Sabtu, 23 Juni 2012

Bingung Beli Karcis Bis


Naik bis umum di Warsawa sebenarnya tidak sulit. Yang penting tahu nomor bis dan tempat berhenti, sudah cukup. Paling tidak itulah pengalaman saya naik bis umum yang nyaman di Warsawa untuk pertama kalinya.

Kamis, 21 Juni 2012, saya tanya ke resepsionis hotel nomor bis yang bentuk dan sistemnya sama seperti Trans Jakarta ke Fan Zone. Dia menyebut bis nomor 501, 519, dan 422. Bis-bis gandeng tiga ini semuanya lewat di arena Fan Zone Euro 2012. Tetapi saya harus menyeberangi jalan di samping hotel itu. Lalu tiketnya, kata mas resepsionis itu, bisa langsung beli di mesin otomatis. Di sinilah masalah bermula.

Di seberang hotel tempat saya menginap, memang ada sebuah mesin tiket otomatis. di Jalan Mangalia, hanya ada satu, yaitu di Mangalia 2. Sedangkan hotel tempat saya mengiap berada di Jalan Mangalia 3. Saya coba membaca petunjuk yang ada di mesin berwarna merah itu. Ada petunjuk Bahasa Polandia, Inggris, dan Jerman.

Saya mengikuti petunjuk Bahasa Inggris. Saya coba lihat layarnya, ada pesan Bahasa Polandia yang tidak saya paham. Saya coba sentuh layar itu. Tidak bisa. Ternyata itu bukan layar sentuh. Saya mencoba memasukkan koin Zlotych, juga gagal. Makin bingung saya.

Seorang ibu, kemudian datang mau beli tiket otomatis. Saya mencoba mengamati apa yang akan dilakukan ibu itu, tetapi dia hanya menggelengkan kepala. Saya tidak mengerti apa maksudnya. Saya pun enggan bertanya. Untung ada seorang lelaki pakai celana pendek bersepatu olahraga sambil tenteng plasti melintas. Saya coba meminta bantuannya. Dia mula-mnula bertanya kepada saya mau beli tiket apa. Sekali jalan, satu hari, tiga hari, atau satu minggu. Saya bilang, tiket sekali jalan saja. Dia pun melihat layar mesin itu. Astaga, ternyata pesan Bahasa Polandia tadi berarti out of order alias rusak.

Di belakang mesin itu, berjarak empat sampai lima meter, ada sebuah kios majalah dan koran yang semuanya berbahasa Polandia. Tidak ada satupun yang berbahasa Inggris. Di pojok kiri atas pintu masuk, saya lihat ada kata tiket dengan gambar dan logo seperi di mesin tiket otomatis tadi. Saya pun berani masuk dan tanya tiket bis. Ternyata benar. Ibu tua itu menjual tiket. Saya lalu beli tiket untuk satu hari yang bisa dipakai selama 24 jam seharga 12 zlotych.

Berbekal tiket itu saya dengan PD alias percaya diri naik bis ke Fan Zone dan tiba dengan selamat tanpa acara tersesat. Tiket yang hanya secuil, seukurun jari telunjuk itu, saya pegang. Saya nggak ngeh, ternyata di bis itu ada mesin verifikasi karcis. Selama pergi dan pulang ke hotel, saya perhatikan penumpang lain. Beberapa di antara mereka memasukkan karcis seperti yang saya pegang ke dalam mesin itu. Kemudian baru saya sadar bahwa karcis saya belum diverifikasi.

Keesokan harinya, tiket itu pasti tidak bisa dipakai lagi karena hanya berlaku 24 jam. Saya lalu membeli yang baru. Setelah beli tiket di tempat yang sama, saya dengan yakin masuk ke dalam bis, memasukan tiket ke dalam mesin verifikasi dan duduk manis. Jadilah saya seperti orang yang sudah lama di Warsawa. Saya pun tiba di kawasan Kota Tua dengan aman dan selamat.

Dalam hati saya bergumam, betapa malunya saya kalau tiba-tiba diperiksa dan saya bisa ditangkap karena tidak memverifikasi tiket. Untunglah hal itu tidak terjadi. Paling kalau ditangkap, saya akan bilang, maklumm Pak di Jakarta hal-hal seperti ini belum ada.

