Senin, 26 Juli 2010

Perlu Juga Orang Bodok (4)

Kamis, 8 Juli 2010. Pagi itu saya bangun terlambat, pukul 07.30. Rumah sudah mulai kosong. Guru Mikel (kakak kandung Joni dan sepupu saya) yang tiba Rabu (7/7) malam di Wela sudah ke rumah gendang (rumah asli kami). Yang lain pun begitu. Ibu-ibu di dapur yang tadi malam berjubel juga semua sudah pindah ke sana. Setelah kumur, saya, Joni, Egi, Ino dan Bapa Lipus sarapan. Pagi ini menunya masih B2. Setelah itu saya dan Joni kembali ke rumah di Balang Lesa untuk melepas sarung dan pakai pakaian kerja. Sampai di sana juga masih disiapkan sarapan sama Levi, Sofi dan Ende. Kami pun makan lagi. Pokoknya makan terus.

Setelah itu baru kami ke kuburan melihat pemasangan batu nisan Ende Min. Yang kerjakan itu ipar kami, Titus (Emad Veni) yang menikah dengan sepupu kami Lina. Di situ ada Bapa Lipus, Egi, Vinsen Andi dan beberapa ponakan. Mereka bantu dan siap disuruh-suruh untuk membantu Titus. Sedangkan Ino dan Robert di rumah gendang.

Merasa di situ kami tidak kerja selain menonton, saya dan Joni lalu ikut ke rumah gendang. Sejumlah tamu seperti anak rona dari Wontong (keluarganya Ende Lena) sudah datang. Polus dan Bapa Lipus diminta untuk reis (menyapa dan menyambut mereka secara adat). Kami pun ikut-ikutan.

Ketika hari agak siang, truck milik Marten (Bapad Jois) yang memuat tiga ekor babi muncul di halaman rumah gendang dan membongkar muatannya di sana. Tak lama berselang, Polus dan Bapa Lipus yang biasa saya panggil Ema Tua, menyuruh Kalis, Fedis, dan Agus bunuh satu dari tiga ekor babi itu sebagai makanan tamu-tamu yang datang pada hari itu untuk acara kenduri Ende Min dan Bapa Stanis besok hari.

Tanpa menunggu terlalu lama, mereka langsung mengeksekusi. Caranya tidak seperti biasa dan ngeri. Kalis memukul kepala babi itu hingga tewas baru disembelih dengan parang. Saya sendiri tidak berani melihatnya dan lebih memilih mengurung diri di dalam rumah ketika di samping rumah gendang mereka membunuh babi itu. Baru setelah babi itu tewas, saya keluar dan membantu saudara-saudara saya ikut mengurusnya. Yang kerja paling keras ketika itu adalah Agus Abu, Fedis Bagus, Kalis Jeramat, David Siman dan anaknya Beni, Tarsi Mbuak, dan Nandus kakaknya. Saya, Joni dan Mikel juga ada di situ. Tapi praktis kami hanya membantu kerja mereka.

Babi itu kemudian dibakar menggunakan kayu bakar. Sebenarnya ada cara lain, yaitu dengan merebus air telebih dahulu sampai mendidih lalu disiram di atas babi itu untuk kemudian dibersihkan dengan parang. Tujuannya agar bulu-bulunya bisa terlepas. Tetapi cara itu tidak dipilih. Yang dipilih adalah cara membakar. Saya, Mikel dan Joni ikut memegang dan membolak balik babi naas itu.

Setelah bulunya habis, babi itu kemudian dicuci. Anak-anak kecil seperti Angelus Barung (anak teman kelas SD saya Stanis Bandur) dan Nong (anaknya sepupu saya Fedis Bagus) disuruh timba air. Setelah bersih, babi itu baru dibelah, dicincang, dan dipotong-potong menjadi daging. Keempat pahanya dipisah dari kepala, isi perut, tulang rusuk dan punggung.

Persoalan kemudian muncul karena tidak ada anak-anak yang bisa disuruh untuk membersihkan perut babi itu. Satu-satunya pemuda yang bisa disuruh di situ adalah Risan (anak sepepupu saya Vitalis Talis). Karena tidak ada anak kecil, maka saya dan Risan pun pergi membersihkan jeroan babi itu tambak ikan Bapa Lipus. Sesampai di kuburan, Leli Nimat melihat saya tengah memikul jeroan babi itu bersama Risan. Lalu dia menyuruh anak-anak muda yang ternyata menonton pemasangan batu nisan Ende Min. Di situ ada adik bungsu saya Rino. Dia pun berlari untuk mengambil alih tugas saya itu. Tetapi saya terlanjur marah dengan mereka yang tidak menampakkan batang hidungnya di rumah gendang. Begitu dia mendekat saya tempeleng. Kemudian, dia bersama Risan membawa jeroan babi itu. Saya tetap ikut, juga Bapa Lipus. Yang bersihkan itu kemudian Bapa Lipus, Risan, Rino, Saya, Relis, dan Jois (anak sulung Marten dan Leli).

Setelah selesai, kami kembali ke rumah gendang dan makan siang di sana. Kali ini menunya ikan asin dan sayur daun singkong. Setelah makan siang, saya dan Joni kembali ke Balang Lesa untuk mandi dan istirahat sebentar. Jam 17.00, kami kembali ke kuburan, menerobos hujan dengan mantel karena ada jadwal pemberkatan kuburan. Tetapi acara itu batal karena hujan dan ditunda besok pagi (9/7). Kami bertemu mereka yang dari kuburan di “Wela Pusat” perempatan ke kampung asli dan Wejang Buang.

Di situ beberapa saat sebelumnya, baru saja datang saudara-saudari kami Guru Nelis dan anaknya Prisno, Bapa-mama Rista, Ritno, dan Gio. Mereka basah kuyup karena menerobos hujan. Kami pun lalu sama-sama ke rumah Bapak Lipus. Di sana kami bersenda gurau dan bercanda. Tak lama berselang, Yuti dan suaminya Ardi datang. Tapi mereka tidak basah karena pas mereka lewat hujan berhenti. Setelah itu, saya ke rumah untuk mandi. Malam harinya kami sama-sama ke rumah gendang untuk memulai acara kenduri Ende Min dan Bapak Stanis. Malam itu anak rona dan woe semua berkumpul. Saudari-saudari kami bersama suami mereka dan ponakan-ponakan kami juga bersama suaminya.

