raga harus diisi seorang atlet. Menteri Perdagangan diisi oleh pedagang di pasar. Menteri Perhubungan harus diisi oleh seorang pilot atau sopir atau masinis. Ini penting karena mereka mengetahui persoalan riil yang dihadapi di lapangan.

Tetapi SBY tentu punya alasan dan pertimbangan sendiri. Mungkinkan dia mendengar suara rakyat seperti Imam, Fian dan si Sang Pencinta Filsafat? Hanya SBY yang tahu. Tetapi ada pepatah latin mengatakan, vox populi vox Dei. Artinya, suara rakyat harus didengar karena suara mereka adalah suara Tuhan. (Alex Madji)

Senin, 17 Oktober 2011

Kampung Gajah Minus Gajah


Pilihan tempat rekreasi di Bandung, terutama di Lembang, Jawa Barat makin banyak. Sejumlah agrowisata di kawasan Lembang dikela dengan sebutan kampung. Ada kampung stroberi . Ada kampung daun. Kini ada satu objek wisata yang tidak terlalu jauh dari dua tempat itu, yakni Kampung Gajah.

Kampung Gajah ini terletak di Dewan Ciheudeng, Kecamatan Lembang, Bandung, Jawa Barat. Namanya Kampung Gajah, tetapi jangan berharap Anda akan menemukan hewan Gajah di dalamnya. Yang ada hanya patung-patung gajah. Di gerbang masuk, Anda disambut patuh gajah besar.

Objek wisata ini menggabungkan sejumlah wisata seperti wahana permainan baik bagi anak-anak maupun orang dewasa, wisata kuliner, dan wisata belanja. Di sana ada beberapa FO besar dan Anda bisa menjajakan mata di situ. Atau ketika anak-anak Anda menikmati wahana permainanan bersama pembantu, Anda bisa memilih pakaian kesukaan Anda. Setelah semua lelah dan lapar, Anda bisa duduk-duduk di begitu banyak restoran yang ada di situ. Ada Resto & Café, Ada Warung Sunda, ada restoran Jepang dan aneka makanan lainnya.

Untuk anak-anak, ada macam-macam permainan. Ada Bumper Boad, boad yang terbuat dari karet dan diberi atap lengkap dengan kemudi, yang harus dibayar Rp 200.000 untuk lima orang. Di keliling danau kecil itu ada lintasn rel kereta yang berjalan super lambat dengan tarif Rp 15.000 per orang. Anak saya, pada Minggu, 16 Oktober 2011 memilih naik kereta ini.

Selain dua permainan ini, masih ada mainan motor cross dengan tarif Rp 30.000 per sepuluh menit per orang, formula Kart (Rp 45.000 per 10 menit). Tetapi lintasannya pendek. Masih ada lagi mainan ambhibi, sky raider, dan pelosotan untuk orang dewasa dan masih banyak jenis permainan lainnya. Anda juga bisa menyaksikan sky view.

Lokasa Kampung Gajah ini terletak di lereng dan pada bagian tertentu cukup curam. Di ujung bawah lokasi itu ada aliran sungai yang mengering. Di pinggirnya akan dibangun wisata air atau water boom. Saat ini, obyek wisata air itu sedang dibangun.

Tetapi dilihat dari kemiringan tanahnya, lokasi ini sepertinya rawan longsor . Saat ini, lokasi itu memang sangat gersang. Pohon-pohon baru ditanam dan belum tampak hidup. Kalau pohon-pohon sudah hidup, lokasi ini akan sejuk dan membuat cuaca dingin Lembang makin tambah dingin.

Lebih dari itu, mudah-mudahan pohon-pohon itu nanti bisa menyerap air hujan ke dalam tanah dan tidak menimbulkan longsor serta tidak menelan korban jiwa. Hingga akhirnya, Anda bisa enjoy berekreasi di Kampung Gajah yang minus gajah itu. (Alex Madji)

Kamis, 13 Oktober 2011

Jakob Oetama dan Dahlan Iskan


Pada 27 September 2011, pendiri Kelompok Kompas Gramedia (KKG) Jakob Oetama merayakan ulang tahun ke-80. Perayaan itu ditandai dengan peluncuran buku super tebal “Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama” karya St Sularto terbitan Penerbit Buku Kompas. Tadinya, buku ini dirancang sebagai otobiografi Jakob Oetama. Tetapi kemudian berubah menjadi tulisan Sularto tentang bosnya itu.

Sebagai tokoh pers yang sangat disegani, ulang tahun Jakob Oetama mendapat perhatian publik. Tak terkecuali dari kalangan pers.

Pemilik Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan, misalnya membuat tulisan tentang Jakob Oetama yang dimuat di hampir seluruh media Grup Jawa Pos. Dalam tulisan itu, Dahlan Iskan yang kini menjadi Direktur Utama PLN antara lain mengagumi Jakob yang dianugerahi umur yang panjang.

Menurut catatannya, Jakob adalah segelintir wartawan yang berusia panjang. Ini langka terjadi. Yang kerap terdengar adalah wartawan cepat mati karena berbagai penyakit akibat alpa menjaga kesehatan karena terlalu sibuk dengan pekerjaan baik di kantor maupun lapangan ataupun karena gaya hidup.