Ah, alangkah indahnya kalau Jakarta punya layanan bis seperti ini. Memang Jakarta sudah punya Trans Jakarta yang mirip dengan bis di Warsawa ini. Tetapi pelayanannya jauh berbeda. Bis di Warsawa ini tidak pernah numpuk penumpang dan tidak pernah macet karena jumlahnya banyak. Datangnya pun tepat waktu. (Alex Madji)

Keterangan Foto: Bis gandeng di Warsawa seperti Trans Jakarta, tetapi yang di Warsawa jauh lebih nyaman daripada Trans Jakarta. (Foto: Alex Madji)

Kamis, 21 Juni 2012

Ke Warsawa


Akhirnya, Saya tiba juga di Warsawa, tempat Piala Eropa digelar, setelah menempuh perjalan panjang Jakarta-Kuala Lumpur-Amsterdam-Warsawa. Meski terlambat, paling tidak bisa mengalami euforia masyarakat Polandia dalam penyelenggaraan pesta sepakbola empat tahunan di Benua Biru ini.

Saya berangkat dari Jakarta menggunakan KLM dengan nomor penerbangan KL810 pada Selasa, 19 Juni 2012 pukul 18.50 WIB. Hingga Kuala Lumpur, sebagian besar penumpang pesawat adalah warga Malaysia yang baru pulang belanja dari Jakarta. Seorang ibu muda berbadan subur mengaku baru saja menghabiskan uang di Indonesia dengan berbelanja di Jakarta dan Bandung. Bahkan dia setiap enam bulan sekali datang ke Indonesia untuk berbelanja. Bagi dia, wisawata belanja Indonesia sangat menarik.

Di Ruang Tunggu D2, dialek melayu begitu akrab. Di depan dan belakang saya, semua berbicara logat melayu. Nyaris tidak ada dialek Indonesia. Ah, mungkin karena saya sedang berada di ruang tunggu keberangkatan internasional. Jadi wajar. Tetapi kok yang dominan, orang-orang Malaysie ya??

Perjalanan ke Kuala Lumpur malam itu aman-aman saja, hingga mendarat dengan mulus di Kuala Lumpur. Di sana, transit satu jam, sebelum melanjutkan perjalanan panjang ke Amsterdam. Selama perjalanan, pesawat terus bergoyang karena cuaca buruk. Puji Tuhan, akhirnya berhasil mendarat di Bandara Internasional Schipol, Amsterdam pada pukul 05.30 pagi, Rabu, 20 Juni 2012.

Di sini saya harus menunggu beberapa jam, sebelum melanjutkan perjalan ke Warsawa pada pukul 09.50. Keluar dari pesawat, saya mampir sebentar di toilet. Selepas itu, saya mampir di self service transfer untuk mengetahui saya harus masuk gate berapa. Sebab dalam boarding pass yang didapat di Jakarta, tidak tertera gate. Hanya ada nomor kursi 15 F dalam penerbangan ke Warsawa.

Di sinilah saya bingung. Saya coba memilih Bahasa Inggris dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh mesin. Tetapi gagal. Bingunglah saya. Untunglah di samping saya ada seorang Indonesia yang hendak ke Peru. Dia juga melakukan self service transfer. Bedanya, dia sukses. Sementara saya menalami kebingungnan. Saya minta bantuan dia untuk proses transfer pesawat. Dan berhasil. Saya mendapat petunjuk, harus tunggu di Gate C-14. Perjalanan ke sana cukup panjang. Nyaris mengitari satu terminal Schipol itu sendiri. Meski bingung, paling tidak ini pengalaman. Sebab di Indonesia, belum ada hal seperti ini.

Sesampai di pemeriksaan sebelum masuk ruang tunggu C-14, saya lagi-lagi tidak menemui kesulitan. Kecuali ada cerita lucu ini. Setelah selesai mengemas barang yang dibuka saat melewati pintu pemeriksaan imigrasi, seorang petugas berseragam imigrasi Belanda bertanya. "Dari mana?" "Dari Indonesia," jawab saya. "Bawa rokok," tanya dia lebih lanjut. "Tidak. Dan saya tidak merokok," timpal saya. "Wonderfull," ujar dia lagi, sambil saya berlalu.

Saya tidak mengerti apa maksud si londo itu. Mungkin karena Indonesia terkenal sebagai negara penghasil rokok atau mungkin karena orang Indonesia tidak kenal aturan saat merokok alias merokok di sembarang tempat, meski sudah ada Perda larangan merokok seperti di Jakarta. Setelah lolos dari situ, saya menunggu datangnya jam 09.20, saat boarding tiba. Waktu terasa lama. Sempat tidur sebentar sambil menunggu, akhirnya gerbang pertanda boarding mulai dibuka.