Setelah makan malam, mereka semua menuju rumah-rumah yang sudah ditetapkan sebagai “kemah” mereka. Saya, Joni, dan Ustin yang tiba malam itu dari Denpasar kembali ke Balang Lesa jam 10 malam karena masih ngobrol dengan saudara-saudara di situ, makan babi panggang dan minum bir traktiran Robert. Sementara Joni makan sirih pinang, kebiasaan ibu-ibu dan bapak-bapak tua di kampung. Sedangkan Ino, Robert, dan Mikel tidur di situ. Amang/kesa/kakek Kala Kembus yang datang dalam keadaan mabuk tidur di situ sambil ngoceh. Malam itu saya tidur cukup nyenyak. (Bersambung)

Jumat, 23 Juli 2010

Meratap di Atas Pusara (3)



Akhirnya kami tiba juga di Wela. Di tengah rintik hujan, saya turun sebentar mengeluarkan koper dan tas untuk lebih dulu dibawa ke rumah. Adik-adik saya Yos, Rino, dan Sofi menjemput. Saya juga ikut berjalan dengan hati-hati ke rumah karena jalan becek dan licin. Setelah berpelukan dan mencium Ende dan Polus (bapak saya bernama Paulus Jalu, tetapi sejak kecil kami panggil dia Polus hingga sekarang), Sofi, Levi dan suaminya Sil serta anak mereka yang sangat cantik Gratia, saya melanjutkan perjalanan ke kuburan.

Di perempatan Wela, Bapak Lipus sudah menunggu. Mengenakan celana pendek dan payung. Begitu kami turun dari mobil, saya berpelukan dengannya di bawah rintik hujan. Dia meneteskan air mata. Saya pun demikian. Bedanya suara tidak keluar. Peristiwa itu berlangsung sebentar. Kami lalu ke kuburan Ende Min yang sangat indah dan mewah terbuat dari batu granit. Di situ baru saya menangis meraung-raung mengenang dan mengingat senyuman, tawa, dan sambutan hangat Ende Min. Tapi apa mau dikata dia sudah dimakamkan di situ.

Yah, ketika Ende Min meninggal saya tidak bisa datang karena sedang berada di India. Khabar kematiannya pun bagaikan petir menyambar di pagi buta. Istri saya, Susi kirim pesan singkat mengabarkan berita duka itu sejak 31 Januari tengah malam. Tetapi saya tidak mendengarnya karena sudah terlanjur terlelap dalam suhu dingin di Bodhgaya, negara bagian Bihar, India. Saya baru mengetahuinya pagi-pagi buta ketika saya ditelepon Susi memberitahu berita duka ini.

Ketika itu saya baru saja selesai sarapan. Begitu mendengar khabar itu, saya langsung histeris di luar hotel kelas melati. Pemandu kami bertanya apa yang terjadi. Saya memberitahukan bahwa orang yang saya cintai meninggal dunia. Ino sebenarnya sudah kirim pesan ke email, tetapi saya tidak bisa buka email di pedalaman India itu.

Saya memang sangat menyesal tidak bisa memberi penghormatan terakhir kepadanya. Terakhir saya melihat wajahnya ketika pulang kampung Juli 2009 saat adik bungsu bapak saya, Stanislaus Nami meninggal. Ketika itu saya pamit dengan dia. Saya memeluk dan menciumnya erat. Dia menangis, seperti biasa dia lakukan setiap kali kami meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat jauh. Di tengah sesenggukan dia berujar, “mungkin ini yang terakhir kamu berjumpa dengan saya.” Waktu itu saya tidak terlalu menganggap serius kalimat itu karena hampir tiap tahun dia mengucapkannya. Tetapi kali ini rupanya benar.

Saya menangis sejadi-jadinya di atas pusaranya, persis seperti ketika hari penguburannya di situ. Ketika dia dikuburkan, saya sedang berada di Varanasi, India, baru tiba dari Bodhgaya setelah menempuh perjalanan dengan kereta khusus, Paranirvana semalam suntuk. Waktu itu, saya menangis sejadi-jadinya di kamar hotel.

Kali ini Robert, Ino, Joni, Leli, dan Bapa Lipus juga menangis. Hanya Polus dan Egi yang tidak menangis dan beberapa saudara lain yang bersama kami berdoa di situ. Tetapi kesedihan tampak juga dalam wajah mereka. Setelah berdoa, Bapa Lipus pimpin doa. Selama berdoa, Robert dan Ino terus menangis. Usai berdoa di situ, saya dan Joni pindah ke kuburan Bapak Stanis di sebelahnya yang juga bagus terbuat dari keramik warna merah dengan salib panjang di atasnya serta batu nisan bergambar Tuhan Yesus. Yang kurang hanya tidak ada nama “Stanislaus Nami”. Saya dan Joni menangis dengan suara keras di sana.

Setelah berdoa kami ke rumah Bapak Lipus. Sampai di sana sudah banyak saudara yang menunggu. Ended Beni (Rancis) juga menangis keras. Lagi-lagi mengenang Ende Min. Tidak ada yang menyapa dan menyambut kami begitu tiba di rumah. Senyum khas Ende Min sudah tiada. Pelukan hangatnya hanya tinggal kenangan. Ah, jadi meneteskan air mata lagi pas bikin tulisan ini.

Setelah bersalam-salaman dengan sanak saudara yang sudah ramai di situ, kami lagi-lagi menikmati kopi panas dan serabe buatan saudari-saudari kami di dapur. Enak dan sedap. Apalagi dinikmati dalam cuaca dingin. Setelah itu saya dan Joni ke rumah sebentar hanya untuk mandi karena seharian belum mandi, ambil jaket dan sarung. Selimutan memang lebih enak. Ternyata di rumah, Levi dan Sofi sudah siapkan makan malam. Kali ini menunya ayam kampung. Wah enak tenan. Setelah makan, kami lalu kembali ke rumah Bapak Lipus untuk makan malam bersama dan membicarakan persiapan kenduri (kelas) Ende Min dan Bapak Stanis yang dimulai tanggal 8 Juli dengan puncak pada 9 Juli. Menu makan malam di rumah Bapak Lipus itu adalah B2. Setelah makan malam, kami tidur di situ dan bangun kembali pukul 02.30 untuk menyaksikan semifinal kedua Piala Dunia 2010 antara Jerman dan Spanyol yang dimenangkan Spanyol 1-0 dengan gol tunggal bek Barcelona Charles Puyol melalui tandukan kerasnya. (Bersambung)