Selain itu, Dahlan Iskan mengagumi campur sinis tentang kepimpinan Jakob Oetama yang begitu lama di Kompas. Bayangkan, JO, begitu dia disapa di internal KKG, menjadi pemimpin redaksi hingga usia 70 tahun. Bahkan hingga kini dia masih sebagai pemimpin umum. Meskipun, operasional KKG sudah diserahkan ke CEO tangguh Agung Adiprasetyo. Selain itu, JO juga memegang jabatan di Serikat Penerbit Surat Khabar dalam kurun waktu yang cukup lama sebelum diserahkan begitu saja kepada Dahlan Iskan.

Dahlan Iskan sendiri berhenti menjadi Pemimpin Redaksi pada usia 37 tahun dan mundur total dari manajemen Jawa Pos Grup pada usia yang masih produktif. Bahkan sekarang seluruh kendali Jawa Pos Grup dialihkan ke CEO yang masih berumur 34 tahun. Sedangkan Dahlan Iskan sendiri hanya sebagai pemegang saham

Kritik yang paling tajam Dahlan Iskan terhadap JO dan Kompasnya adalah gaya jurnalistik Kompas yang disebutnya “penyakit Kompas”. Dahlan Iskan dengan terus terang mengaku bahwa dia paling tidak suka dengan jurnalisme seperti ini. Karena itu, kepada para wartawan baru Jawa Pos, Dahlan Iskan menekankan untuk tidak meniru gaya jurnalisme Kompas atau tidak terjangkit penyakit Kompas. Dahlan yang pernah melakukan transplantasi hati di Cina itu mengaku tidak suka dengan “penyakit Kompas” itu karena Jawa Pos lebih memilih gaya bertutur.

Lebih dari itu, Dahlan Iskan salut dengan JO, menghargai, mengagumi pria kelahiran 27 September 1931 itu. Tetapi pada saat bersamaan dia menyatakan bahwa Kompas adalah pesaingnya. Tetapi persaingan keduanya berlangsung sehat justru karena keduanya memiliki visi yang berbeda. Kompas, kata Dahlan Iskan, menguasai nusantar dari pusat, tetapi Jawa Pos menguasai nusantara dari daerah. Persaingan sehat itu membuat keduanya sama-sama besar.

Fortiter in re, suaviter in modo
Setelah membaca buku “Syukur Tiada Akhirn Jejak Langkah Jakob Oetama”, kritikan Dahlan Iskan soal “penyakit Kompas” itu terjawab tuntas. Menurut buku setebal 659 halaman itu, jurnalisme Kompas ini oleh Rosihan Anwar disebut “jurnalisme kepiting”, sebuah jurnalisme yang bisa menyesuaikan diri dengan situasi. Tetapi dia tidak terhanyut situasi yang ada. Dia tetap memiliki prinsip dan memegang teguh prinsip itu. Jurnalisme seperti inilah yang membuat Kompas bisa hidup di segala zaman.

Ternyata, gaya yang disinis oleh Dahlan Iskan itu memiliki dasar yang kuat dan kokoh. Jakob Oetama mendasarkan diri pada pepatah latin yang berbunyi “fortiter in re, suaviter in modo”. Artinya halus dalam cara, teguh dalam prinsip. Gaya boleh luwes dalam menyampaikan berita tetapi tetap ada prinsip yang teguh dan tidak bisa ditawar. Inilah yang dipegang Jakob Oetama dalam membangun KKG.

Ini pulalah kekhasan Kompas yang tidak dimiliki media lain. Meskipun Dahlan Iskan benci dengan gaya ini, tetapi itulah gaya yang dipilih Kompas dan siapa pun layak menghargai dan menghormatinya, seperti juga mereka menghormati dan menghargai gaya jurnalistik media lain.

Prinsip itu berurat berakar dalam pribadi Jakob Oetama. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang pendidikannya. Dia dididik di Seminari Menengah Mertoyudan selama enam tahun. Kemudian masuk ke Seminari Tinggi Kentungan, meski hanya sebentar sebelum akhirnya mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas. Bahkan Jakob sendiri tidak tahu alasan mengapa dia mundur.

Kemudian dia memulai dunia kerja di lingkungan Fransiskan dengan menjadi guru di sekolah Mardiyana Cipanas yang dikelola Fransiskan kemudian mengelola Majalah Penabur yang didirikan oleh Fransiskan. Bahkan profesi wartawan yang dipilih Yakob ditentukan oleh Fransiskan.

Ketika dia hendak memilih menjadi guru seperti bapaknya, seorang Pastor Fransiskan, misionaris asal Belanda bernama Pastor JW Oudejans OFM memintanya untuk menjadi wartawan. Sebab ketika itu wartawan Katolik sangat jarang sementara guru sudah bergelimpangan. Maka terceburlah Jakob menjadi seorang wartawan dan ternyata sukses hingga usia senjanya yang ke-80. [Alex Madji]

Selasa, 11 Oktober 2011

Reshuffle Kabinet dan Korupsi


Isu reshuffle atau perombakan kabinet kembali mencuat. Sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden pada 2004, isu ini muncul setiap tahun. Siklusnya mulai akhir September hingga 20 Oktober, ulang tahun pemerintahan.