Tepat pukul 09.50 KLM 1363 ke Warsawa take off. Penerbangan ke negara Beato Yohanes Paulus II itu hanya 1 jam 30 menit. Sesaat sebelum mendarat di Bandara F Chopin, pesawat terguncang karena cuaca buruk. Kabut. Untunglah, akhirnya bisa mendarat dengan selamat. Di sini, tidak ada lagi pemeriksaan pasport. Keluar Bandara begitu saja.

Begitu sampai di Warsawa, maka mulailah petualangan di negara bekas komunis ini meliput perempat final dan semifinal Piala Eropa 2012 yang persiapannya sangat akrobatik dan penuh tidak kejelasan. (Alex Madji)

Keterangan Foto: Saya bersama Carlos Brum (kedua dari kiri), pendukung fanatik Portugal, Yolanda (kedua dari kanan) Gadis Warsawa, dan Jorge Franco (duduk) juga pendukung Portugal. (Foto: Alex Madji)

Senin, 04 Juni 2012

Kemana Toleransi Itu?


Seorang teman tiba-tiba mengirim Blackberry Messanger alias BBM kepada saya. Dulunya teman ini adalah seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) selama bertahun-tahun dan membela mereka yang tertindas dari kelompok manapun. Kemudian dia mengubah haluan menjadi seorang aktivis sebuah gerakan yang menghalalkan penggunaan kekerasan dan intoleran.

Isi BBM-nya adalah pernyataan seorang kiai yang selama ini terkenal pluralis dan acap mengecam tindakan kelompok si teman tadi. Sang Kiai, menurut teman itu, mengeritik dunia barat yang menilai Indonesia tidak toleran. Kalau penilaian itu berdasarkan kasus Gereja Yasmin, kata teman tadi mengutip Sang Kiai, penilaian dunia barat itu keliru karena para pihak dalam konflik Gereja Yasmin tidak ingin masalah itu selesai. Ada yang ambil keuntungan dari konflik tersebut. Kalau karena masalah Ahmadiyah, lanjutnya, masalah ini akan selesai kalau Ahmadiyah menjadi agama tersendiri dan tidak mengaku-ngaku sebagai Islam. Dengan kata lain, tidak benar bahwa Indonesia tidak toleran.

Pada hari berikutnya, seoang kawan di sebuah grup milis meneruskan sebuah pesan dari suatu grup Facebook. Isinya mengajak umat Katolik berdoa bagi gereja-gereja Katolik yang disegel di Nanggroe Aceh Darusalam dan yang dipaksa dibongkar dengan alasan tanpa ijin mendirikan bangunan atau IMB di Sumatera Barat.

Sekedar menambah daftar yang dikirm teman ini, masih banyak gereja Kristen yang terpaksa ditutup karena sikap intoleran kelompok si teman yang pertama tadi, seperti Gereja Ciketing Bekasi. Belum lagi, begitu banyak gereja yang proses pendiriannya dipersulit. Pengurusan IMB berlangsung bertahun-tahun dan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Bahkan ada gereja yang sudah kantongi IMB dan di tengah jalan pembangunan tiba-tiba dikatakan bangunan itu salah tempat dan tidak ber-IMB.

Sikap intoleran ini juga ditunjukkan terhadap kelompok Ahmadiyah. Kelompok ini dikejar-kejar, bahkan ada yang terbunuh. Rumah-rumah mereka dihancurkan dan tempat ibadah mereka dirusak.

Dengan sederet fakta seperti ini maka pernyataan Sang Kiai tadi patut dipertanyakan. Pasalnya, Kiai ini terkenal membela kelompok minoritas. Bila dia tiba-tiba berubah maka patut dipertanyakan kebenaran isi pernyataannya.

Atau jangan-jangan, kutipan pernyataan Sang Kiai tadi hanya karangan si teman tadi untuk membenarkan tindakan kelompoknya. Padahal faktanya ya memang tidak ada toleransi di negara ini. Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan beragama tercabik-cabik. Ironisnya, negara tidak berdaya di hadapan para pelaku intoleran itu. Bahkan seringkali kalah dari kelompok ini.

Sungguh menyedihkan hal ini terjadi di negara yang berfalsafah Pancasila. Lalu kemana toleransi yang dikatakan Sang Kiai seperti dikutip si teman tadi? Ah, mungkin sudah ke laut kali. (Alex Madji)