Kamis, 22 Juli 2010

Meliuk-Liuk di Lereng Gunung (2)

Ke Cancar kami pakai dua mobil. Yang satu travel dan satu lagi mobil milik Bapa Koe Bapad Berty. Saya, Egi, Joni, Robert dan Kaka Memi naik travel. Sedangkan Ino naik di Toyota Avanza. Dari rumah makan Gardena kami berjalan beriringan melewati jalan utama Labuan Bajo di pinggir pantai yang bagai kubangan. Lubang-lubang besar dan penuh genangan air. Becek. Padahal jalan itu ada di depan mata bupati (waktu itu masih Fidelis Pranda yang maju dalam pemilu kada sebagai incumbent, tetapi kalah dari wakilnya Agustinus Dula). Tetapi dia acuh dan membiarkannya. Mungkin karena dia terlalu sibuk menyiapkan pemilu kada. Padahal itu jalan utama. Bule manca negara lalu lalang di sana. Kawasan itu tak ubahnya dengan Kuta Bali.

Meski sudah makan kenyang dan kurang tidur, saya tidak segera ngantuk. Keluar dari Labuan Bajo saya menyaksikan bukit-bukit yang hijau, sebuah pemandangan yang tak lazim kalau pulang libur pada musim panas. Biasanya, bukit-bukit Labuan Bajo pada musim panas, gosong. Tetapi kali ini berbeda. Hijau. Penyebabnya, saban hari Labuan Bajo dan Manggarai pada umumnya masih diguyur hujan seperti pada musim hujan. Mungkin inilah yang disebut perubahan iklim. Musim panas diganti musim hujan. Takutnya nanti pas musim hujan justru kering. Kalau ini terjadi, kasihan bapak saya, petani sederhana yang miliki sawah tadahan di Terang dan hanya mengandalkan air hujan. Jalanan yang mendaki dan berputar-putar turut mengusir rasa kantuk.

Saya baru tertidur selepas Bambor dan baru tersadar lagi di Pela Lembor. Saya tidak menyaksikan keindahan Lengkong Wol bekas proyek ubi kayu aldira dari Bupati Fidelis Pranda yang gagal total. Saya juga tidak menikmati indahnya hamparan sawah Lembor yang begitu luas. Saya baru bangun ketika travel kami berhenti di depan rumah seorang sahabat lama di Jakarta, Hubertus Mega Tanji, yang kini bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di BKKBN di Kecamatan Lembor. Kami panggil dia dari luar rumahnya yang terletak persis di pinggir jalan. Dia keluar. Kami diajak masuk sekeder menikmati kopi hangat, tetapi karena kami terburu-buru, akhirnya kami hanya bercakap-cakap sebentar di pinggir jalan. Kebetulan juga dia seorang diri. Istri dan anaknya sedang ke Ruteng mengunjungi adiknya yang baru saja melahirkan.

Setelah melepas kangen sebentar kami melanjutkan perjalanan. Saya tidak bisa tidur lagi sepanjang jalan sampai di Cancar. Saya kembali menikmati pemandangan alam yang indah dan menghirup udara bersih yang bebas dari polusi seperti udara di Jakarta. Udara dingin mulai terasa setelah melewati Pa’ang Lembor. Kabut mulai menyapa. Jalanan juga basah pertanda baru saja turun hujan di wilayah itu. Kami kembali menikmati jalan berliuk-liuk menyusuri lereng gunung turun ke Cancar.

Sebelum masuk perempatan Ketang, ada empat orang ibu penjual jeruk duduk di dalam gubuknya. Begitu mobil kami melambat mereka berdiri dan menghampiri. Sopir lalu menginjak rem persis di gubuk paling ujung. Seorang ibu muda sambil berlari ringan berujar, “Eh nara daku” (Ah, saudara saya). Kami menduga itu hanya trik pedagang biar dagangannya laku. Egi pun menyahut asal, “Eng e inang (iya tante).” Lalu disambung, “ai nia maig leng ami (memang kami dari mana).” Ibu itu menyahut, “sili mai Wela (dari Wela).” Kami sontak kaget. Ternyata sapaannya tadi bukan trik, tetapi sungguhan. Lebih kaget lagi ketika dia menyebut nama Egi dengan panggilan masa kecilnya, “Gius.” Ah, kami baru tahu ternyata itu Mel Banut, kakak kelas saya satu tahun di SD Inpres Golowelu I dulu. Dia kawin dengan seorang pemuda dari Lentang dekat Ketang yang datang ke situ dengan ojek menjual jeruk di pinggir jalan.

Karena merasa sekampung, kami membeli jeruknya dua bakul kecil, entah isinya berapa, dengan harga Rp 50 ribu. Tiga ibu lainnya berdiri bengong menyaksikan kejadian itu. “Ta Pak agu dami koe ye (Pak beli juga punya kami dong),” pinta mereka. Egi lalu menyahut, “Di rumah kami di Wela juga ada jeruk. Ini kami beli karena kami satu kampung.” Ketiga ibu itu memahaminya.

Dalam perjalanan ke Cancar yang tinggal 30 menit lagi, kami menikmatinya sambil makan jeruk. Jeruknya manis dan dingin seperti baru daimbil dari kulkas. Terasa makin dingin karena udara di luar pun dingin yang masuk lewat kaca mobil yang dibuka lebar. Tepat pukul 15.00 kami tiba di rumah saudari kami Leli Nimat (Mamad Jois) di Popor Cancar. Kami disambut tangis mengenang Ende Min yang meninggal 1 Februari 2010 lalu. Saya pun jatuh dalam tangisan. Ino langsung masuk kamar dan meraung-raung di kamar. Begitupun Robert. Joni juga meneteskan air mata. Hanya Egi dan Bapad Josi (Marten Deus, suaminya Leli) yang tegar. Seusai menangis, kami berpelukan erat.

Setelah kuat semuanya, Leli suguhi kami kopi panas dan kue disusul makan siang. Dia sudah menyiapkan menu opor bebek, sup bebek campur labu yang masih panas, dan sayur kering. Enak dan lezat. Sementara itu di luar hujan mengguyur deras bikin tambah dingin. Setelah lelah dalam perjalanan kami makan dengan lahap. Semua tambah.