Tahun lalu, isu ini begitu gencar dan bertahan cukup lama. Tetapi SBY bergeming. Pada satu tahun pemerintahannya, dia tidak melakukan pergantian atau pergeseran anggota kabinetnya. Meskipun desakan untuk itu sangat kuat.

Tahun ini, 2011, isu tersebut muncul kembali sejak akhir September. Kadang-kadang unik dan lucu. Para politisi Partai Demokrat bersahut-sahutan berbicara tentang reshuffle. Ketua DPR, Marzuki Alie, misalnya pernah berujar bahwa dia sudah mendapat bocoran nama-nama anggota kabinet.

Didi Irawady Syamsuddin dan Ramadhan Pohan, keduanya kader Partai Demokrat, memastikan ada reshuffle. Tetapi pergantian kabinet ini, kata mereka, bukan sebagai sanksi untuk parpol koalisi yang mbalelo tetapi untuk kinerja pemerintahan yang lebih baik. Alasannya pun kuat, berdasarkan masukan dari masyarakat dan evaluasi kinerja kementerian oleh UKP4 pimpinan Kuntoro Mangkusubroto.

Presiden SBY sendiri juga tidak kalah uniknya. Dia ikut memainkan isu ini. Dia misalnya menanyakan kepada wartawan soal bocoran reshuffle. Memang, SBY punya gaya tersendiri menghadapi wartawan di Istana. Kadang-kadang, para staf khususnya dan Biro Humas memberitahu wartawan bahwa SBY mau didoorstop. Tetapi sesungguhnya bukan doorstop. Sebab, begitu wartawan dikumpulkan entah di depan pintu ruang kerjanya atau di halaman depan Kantor Presiden, SBY datang dan langsung ngomong. Wartawan tinggal mendekatkan recorder ke SBY atau menempel di pengeras suara yang sudah disiapkan. Tidak ada rentetan pertanyaan dari wartawan sebagaimana doorstop sesungguhnya. Selesai bicara dia pergi.

Cara lainnya adalah staf khusus SBY sudah menitipkan pertanyaan kepada beberapa orang “wartawan pilihan”. Tentu ini dilakukan sembunyi-sembunyi. Begitu SBY datang, dia akan memulai dengan bertanya, “Ada pertanyaan?” Lalu wartawan yang tadi dititipi pertanyaan itu mengajukan pertanyaan.

Ada lagi cara yang lebih spontan. Setelah wartawan berkumpul, SBY akan bertanya apa isu yang hangat hari ini? Setelah diberitahu wartawan secara beramai-ramai, dia lalu merespons isu tersebut. Itulah yang dimaksud SBY doorstop.

Gaya SBY seperti tadi membuat isu reshuffle ini menjadi hidup dan riuh. Belum lagi diikuti dengan aksi pemanggilan para menteri dan orang-orang tertentu ke Cikeas, kediaman pribadi Presiden SBY. Hal ini menyedot perhatian media massa dan rakyat yang melihat televisi dan membaca koran dan media online.

Pengelolaan isu ini nyaris menenggelamkan pemberitaan tentang berbagai kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti kasus korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang diduga melibatkan Menteri Muhaimin Iskandar dan perkara mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Mohammad Nazaruddin.

Kasus yang terakhir ini ikut menyeret Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan kader-kader top partai itu seperti Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng dan Angelina Sondakh.

Bahkan kasus ini semakin tenggelam sejak kasus korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencuat. Sempat ada dugaan bahwa kasus korupsi di Kemenakertrans sengaja dimunculkan untuk menutupi kasus korupsi di tubuh Partai Demokrat. Begitupun isu reshuffle kabinet dicurigai untuk menenggelamkan kasus korupsi yang melibatkan kader-kader SBY.

Dugaaan dan curiga itu akan semakin terbukit, bila isu reshuffle ini tidak berujung perombakan kabinet, terutama mengganti sejumlah menteri yang bermasalah dan berkinerja buruk. Kalau SBY seperti tahun lalu, tetap bergeming di tengah desakan publik mengganti kabinet, maka benar adanya bahwa ini semua sengaja dimainkan untuk menutupi kasus-kasus korupsi yang seharusnya diungkap sampai tuntas. Maka, kita tunggu keberanian SBY. (Alex Madji)

Senin, 10 Oktober 2011

Menemukan Originalitas


Minggu, 9 Oktober 2011, para mantan pastor, frater, dan bruder Fransiskan atau Ordo Fratrum Minorum (OFM) berkumpul di Kramat Raya 134 Jakarta Pusat. Mereka berkumpul untuk merayakan Pesta Santo Fransiskus Asisi, pendiri OFM yang sebenarnya jatuh pada 4 Oktober.

Pesta itu dirayakan dalam misa yang digabung dengan ofisi di kapel baru Panti Asunah Vinsensius Putra dan dipimpin oleh Pastor Yan Laju OFM dan Alex Lanur OFM. Alex Lanur yang juga guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara itu bertindak sebagai selebran Utama. Sedangkan khotbah dibawakan oleh Yan Laju. Setelah misa, acara dilanjutkan dengan sharing gagasan di Aula Vinsensius dengan pembicara Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun dan moderator Cyprianus Aoer.

Menurut Rikard, kemajuan teknologi sekarang ini menyulitkan orang menemukan originalitas. Akibatnya orang sulit membedakan antara yang substansi dan sesansi. Suka kebolak balik. Yang sensasi dianggap sebagai substasi, sementara yang substansi dijadikan sensasi belaka.

Kemajuan zaman ini juga membuat dunia ini di satu pihak tidak berjarak, tetapi pada saat yang sama berjarak. Dengan teknologi komunikasi, yang jauh menjadi dekat. Tetapi dengan teknologi yang sama yang dekat menjadi jauh. Contohnya, dalam satu rumah, ibu dan anak ada pada kamar atau ruang yang berbeda. Kalau perlu satu sama lain, tinggal angkat telpon atau ber BBM (blackberry message) ria.

Atau suami istri berada dalam satu kamar tetapi masing-masing sibuk dengan BB (Blackberry). Sang istri asyik berkomunikasi dengan teman-temannya di luar rumah baik dalam grup maupun personal. Suami juga begitu. Tanpa sadar, mereka saling meniadakan dalam ranjang yang sama. Sementara anak diserahkan urusannya pada pembantu rumah tangga.

Dalam kehidupan dunia seperti itu, perlu ada upaya untuk menemukan kembali originalitas untuk memastikan bahwa yang substansi tetaplah substantif. Dia tidak bisa diganti oleh sesuatu yang sensasional. Dalam originalitas, yang sensasi tidak akan menjadi substansi.

Spritualitas fransiskan menjadi salah satu jawabannya. Nilai-nilai yang ditawarkan Santo Fransiskus dari Asisi selalu up to date untuk sampai kapan pun. Nilai persaudaraan, kerendahan hati, saling menghargai, solidaritas, pencintai damai, dan masih banyak nilai fransiskan lainnya selalu aktual untuk menemukan originalitas itu.

Nilai-nilai ini menjadi bekal bagi siapa pun agar tidak kehilangan arah dan orientasi serta tidak terombang-ambing oleh perkembangan yang semakin mutakhir dan dunia yang semakin riuh. Dengan demikian, gerak dan ayunan langkah dalam memaknai dan mengejar tujuan hidup ini bisa dilakukan secara pasti.

Acara para mantan OFM itu dihadiri antara lain Guru Besar Emeritus Univesitas Indonesia Robert Lawang, dua mantan Anggota DPR dari PDI Perjuangan Cyprianus Aoer dan Ben Vinsen Jeharu, Pastor Kons Bahang yang baru saja merayakan 25 tahun imamatnya dan 27 saudara lainnya. Beberapa di antaranya datang dengan anak istri. Semua bersama-sama menimba bekal untuk menemukan originalitas.

Pada pertemuan itu putuskan pula ada pengurus untuk mengelola para mantan OFM ini. Ketua terpilih adalah Felly Kama dibantu beberapa saudara dari beberapa angkatan. Agenda Utama pengurus adalah, dalam semangat persaudaraan dan solidaritas, menggalang dana untuk pendidikan para Fransiskan. (Alex Madji)

Kamis, 06 Oktober 2011

Dari Relawan Kemanusiaan Menjadi Milioner


Penampilan Tadeus Prio Utomo tidak berubah. Padahal dia sudah menjadi pengusaha sukses di Republik Demokratik Timor Leste. Dia menjadi pengusaha sekelas Raul Lemos, suami artis Krisdayanti dari bekas provinsi ke-27 Indonesia itu. Rabu, 5 Oktober 2011 siang, dia hanya mengenakan hem lengan pendek warna orange, celana jins dan spatu sport sambil pikul ransel. Gaya seperti ini masih sama seperti beberapa tahun silam, ketika dia belum menjadi apa-apa. Yah, Prio - demikian dia biasa disapa – memang tidak ingin disebut pengusaha.

Siang itu, Prio datang bersama seorang teman lamanya yang pernah sama-sama menekuni bisnis penerbitan, tetapi gagal. “Kami pernah memikul buku ke kampus-kampus dan selalu dikejar-kejar utang,” ujarnya mengenang.

Belum lama kami bincang-bincang, seorang rekan bisnisnya di Timor Leste - seorang karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia yang ikut mengerjakan proyek di negeri Xanana Gusmao itu - datang. Pembicaraan selanjutnya berkisar tentang aktivitas usaha Prio di Dili. “Pak Prio lebih senang hujan emas di negeri orang daripada hujan air di negeri sendiri,” kata temannya itu melukis tentang kiprah Prio di Timor Leste.