Makan usai. Kami bersiap terus ke Wela. Agak terburu-buru karena sopir travel, katanya, akan menjemput penumpang di Ruteng dan kembali ke Labuan Bajo. Perjalanan ke Wela dilanjutkan. Kali ini Ino bergabung dengan kami karena Toyota Avanza Bapad Berty terus ke Ruteng. Leli juga bergabung dengan kami. Sementara Marten menggunakan motor. Hujan terus mengguyur. Kami menerobos hujan dan kabut sejak dari Cancar hingga Wela. Perjalanan Cancar-Wela hanya 15-20 menit. Singkat sekali dan menanjak melewati jalan sempit. Puar Lewe yang gundul sejak tahun 2000 tampak hijau, karena pohon sensus dan tumbuhan lainnya tumbuh subur di musim kering yang masih turun hujan ini, meski hutan lebat tahun 1990-an telah hilang. Kondisi pinggir jalan di Wae Usang dan Wae Siar nyaris kembali ke kondisi seperti tahun 1990-an. Sensus dan Sera tumbuh subur minus pohon-pohon alam yang hilang dan berharap kembali, entah kapan. (Bersambung)

Selasa, 20 Juli 2010

Perjalanan Ke Sebuah Kampung (1)

Tanggal 7-12 Juli 2010 saya berlibur ke Wela, sebuah kampung lereng gunung di Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur (NTT). Kampung yang pada sore hari selalu diselimuti kabut dan bersuhu dingin itu berbatasan langsung dengan Golowelu, ibu kota Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat.

Saya berangkat dari Jakarta hari Selasa (6/7) pukul 20.30 WIB dengan pesawat Air Asia dari terminal tiga Bandara Internasional Soekarno Hatta bersama Egi, Ino dan Kaka Memi. Mendarat di Bandara I Gusti Nurah Rai pukul 23.00 Witeng. Sedangkan Joni yang juga pakai Air Asia dengan nomor penerbangan berbeda mendarat di Ngurah Rai 30 menit berselang. Sementara Robert yang menggunakan Batavia Air sudah tiba satu jam lebih dulu di Ngurah Rai. Dia dengan Onsi yang beberapa tahun terakhir menetap di Bali menunggu kami di Solaria dalam kompleks bandara itu.

Onsi, saudara bungsu Joni dan sepupu kandung saya sudah mencari hotel buat kami di wilayah Popies II kawasan Kuta Bali. Tadinya, muncul ide untuk melewati malam itu dengan nonton bareng semi final pertama Piala Dunia antara Belanda dan Uruguay di kafe pinggir jalan ke Kuta karena besok pagi-pagi jam 07.00 harus melanjutkan penerbangan ke Labuan Bajo. Tetapi niat itu urung, karena Onsi ternyata sudah bayar dua kamar hotel. Terpaksa kami lewatkan malam itu dengan nonton bareng di kamar hotel yang cukup luas tetapi dengan televisi buram. Gambarnya tidak terlalu terang.

Malam itu total tidak tidur. Begitu sampai hotel, kami istirahat sebentar sambil menunggu Ustin yang juga baru tiba di Bali dengan bis dari Jakarta. Dia dijemput Onsi. Setelah mereka datang, kami lalu mencari makan malam di bibir Pantai Kuta sekedar menghabiskan waktu menjelang semifinal Piala Dunia 2010. Kami makan di Mc’Donald di ujung gang Popies II, Kuta. Robert, Ustin, Onsi, dan Joni makan, sedangkan saya hanya makan es krim dan Memi tidak makan sama sekali. Sambil makan kami menikmati bule-bule perempuan yang mengenakan pakaian seadanya. Empat orang perempuan bule yang masih muda-muda dan duduk di samping meja kami tertawa geli karena Onsi makan Mc’Donald (ayam goreng dan nasi) plus sup. Bagi mereka itu tidak biasa.

Setelah makan kami kembali ke hotel, bercakap sambil menunggu jarum jam menunjuk pukul 02.30 WIB. Joni, Ino, Ustin, Onsi tertidur. Yang lihat bola hanya saya, Egi, Robert, dan Ricard “Sapek” (ponakan kami dari kampuang yang bekerja di Bali). Setelah pertandingan Belanda-Uruguay yang berakhir dengan skor 3-2, jarum jam menunjukkan pukul 05.00. Kami tidak bisa tidur lagi. Apalagi jam enam sudah harus sampai di bandara. Kalau tidur, bisa-bisa ketinggalan pesawat. Egi, Ino, Robert, dan Kaka Memi masih sempat mandi. Saya dan Joni sengaja tidak mandi. Jam 05.30 kami cabut ke bandara dan langsung check in.

Saya masih sempat cuci muka di bandara biar agak segar. Tapi kantuk tak bisa ditahan. Begitu duduk di ruang tunggu, kami tertidur sampai pengumuman, “penumpang pesawat Indonesia Trans Nusa tujuan Labuan Bajo dipersilahkan naik ke pesawat melalui pintu nomor 18” disiarkan melalui pengeras suara. Dalam keadaan setengah sadar, saya berdiri dan angkat tas. Tidur kemudian dilanjutkan di pesawat. Perjalanan 55 menit dengan pesawat Aviastar bermesin jet ganda tidak terasa. Tiba-tiba terbangun karena dicolek pramugari supaya sandaran kursi ditegakkan menjelang mendarat di Bandara Komodo Labuan Bajo. Saking nyenyaknya, sampai-sampai “jatah” voucher nginap di Hotel Jayakarta (hotel bintang empat) Labuan Bajo diambil Robert. Tapi tidak apa-apalah, yang penting saya bisa tidur nyenyak.

Pesawat itu mendarat tepat pukul 08.00 di Labuan Bajo. Di parkiran bandara, travel yang sudah dihubungi dari Denpasar sudah siap. Mobil colt L 300 milik Pater Marsel Agot SVD juga ternyata siap menjemput kami di bandara. Tidak hanya itu. Toyota Avanza milik Bapa Koe Bapad Berti yang mengantar Om Mus ke Labuan Bajo juga siap membawa kami ke Wela. Ah, kami seperti tuan-tuan besar saja. Tetapi karena Soni, sopir travel yang dipesan Egi dari Denpasar, sudah menolak penumpang lain dan demi menjaga hubungan baik kami tolak mobil gratis Pater Marsel.