Prio terjun ke dunia usaha di Dili bukan by design. Murni sebuah keterlemparan. Serba kebetulan. Tadinya, Prio adalah seorang relawan kemanusiaan. Ketika Aceh diguncang gempa bumi hebat yang disusul tsunami mengerikan hingga menewaskan ratusan ribu orang pada Desember 2004, Prio menjadi tim relawan Rm Sandyawan Sumardi ke sana pada awal 2005. Tugas dia di tanah rencong itu antara lain adalah memasang panel listrik tenaga surya.

Prio sebenarnya tidak memiliki pengetahuan teknis soal ini. Sebab dia sekolahnya filsafat. Dia tamat dari Sekolah tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Tetapi dia mau belajar dari orang lain hingga akhirnya bisa memasang sendiri. Melihat keberhasilan itu, kemudian ada seorang pengusaha yang mengajak di ke Dili karena memiliki proyek serupa. Tetapi Prio menolak.

Setahun kemudian, pada 2006, gempa hebat mengguncang Yogyakarta. Prio kembali menjadi sukarelawan ke sana. Tugas dia kali ini sama. Memasang panel listrik tenaga surya. Bedanya, kali ini dia tidak perlu belajar lagi karena dia sudah paham dan tahu seluk beluknya. Dan, sukses.

Kemudian tawaran ke Dili untuk mengerjakan proyek serupa datang lagi. Kali ini, Prio tidak kuasa menolak. Dia pun mengiyakan penawaran tersebut dan berangkat ke Dili pada September 2006. Di sana dia mula-mula mengerjakan panel listrik tenaga surya dan proyek-proyek listrik lainnya dari pengusaha yang membawanya. Setelah semua proyek itu kelar, “bos”-nya kemudian kembali ke Indonesia. Lantas Prio dilepas seorang diri. Prio pun berupaya untuk survive. “Sebagai seorang perantauan, saya harus survive,” ceritanya bersemangat.

Untunglah Prio memiliki jaringan yang luas berkat pergaulannya yang luwes dan mudah akrab dengan siapa pun selama “mengikuti” orang di Timor Leste. Jaringan itu kemudian dimanfaatkannya untuk bisa menikmati hujan emas di Bumi Lorosae.

Menjadi Pengusaha
Kesuksesan Prio berawal ketika dia memutuskan untuk menjadi konsultan pengadaan barang di Pemerintah Timor Leste. Setelah sukses sebagai konsultan lalu dia ikut dalam pengadaan barang. Bahkan, terakhir dia terlibat dalam proyek pembangunan. Kini Prio terlibat dalam tiga bisnis di Timor Leste yaitu konsultan, pengadaan, dan konstruksi.

Dalam ketiga hal itu, Prio mengaku tidak terlalu ahli. Tetapi dia merekrut tenaga ahli yang umumnya berasal dari Indonesia untuk mendapat proyek dari Pemerintah Timor Leste melalui tender. Dia menggaji para tenaga ahli dengan 2.000 sampai 2.500 dolar AS. Berkat sokongan para ahli itulah Prio kemudian memenangkan tender demi tender di Timor Leste.

Dia mengungkapkan, paling tidak dia mendapat 3-4 tender per tahun dengan nilai per proyek 2 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau hampir Rp 20 miliar. Selain itu, masih ada proyek-proyek bernilai kecil puluhan atau ratusan ribu dolar rutin dia dapat. Sementara proyek-proyek besar tadi per periode.

Kini Prio masih menunggu sebuah proyek yang bernilai fantastis hingga Rp 3 triliun. “Kalau bisa memenangkan proyek ini, bisalah untuk hidup dalam waktu yang cukup lama,” ucapnya optimis.

Saat ini, di Timor Leste, Prio memiliki satu perusahan sendiri dengan nama Multi Arch, Lda. Selain itu ada dua perusahan lain yang berpatungan dengan orang lokal. Perusahan-perusahan ini kemudian menggandeng perusahan lain dalam mengerjakan tender-tender yang dia menangkan. Dia menggandeng BUMN-BUMN besar Indonesia untuk mengerjakan proyek-proyek negara itu. Bahkan Prio kemudian menjadi rebutan BUMN-BUMN konstruksi Indonesia untuk mendapat proyek.

Di perusahannya sendiri, Prio memiliki 30 karyawan tidak tetap yang umumnya tenaga ahli dan delapan orang karyawan tetap. Mereka ini tim pendukungnya dalam mengerjakan tender-tender Pemerintah Timor Leste. Karyawan-karyawan ini ditempatkannya dalam sebuah rumah sewaan seharga 5.000 dolar AS per bulan.

Prio tidak berhenti di situ. Pada awal 2011 ini dia mengembangkan sayap bisnisnya ke restoran. Dia membeli restoran orang dan dijadikan semacam tempat “ngumpul” dan mejeng. Tetapi menurut dia, bisnis restoran ini belum menghasilkan uang. Bahkan dia harus mengeluarkan uang untuk subsidi usaha yang dikelola oleh teman kuliahnya di STF Driyarkara itu.