Mobil Pater Marsel hanya mengantar kami ke kantornya di Prundi diikuti travel Suzuki APV dan Toyota Avanza tadi. Sesampai di Prundi, Pater Marsel menyambut kami dengan gayanya yang khas penuh ramah dan senyum berlimpah plus pelukan hangat. Belum juga kami duduk, dia sudah langsung meminta staf perempuannya yang menjaga toko dan wartel di situ mengambil bir dan anggur orang tua. Kami sempat menolak karena kami belum sarapan, tetapi dia keukeh. Katanya, ini adalah bir dan anggur merayakan kekalahan Fidelis Pranda, calon incumbent dalam pemilihan kepala daerah (pemilu kada) Kabupaten Manggarai Barat.

Kami lalu ajak Pater Marsel sarapan di Gardena, sebuah tempat makan favorit di Labuan Bajo selain karena tempatnya yang lumayan bagus, tetapi juga karena pemandangan lautnya yang sungguh indah dan memesona. Dari situ hotel mewah Jayakarta yang masih sangat baru tampak di kejauhan. Sungguh indah. Kami masuk ke rumah makan itu tepat pukul 09.00 dan langsung pesan cap cay dan ikan kuah asam kesukaan Pater Marsel. Sayang sekali, tempat yang indah ternoda pelayanan yang lamban dari para pramuniaga hotel dan rumah makan itu. Pesanan kami baru datang dua jam kemudian, pukul 11.00. Padahal perut sudah keroncongan.

Saking tidak tahannya, Joni Datur atau yang biasa kami panggil Jontor, sepupu kami lainnya yang ke Labuan Bajo mengantar Om Mus sampai bertanya ke beberapa gadis pelayan hotel dan restoran itu, “Enu (nona) apakah kami harus tidur di sini?” Sambil menunggu makanan, Pater Marsel bercerita tentang serunya pemilu kada di Manggarai Barat. Tampak dia sangat puas dan antusias atas kekalahan Fidelis Pranda. Maklum sudah satu tahun lebih dia bersama sejumlah pastor dan aktivis lembaga swadaya masyarkat di wilayah itu menentang kebijakan pro tambang Fidelis Pranda. Empat orang bule dari Prancis dan Italia minta saya menjepret mereka berlatar hamparan laut Labuan Bajo yang bersih dan pulau-pulau kecil yang menyembul di tengah laut biru dan Hotel Jayakarta di kejauhan. Indah. Mereka berbicara Bahasa Inggris. Dengan Inggris patah-patah saya timpali mereka. Seorang bule pria dari Italia mengatakan, “Ha, your English is better.” No, my English is not so good,” ucap saya. Sementara sepasang bule lainnya duduk santi di seberang kami menghadap ke laut dan sembulan pulau-pulau kecil di depan mereka sambil menikmati kopi hitam.

Saya bilang ke mereka, kalau mau bicara Bahasa Italia, di sini (rombongan kami itu) ada orang yang sangat fasih berbicara Italia karena pernah tinggal lebih dari empat tahun di Italia yaitu Pater Marsel. Tetapi mereka hanya saling menyapa dan mengedipkan mata dari jauh. Pater Marsel pun mengaku Bahasa Italianya tinggal sisa-sisanya saja. Maklum sudah lama tidak dipakai. Setelah bosan bersenda gurau dan setelah berkali-kali ditanya, makanan pesanan kami akhirnya datang juga. Ikan kuah asam dan cap cay. Enak memang. Tetapi tunggunya itu yang tidak kuat. Kami melahap makanan itu sampai habis tanpa sisa. Pesan nasi tambah pun lamanya minta ampun, meskipun akhir datang.

Setelah selesai makan, Pater Marsel cepat-cepat menyambangi kasir dan membayar semua makanan yang diorder. Saya, Ino, Egi, dan Joni tidak enak hati. Karena seharusnya yang mentraktir dia adalah kami. Tetapi Pater Marsel membayar semuanya. Lagi-lagi kalimat yang meluncur dari mulutnya, “ini adalah perayaan kekalahan Fidelis Pranda”. Begitulah Pater Marsel, tulus dan jujur.

Lama kami duduk di Gardena, Tarsi Budaya, teman angkatan Egi di Seminari Kisol datang bergabung setelah ditelepon Egi. Tetapi dia tidak makan karena katanya sudah makan dari rumah. Selesai makan, kami berdiri hendak pulang, tiba-tiba Romo Sipri Hormat (bekas guru saya di Seminari Kisol) dan Romo Ardus Jehaut (kakak kelas di Kisol) datang. Mereka yang baru mendarat dari Bali hendak makan siang di tempat itu. Tetapi saya bilang, “Romo kalau sudah lapar sebaiknya cari tempat lain saja. Di sini sangat lama. Kami saja menunggu dua jam baru makanan datang.”

Entahlah mereka tetap makan di situ atau tidak. Kami tidak perhatikan lagi karena kami segera masuk travel yang menunggu di depan Gardena. Kami berpisah dengan Pater Marsel di situ. Kami ke Wela, dia kembali ke tempat kerjanya. (Bersambung/Alex Madji)

Senin, 19 Juli 2010

Gas Phobia

Ledakan gas tiga kilogram yang sudah merenggut puluhan jiwa menjadi salah satu isu dan berita utama pada dua bulan terakhir. Hingga tulisan ini dibuat, ledakan gas tiga kilogram yang merenggut korban jiwa itu masih terus terjadi. Pemberitaan yang begitu gencar membuat masyarakat takut. Mereka takut menggunakan gas. Mereka takut mati hanya karena kesalahan dan kecerobohan manusia/pemerintah pembuat gas tiga kilogram itu. Akhirnya, masyarakat tersandera rasa takutnya sendiri. Yang ada dalam pikiran mereka hanya, “ jangan-jangan nanti gas meledak”. Ketakutan itu bukan hanya menghinggapi satu dua orang, tetapi massal. Bukan hanya pada ibu-ibu rumah tangga masyarakat kelas bawah, tetapi juga anak-anak kuliahan dan sarjana yang tinggal di kos. Tidak ada istilah yang pas untuk melukiskan ketakutan massal masyarakat itu, selain gas phobia.

Saking takutnya, sejumlah rumah tangga kini kembali ke minyak tanah untuk mengepulkan asap di dapur. Padahal ini juga bukan masalah ringan. Sebab minyak tanah juga sulit didapat. Karena itu ada yang ekstrim, terutama untuk mereka yang tinggal di pinggiran kota metropolitan Jakarta, menggunaan kayu bakar. Bagi masyarakat di pedalaman Flores dan pelosok-pelosok lain negeri ini, menggunaan kayu bakar sudah lazim. Tiap hari mereka masak menggunakan kayu bakar. Karena itu mereka tidak peduli dengan berita tabung gas yang meledak saban hari di Jawa, terutama Jakarta.