Ya, Prio yang dulu relawan kemanusiaan itu kini menjadi pengusaha sukses sekelas Raul Lemos dan menjadi milioner di Timor Leste. Slamat bro. (Alex Madji)

Rabu, 05 Oktober 2011

Kantin, Pilihan Tempat Nongkrong Murah


Kehadiran 7 Eleven di Indonesia yang sudah satu tahun lebih menambah tempat nongkrong favorit bagi masyarakat. Kini, bukan hanya 7eleven yang hadir di kota-kota besar, tetapi ada beberapa yang sudah menirunya, salah satunya Yogya Xpress yang ada di Cihampelas Walk, Bandung .

Di Jakarta, 7 Eleven sudah semakin menjamur. Hampir di setiap perempatan terdapat kantin 7 Eleven yang selalu ramai, baik di pagi, siang atau pun malam hari. Kantin dengan dominan warna hijau dan orange berada di wilayah yang ramai oleh anak muda. Misalnya saja, di sekitar Universitas Bina Nusantara, Kebun Jeruk, Jakarta Barat, ada dua 7 Eleven yang jaraknya hanya sekitar dua kilometer.

Apa sih keistimewaan kantin ini dibandigkan kafe-kafe yang lainnya? Yang pasti lebih murah. Misalnya saja, untuk secangkir kopi yang dibandrol Rp 8.000 di 7 Eleven atau Rp 5.000 di Yogya Xpress. Bandingkan dengan Starbucks Cofee yang sekali datang saja kita harus merogoh kocek Rp 50.000. Tetapi tentu saja, rasanya juga berbeda.

Kantin 7 Eleven juga menyediakan Slurpee yaitu minuman bersoda yang setengah beku, atau Big Gulp, minuman soda yang dicampur es batu dengan gelas yang lumayan besar. Bukan hanya itu, kantin asal Amerika ini juga menyediakan makanan Big Bite yaitu hot dog dengan berbagai pilihan isi. Pokoknya semua ada untuk berbagai kalangan. Bukan hanya pilihan anak muda, tetapi juga orang tua. Murah pula! Untuk berbagai jenis makanan dan minuman dibandrol di bawah Rp 20.000.

Tak beda jauh dengan 7 Eleven, di Yogya Xpress juga menyediakan kopi, minuman ringan dan makanan. Kantin kecil yang berada di kawasan Ciwalk itu juga menyediakan air panas untuk menyeduh mie cup. Kedua kantin itu pasti akan terasa lebih nyaman, dibandingkan dengan warung kopi di pinggir-pinggir jalan. Kebersihannya pun lebih terjamin. Yang pasti, tempat-tempat itu menjadi asyik bagi siapa saja yang datang untuk makan, ngobrol atau sekedar nongkrong melewatkan waktu.

Misalnya saja, di suatu siang di penghujung September 2011, salah satu tempat duduk di 7 Eleven, seorang ibu dan anaknya yang masih memakai seragam TK menikmati minuman dan makanan yang dibeli. Keduanya asyik sekali mengobrol dan mengunyah makanan. Di sampingnya, dua orang laki-laki yang membeli kopi juga bercengkarama dengan seoarang anak perempuan yang memilih minuman Slurpee.

Tak lama kemudian, tiga siswa SMA masuk ke 7 Eleven dan menenteng minuman di tangannya masing-masing. Ketiganya tertawa bersama ketika menceritakan seorang teman perempuan di sekolahnya yang sedang menjadi incaran banyak teman-temannya.

Siapa sih 7 Eleven?
Kerja sama anatara 7 Eleven Inc dengan PT Modern Putra Indonesia (PT Modern) sebagai pemegang franchise toko 7 Eleven di Indonesia pada tahun 2009. Pt Modern membeli franchis 7 Eleven dengan alasan mempunyai retail network yang kuat.

Toko 7 Eleven pertama di Indonesia didirikan di Bulungan, Jakarta . Saat ini ada sekitar 37 toko yang sudah didirikan dan tentunya akan terus bertambah. Selama ini, PT Modern dikenal sebagai perusahan yang memproduksi di bidang fotografi, elektronik dan telekomunikasi. Beberapa gerai yang dimiliki PT Modern, seperti Fuji Image Plaza , Fuji Film Image Service dan MPhoto Studio. (Putri Biyan)

Selasa, 04 Oktober 2011

Kantor Pindah Lagi, Semangat Tetap Tinggi


Sejak diakuisisi Grup Lippo, Suara Pembaruan sudah dua kali pindah kantor. Pertama, pada 9 Februari 2010, “Koran Sore dari Cawang” ini pindah dari Jalan Dewi Sartika 136-D, Jakarta Timur ke Aryaduata Suites, kawasan Semanggi, Jakarta Selatan.

Di sana, koran penerus Sinar Harapan yang dibreidel penguasa Orde Baru Soeharto ini, menempati dua lantai sebuah gedung paling depan di kawasan bisnis Semanggi, persis di belakang Atma Jaya Jakarta. Lantai satu dipakai untuk ruang-ruang rapat, sedangkan redaksi berada di lantai dua. Sementara unit-unit lain menyatu dengan unit bisnis dan sales Globe Media Group.