Gas phobia juga menghinggapi sejumlah mahasiswa dan sarjana filsafat di sebuah rumah kos di Jalan Percetakan Negara, Gang Muhirin, No 25 Cempaka Putih Jakarta Pusat. Rumah kos itu terkenal dengan sebutan “Wisma 25”. Soal nama itu ada ceritanya sendiri. Tabung gas tiga kilogram di dapur kos itu sudah satu minggu kosong. Bukan karena tidak ada uang Rp 15.000 untuk isi ulang, tetapi itu tadi karena takut gas meledak. Untuk memasak terpaksa mereka mencoba mefungsikan kembali kompor gas yang sudah uzur dan sumbunya pun sudah pendek.

Tamu rutin di kos itu, seorang mahasiswa hukum dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Feus “Kupeng” Jebabun ditugaskan membeli sumbu baru. Tetapi sumbu yang dibeli pun ternyata bukan sumbu kompor minyak. Entah sumbu apa. Bukan hanya itu, mereka tidak juga mendapat minyak tanah. Maka hasrat menikmati ikan asin khas Manggarai Flores NTT yang terkenal dengan sebutan “Ikan Cara” (wanginya menyengat, asinnya dahsyat da enak di lidah) harus ditunda.

Jumat (16/7) lalu, saya bertandang lagi ke sana, setelah seminggu berlibur di Wela, sebuah kampung di pedalaman Manggarai, Flores NTT. Egi Patnistik (alumni kos itu) juga ke situ ambil Ikan Cara dan parang yang baru dibawa dari Kampung Wela. Ino Jemabut, salah satu penghuni kos itu minta Kupeng menggoreng Ikan Cara. “Tidak ada minyak,” jawab Kupeng. Lalu saya timpali, “Kenapa dengan gas kalian?” Fernando Nato, mahasiswa filsafat sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta menyahut, “takut gas meledak.” Hal itu dibenarkan Kupeng. Itu sebabnya mereka tidak juga membeli gas. Waktu itu ada juga penghuni kos lainnya seperti Frans Jelata, seorang guru komputer dan alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Ledalero Maumere Flores NTT, Leksi Armanjaya, staf ahli di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan master hukum dari UKI, dan Hironimus Rama, wartawan Harian Warta Kota yang juga alumnus STF Driyarkara Jakarta.

Atas usul saya, Nando dan Kupeng akhirnya pergi beli gas. Tidak sampai lima menit mereka pulang dengan gas tiga kilogram baru di tangan. Langsung dipasang, tetapi tidak berhasil. Lantas mereka mau pergi untuk menukarkannya. Tetapi saya cegat sebelum keluar pintu ruang tamu. Saya cek, tidak ada yang aneh dengan tabung gas itu. Karetnya ada. Lalu saya ambil alih. Saya bawa kembali ke dapur dan pasang gas itu dengan selang gas yang dibeli di super market, bukan pemberian gratis pemerintah. Dan bisa. Tidak ada yang luar biasa dan tidak ada yang aneh.

Jadi, begitulah kalau pekerjaan dilakukan dalam ketakutan pasti tidak menghasilkan apa pun. Meskipun kehati-hatian dan kewaspadaan tetap penting. Tetapi jangan menjadi takut, apalagi kalau berlebihan. Terlepas dari itu, fakta ini hanya contoh kecil betapa ketakutan pada gas tiga kilogram itu atau gas phobia itu tidak hanya menghinggapi ibu-ibu rumah tangga kelas bawah (gas tiga kilogram adalah program pemerintah untuk mengganti penggunaan minyak tanah bersubsidi yang kebanyakan dipakai rumah tangga sederhana), tetapi juga kelompok kelas menengah dan kelompok intelektual semacam komunitas Wisma 25 itu. [Alex Madji]

Sabtu, 03 Juli 2010

Bermimpi Mengikuti Jejak Der Kaisar (2)

Maradona mencoba mengikuti jejak legendaris sepakbola Jerman der Kaisar Franz Beckenbauer yang sukses sebagai pemain dan pelatih meraih juara Piala Dunia. Dan ini adalah peluang bagi Maradona untuk menjuarai Piala Dunia sebagai pelatih, setelah menjuarai Piala Dunia sebagai pemain pada 1986. Ketika itu mereka mengalahkan Jerman Barat di final dengan skor 3-2.
“Saya akan mengatakan kepada mereka (para pemain Argentina) untuk lakukan segala sesatu. Mereka harus mencurahkan seluruh hidup mereka di atas lapangan karena di belakang mereka, seluruh Argentina mendukungnya,” kata Maradona.
Menurut Maradona yang terkenal dengan gol tangan Tuhan pada Piala Dunia 1986 itu mengatakan, kehendak Tuhanlah yang akan membawa mereka mencapai final Piala Dunia 2010. “Akhirnya ini masalah Tuhan yang menghendaki kami sampai ke final. Saya tahu bahwa mencapai final dikehendaki Tuhan,” kata Maradona sebagaimana dikutip AFP. Dia menegaskannya kembali, “Kali ini kami tidak membutuhkan gol tangan Tuhan karena mencapai final adalah kehendak Tuhan.”

Statistik
Perempat final nanti, bukanlah pertemuan pertama Albiceleste dan der Panser. Data statiftik FIFA menunjukkan, dari 18 kali pertemuan, Argentina sudah menang 8 kali, Jerman 5 kali dan imbang lima kali. Di Piala Dunia sudah lima kali mereka saling berhadapan. Dari lima pertemuan itu, Jerman unggul dua kemenangan, sedangkan Argentina baru sekali menang, dan dua kali imbang. Sedangkan dalam 12 partai persahabatan, Argentina menang tujuh kali, termasuk menang 1-0 pada Maret 2010 di Jerman, dan Jerman baru menang tiga kali, sisanya imbang. Sementara di ajang Piala Konfederasi, keduanya baru bertemu satu kali dan hanya bermain imbang.
Sementara itu di pasar taruhan, Jerman sedikit unggul tipis atas Argentina. Rumah taruhan William Hill, misalnya, Argentina unggul 1-0 hanya 6:1, sedangkan Jerman unggul 1-0 mencapai 7:1. Imbang 0-0 mencapai 9:1. Begitupun Argentina unggul 2-0 hanya 10:1, sementara Jerman unggul 2-0 mencapai 14:1. Sementara Argentina unggul 2-1 mencapai 15:2 dan Jerman unggul 2-1 mencapai 9:1.
Dari sudut keikutsertaan di Piala Dunia, Jerman sudah 16 kali mengikuti putaran final Piala Dunia dengan tiga kali juara. Sementara Argentina 14 kali dengan dua kali menjadi juara.
Pada putaran final Piala Dunia 2010, Argentina sejauh ini memenangi semua pertandingan. Mereka menang 1-0 atas Nigeri di partai pembuka, 4-1 atas Korea Selatan, 2-0 atas Yunani, dan 3-1 atas Meksiko di 16 besar. Sementara Jerman menang telak 4-0 atas Australia, kalah 0-1 dari Serbia, menang 1-0 atas Ghana dan menang meyakinkan 4-1 atas Inggris di babak 16.
Nah, siapa yang memenangi pertempuran sesungguhnya di lapangan sangat tergantung dari taktik permainan yang diterapkan kedua pelatih dan kesiapan mental para pemain. [Alex Madji]

Menunggu Perang Sesungguhnya (1)

Partai hidup mati Sabtu (3/7) malam ini adalah Argentina versus Jerman. Partai yang akan berlangsung di Stadion Green Point Cape Town pukul 16.00 waktu setempat atau pukul 21.00 WIB ini sangat ditunggu-tunggu penggemar sepak bola sedunia karena sudah panas sebelum pertandingan. Terjadi perang urat saraf di antara kedua belah pihak.
Gelandang yang juga wakil kapten der Panser Bastian Schweinsteiger mengatakan, para pemain Argentina itu pintar memprovokasi. “Saya lihat perilaku para pemain Argentina di lapangan, bagaimana bahasa tubuh mereka dan bagaimana mereka mempengaruhi wasit,” kata gelandang Bayern Munich itu.
Dia mengungkit-ungkit lagi keributan antara para pemain Jerman dan Argentina pada perempat final Piala Dunia 2006 lalu. “Yang paling sangat saya ingat adalah peristiwa setelah pertandingan, keributan terjadi karena dipanas-panasi oleh para pemain Argentina,” ujar pemain yang ikut mengalahkan Argentina melalui adu penalti dengan skor 4-2 pada perempat final Piala Dunia 2006 itu.
Dia juga mengolok-olok penggemar tim Tango. “Anda bisa melihat pendukung Argentina berkumpul di dalam stadion tanpa mengantongi tiket. Itulah karakter dan mentalitas mereka. Kami bukanlah pemain yang berusaha untuk mencederai pemain lawan. Kami akan tetap tenang dan fokus pada pertandingan. Saya secara khusus berharap tidak ada provokasi dari pihak mereka. Dari pihak kami saya menjamin tidak ada satu orang pun akan melakukan provokasi,” ujarnya.
Tuduhan yang sama juga disampaikan kapten Philip Lahm dan manager tim Oliver Bierhoff. Menurut mereka, para pemain Argentina sangat temperamental dan provokatif. Meskipun menurut Bierhoff, berdasarkan pengalamannya bermain dengan banyak pemain Argentina, mereka sangat baik hati di luar lapangan.
Tetapi pelatih tim Tango, Diego Armando Maradona menanggapi tuduhan kubu Jerman itu enteng. Menurut dia, tuduhan itu menunjukkan kegugupan mereka menghadapi anak asuhnya di perempat final. Dia malah menyindir cara bermain Jerman seperti diperlihatkan penyerang belia mereka, Thomas Mueller. Maradona menyebutnya dengan boyball. “Pemuda ini cantik, cepat dan bermain dengan penuh kebebasan. Kalau kami harus lari maraton seperti dia, Jerman akan menang dan mereka harus berterima kasih kepada Mueller. Tetapi dalam sepak bola bukan masalah lari cepat. Dengan menguasai bola lebih banyak, kami akan lebih baik,” ucapnya.
Sedangkan, bek Martin Demichelis mengatakan, yang paling penting bukan perang urat saraf seperti dilakukan Jerman, tetapi permainan di lapangan. Sementara Carlos Tevez tidak terlalu ambil pusing dengan perang urat saraf yang dilancarkan Jerman. Dia lebih memilih konsentrasi pada persiapan partai perempat final ini.
Menyinggung laga perempat final Schweinsteiger mengatakan, mereka sudah mengetahui kelemahan Argentina dan akan memanfaatkan kelemahan itu untuk mengulang sukses 2006. “Bila kami bermain seperti ketika mengalahkan Inggris, kami bisa menang. Yang paling penting, kami tidak akan merasa terintimidasi dan tidak menanggapi provokasi mereka. Saya harap wasit bisa mengawasi pertandingan lebih dekat,” kata Schweisteiger.
Hal yang sama juga diakui pelatih Joachim Loew. Dia sudah menemukan kelemahan tim asuhan pelatih Diego Maradona itu. Kekuatan mereka, kata bekas asisten Juergens Klinsman itu bukan pada Lionel Messi, tetapi justru pada pemain-pemain lain. Pemain-pemain itulah yang harus diwaspadai.
Sementara gelandang Argentina yang bermain di Palermo Italia, Javier Pastore mengakui Jerman adalah tim tangguh, meskipun semua tim yang masuk perempat final adalah tim tangguh, termasuk Argentina. “Saya pikir Jerman memiliki gelandang-gelandang serang yang baik, mereka memiliki pemain-pemain sayap yang cepat. Karena itu kami harus konsentrasi pada set pieces yang menjadi kekuatan mereka. Bola-bola mati juga menjadi sangat penting dalam sepak bola dewasa ini karena itu diperlukan keterampilan untuk menghalau bola-bola atas,” jelas gelandang berusia 21 tahun itu.
Dia menambahkan, Jerman memiliki serangan balik mematikan seperti yang mereka perlihatkan saat menaklukkan Inggris. Tetapi Argentina memiliki taktik untuk meredam serangan balik Jerman tersebut. “Kami akan bermain sebagaimana kami harus bermain, menjaga penguasaan bola dan menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Kami selalu menciptakan peluang, inilah cara kami bermain, menguasai bola sebanyak mungkin sehingga kami bisa mendikte permainan,” paparnya.
Pemain terbaik dunia Lionel Messi bertekad untuk mencetak gol ke gawang der Panser. Dia mau menghibur para penggemar Inggris yang menangis atas kekalahan timnya dengan mengalahkan Jerman di perempat final. Lionel Messi dipastikan fit dan siap mengikuti perandingan tersebut setelah terserang flu dan tidak mengikuti sesi latihan pada Kamis lalu. “Saya ingin memberikan kebebasan sepenuhnya kepada Lionel (Messi) sehingga dia memiliki ruang yang begitu luas untuk bergerak. Pemain seperti Messi tidak bisa ditempatkan di kotak penalti. Bila anda melakukan itu, anda merampas kebebasan mereka. Anda harus membiarkan mereka bermain,” katanya lagi. [Alex Madji]