Kedua, setelah lebih dari 1,5 tahun di sana, Suara Pembaruan kembali hijrah. Kali ini, Sabtu 1 Oktober 2011, ke Gedung Citra Graha di Jalan Gatot Subroto, persis di samping Balai Kartini. Di sini, redaksi menempati sebuah ruangan di lantai 11, sementara unit-unit lain ngendon di lantai sembilan. Resminya, sebagai buruh Suara Pembaruan, saya baru masuk kantor baru itu pada Senin 3 Oktober 2011 pagi pukul 08.00 WIB.

Uniknya di gedung baru ini, redaksi Suara Pembaruan berada dalam satu ruangan dengan redaksi The Jakarta Globe dan Investor Daily. Dalam ruangan yang tidak seberapa luasnya itu, awak redaksi ketiga media massa itu bersumpek ria. Jarak antara meja begitu rapat. Bahkan gang pun sempit.

Lebih unik lagi, tidak ada pengelompokan Suara Pembaruan sendiri, The Jakarta Globe Sendiri, dan Investor Daily sendiri. Semua dilebur. Mereka dikelompokan berdasarkan desk. Misalnya, Desk Politik dari ketiga media itu disatukan. Begitupun ekonomi, portal, dan sebagainya.

Karena The Jakarta Globe adalah koran berbahasa Inggris, maka tidak heran kalau di ruang redaksi ketiga media ini banyak bule.

Nah, Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan dan Investor Daily Primus Dorimulu dalam rapat redaksi pertama di ruang rapat yang sempit pada Senin, 3 Oktober 2011 siang mengatakan, penyatuan ini adalah yang pertama di Indonesia. Bahkan di dunia, penyatuan ruang redaksi dari beberapa media massa dalam satu grup jarang terjadi. “Di Amerika Serikat mungkin hanya Bloomberg yang melakukan seperti ini,” ujarnya.

Tetapi, cara seperti ini kemungkinan besar akan ditiru oleh berbagai korporasi media masssa di Indonesia. Pasalnya dengan cara seperti ini, ego sektoral masing-masing media luluh. Selain itu, kordinasi menjadi lebih mudah. Dan, ini yang penting, demi efisiensi. Banyak hal yang bisa dihemat dengan penyatuan seperti ini. Mulai dari biaya listrik, air, cleaning service, sewa gedung, dan masih banyak lagi.

Sebagai tempat baru, tentu saja suasananya juga baru. Maka menyesuaikan diri dengan suasana baru itu mutlak penting. Maklum masing-masing media memiliki gaya, latar belakang, dan kultur berbeda-beda.
Bagi saya, ini adalah ziarah baru dalam karier sebagai wartawan Suara Pembaruan. Meskipun secara administratif, saya dan beberapa teman lain sudah berada di bawah PT Jakarta Globe Media. Bukan lagi PT Media Interaksi Utama, penerbit Suara Pembaruan. Tetapi, kebanggaan sebagai wartawan Suara Pembaruan belum bisa dilepas, walau gaji tidak seberapa.

Yah, semoga di tempat baru ini ada semangat baru untuk bekerja dan mengabdi. Atau paling tidak semangat untuk bekerja tetap tinggi. Dan, semoga buah dan puncak dari pengabdian dan kerja keras itu adakah kesejahteraan hidup yang layak. Mari menunggu. (Alex Madji)

Senin, 03 Oktober 2011

Prima Auto Wash Balik Modal 1,5 Tahun


Prima Pradnya Paramita namanya. Umurnya baru 32 tahun. Tetapi dia sudah berani melepas pekerjaan kantoran dan terjun ke dunia usaha. Usaha yang dipilihnya pun tidak lazim untuk seorang perempuan, yaki cuci mobil/motor. Dunia ini baru ditekuninya enam bulan terakhir. Meski demikian, keuntungan dari bisnis ini sungguh menggiurkan dan menjanjikan.

Ketika ditemui Sabtu, 1 Oktober 2011 lalu, perempuan berkerudung ini tengah duduk di balik meja di tempat cuci motor-mobil yang dibabtis dengan nama dia sendiri, “Prima Auto Wash”, yang terletak di Ruko Graha Raya Bintaro, Tangerang Selatan.

Perempuan cantik beranak dua ini berkisah, tadinya dia bekerja di sebuah kantor advertising. Cukup lama dia bekerja di situ. Jodohnya pun ditemukan di sana. Setelah menikah dengan teman kantornya, mereka dikarunia dua orang anak. Anak pertama mereka, seorang laki-laki bernama Arsa (8 tahun), berkebutuhan khusus (tuna rungu).

Tadinya, orang tua Prima membantu mengurus Ernah. “Tetapi saya kan tidak bisa mengandalkan mereka terus menerus,” ceritanya.

Pada 2006, Prima lalu memutuskan berhenti total dari pekerjaannya. Intensinya, untuk lebih fokus mengurus anak sulungnya itu. Tetapi dia tidak mau tinggal diam begitu saja di rumah. Dia mencoba berbuat sesuatu. Dia pernah mencoba berbisnis pakaian bayi bersama tiga orang temannya. Mereka buka toko baju bayi di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.

“Tempat itu memang ramai, tetapi ternyata tidak cocok untuk pakaian bayi. Makanya usaha itu gagal. Ternyata tempat ramai tidak menjamin. Lebih baik buka toko bayi di ITC,” imbuh perempuan yang hari itu mengenakan kaus kuning dibalut sweater hitam dan krudung hitam bercerita.

Usaha lain yang pernah dicobanya adalah event organizer perkawinan. Usaha ini masih jalan sampai sekarang. Meski agak fakum pada enam bulan terakhir, sejak dia menekuni bisnis cuci mobil/motor.

Balik Modal
Usaha cuci mobil/motor bernama Prima Auto Wash ini dimulai Prima sejak enam bulan lalu. Dia merogoh kocek Rp 110-Rp 120 juta untuk modal awal usaha ini. Hebatnya lagi, dana ini tidak diperolehnya dari pinjaman bank, tetapi dari modal pribadi. Itu sebabnya, kata dia, business plan-nya harus matang sebelum menjalankan usaha.

Dana sebesar itu dipakainya untuk menyewa ruko (rumah toko) sebesar Rp 25 juta per tahun selama dua tahun . Selebihnya dana itu dipakai untuk membeli berbagai perlengkapan tempat cuci mobil/motor, plus memoles ruko yang tadinya tidak terlalu laku itu. “Ruko ini termasuk murah. Kalau di ruko-ruko baru, sewanya lebih mahal,” ujar Prima.

Dari hitung-hitungan selama enam bulan ini, Prima memperkirakan usahanya itu akan balik modal satu tahun mendatang atau satu setengah tahun sejak usaha itu dibuka. Sebab pendapatan kotor selama satu bulan mencapai Rp 15 juta. Sedangkan pengeluarannya hanya Rp 6-7 juta. Perinciannya, untuk gaji 6 orang karyawan plus satu tenaga lepas yang bekerja 7-8 jam, sebesar Rp 4-5 juta dan biaya listrik, sabun dan lain-lain sebesar Rp 2 juta. Jadi, total penghasilan bersih bisnis cuci mobil/motor itu mencapai Rp 9-10 juta per bulan. Tarolah penghasilan bersihnya Rp 10 juta, maka pendapatan satu bersih satu tahun Rp 120 juta.

Lebih lanjut Prima menceritakan, pelanggan tempat cuci mobil/motornya lumayan. Pada Sabtu/Minggu, jumlah mobil yang cuci di situ bisa mencapai 40 unit. Sedangkan motor maksimal 40 unit. Itupun karena jumlahnya dibatasi. “Kalau tidak dibatasi, kasihan karyawan. Mereka sudah capai sekali,” ujarnya.

Sementara pada hari-hari biasa atau weekdays, jumlah motor lebih banyak dari mobil. Rata-rata sehari motor bisa mencapai 30, sementara mobil hanya 15 unit per hari. Tetapi jumlah ini, baik pada akhir pekan maupun hari biasa, akan meningkat kalau musim hujan tiba. Selain cuci mobil/motor, Prima Auto Wash juga menerim cuci helm. “Selama enam bulan ini, pelanggan itu sudah punya pola sendiri. Jadi kita bisa tahu,” imbuhnya.

Dengan pola seperti itu, Prima yakin usahanya ini sudah break event point (BEP) dalam waktu satu sampai satu setengah tahun. Dia pun lantas bersyukur atas hasil seperti ini. Bahkan, sekarang dia berpikir untuk membuka usaha pelengkap tempat cuci mobil/motor itu. Terkait itu, dia berencana mebuka barber shop atau tempat potong rambut. Sembari tunggu mobil/motor selesai dicuci, mereka bias potong rambut. “Tetapi saya tidak mau invest modal baru. Saya tunggu keuntungan dari usaha ini,” ucapnya.

Terkait kesuksesan usaha cuci mobil/motornya itu, lebih jauh dia melihat, ini adalah rahmat dan berkat si sulung yang berkebutuhan khusus tadi. Pasalnya, kebutuhan anak berkebutuhan khusus pasti tinggi. Alat Bantu dengar saja, kata dia, harus diganti setiap 3-4 tahun. Harganya pun lumayan mahal.

Di ujung perbincangan pagi itu, Prima menegaskan bahwa terjun ke dunia usaha memang tidak mudah. Ada jatuh bangunnya. Meski demikian, jangan pernah menyerah. Harus berani mencoba. Selain itu, harus ada perencanaan bisnis yang matang. Dengan perencanaan yang matang, peluang untuk sukses itu besar. “Saya tidak mau buat usaha hanya untuk rugi,” ucapnya.

Satu lagi. Menurut perempuan putih langsat ini harus ada keberanian untuk memulai. Tanpa keberanian memulai, rencana usaha tidak akan pernah terwujud. Jangan takut gagal. Kegagalan selalu menjadi tempat pembelajaran untuk meraih kesuksesan. Paling tidak, itulah yang dia alami dan dilakukan Prima. Gagal untuk maju dan meraih kesuksesan. Jadi, harus nekat. (Alex Madji)