Kamis, 01 Juli 2010

Brasil Unggul Tipis (2)

Melihat perjalanan Brasil dan Belanda yang meyakinkan selama babak pertama Piala Dunia 2010, terlihat jelas bahwa keduanya sama-sama kuat. Tetapi siapa yang terbaik di antara mereka, termasuk yang akan memenangkan duel perempat final nanti, sulit ditebak. Data statistik menunjukkan bahwa Brasil unggul tipis atas Oranye Belanda. Dari sudut keikutsertaan di Piala Dunia saja, Belanda baru 8 kali mengikuti putaran final Piala Dunia dan belum sekalipun menjuarainya. Prestasi terbaik mereka hanya sebagai runner up Piala Dunia 1974 dan 1978. Sementara Brasil sudah 18 kali mengikuti putaran final Piala Dunia dan lima kali menjuarainya. Kalau Belanda, seperti ditargetkan pelatihnya Bert Van Marwijk, ingin menjuarai Piala Dunia ini untuk pertama kalinya, Brasil berambisi merengkuh trofi Piala Dunia ini untuk keenam kalinya, sambil berharap mereka akan mempertahankannya empat tahun mendatang di Brasil.
Brasil juga unggul tipis head to head pertemuannya dengan Oranye. Dari sembilan kali pertemuan, Brasil menang tiga kali sedangkan Belanda menang dua kali dan imbang empat kali. Dari enam pertemuan itu, tiga kali terjadi di putaran final Piala Dunia dan enam kali partai persahabatan. Di putaran final Piala Dunia, keduanya berhadap-hadapan di tiga Piala Dunia sebelumnya yaitu 1974, 1994, dan 1998. Dalam tiga pertemuan itu, Brasil dan Belanda sama-sama sekali menang dan sekali imbang. Belanda menang atas Brasil pada putaran kedua Piala Dunia 1974 di Dortmund Jerman dengan skor 2-1. Brasil balas mengalahkan Belanda dengan skor 3-2 dalam partai perempat final Piala Dunia 1994 di Dallas Amerika Serikat. Sedangkan, pada semifinal Piala Dunia 1998 di Marseilles Prancis, kedua tim bermain imbang hingga babak perpanjangan waktu dengan skor 1-1. Brasil akhirnya menang melalui tendangan penalti dengan skor 4-2. Sedangkan dari enam partai persahabatan, Brasil menang dua kali, Belanda menang satu kali, dan tiga kali imbang.
Karena itu, pertandingan antar kedua tim ini adalah sebuah partai besar dan pasti akan berlangsung ketat dan menarik. Bahkan, menurut mantan strikter tim nasional Belanda yang kini sudah gantung sepatu dalam usia yang masih relatif muda, Roy Makaay, pemenang antar partai ini akan menjadi salah satu finalis Piala Dunia 2010 ini.
Menurut dia baik Brasil maupun Belanda adalah dua tim yang sama-sama bagusnya saat ini. Sebagai orang Belanda dia berharap, meskipun underdog, Belanda bisa memenangi pertarungan itu. “Saya kira pemenang partai ini akan melaju ke final dan akan bertemu Argentina atau Spanyol di final,” ujar pria yang akan menjadi pelatih tim yunior di Feyenoord pada musim mendatang.
Hal yang sama diakui gelandang bertahan Brasil Gilberto Silva. Menurut dia, partai melawan Belanda adalah sebuah partai yang sangat sulit. Belanda adalah sebuah tim yang sangat berkualitas dan dihuni pemain-pemain yang berkualitas pula. “Kami tahu bahwa kalau kami memberi mereka sedikit ruang, itu akan sangat menyulitkan kami dan membawa bencana besar bagi kami,” ujarnya.
Sebenarnya, kalau boleh memilih, Brasil menghindari partai melawan Belanda. Tetapi apa mau dikata. The show must go on. Pertandingan yang sangat emosional ini harus dihadapi. “Tetapi saya yakin kami akan menjalankan tugas kami dengan baik sebagaimana kami lakukan saat melawan Cile,” ujar mantan pemain Arsenal itu yang kini bermain di Panathinaikos Yunani.
Sementara itu, persiapan tim Oranye menghadapi Selecao terganggu oleh tidak harmonisnya hubungan Van Persie dan Wesley Sneijder. Van Persie marah kepada Sneijder karena sudah mempengaruhi pelatih Bert Van Warwijk untuk menggantinya saat mengalahkan Slovakia pada babak 16 lalu.
Tetapi Sneijder membantah rumor itu. Dia mengaku hubungannya dengan Van Persie baik-baik saja dan tidak ada masalah di antara keduanya. “Robin sudah meyakinkan saya bahwa tidak tidak mengucapkan kata-kata seperti itu dan tidak ada alasan bagi saya untuk meragukan ucapannya itu,” kata gelandang serang Inter Milan berusia 26 tahun itu. Dia melanjutkan, “Saya tidak punya masalah dengan Robin. Dia memang kecewa karena diganti, tetapi itu bisa dipahami dan sungguh bukan sebuah masalah yang serius.”
Sneijder menegaskan, dalam persiapan melawan tim tangguh Selecao mereka sangat kompak. “Kami sangat kompak menjelang pertandingan melawan Brasil. Kami kami sudah siap 120 persen melawan mereka,” kata bekas pemain Real Madrid itu.
Dari sudut kualitas pemain, kedua tim memiliki pemain-pemain kelas dunia yang bermain di liga-liga nomor satu Eropa. Karena itu yang sangat menentukan dalam pertandingan nanti adalah mental para pemain di lapangan. Brasil diuntungkan karena memiliki mental juara. Sementara Belanda selalu berkutat dengan diri mereka sendiri. Selain perpecahan internal yang selalu mewarnai setiap turnamen besar seperti Piala Dunia ini, Belanda dan para pemainnya tidak memiliki mental juara. Masalah ini seolah sudah menjadi bagian dari total football-nya Belanda. Belanda harus menghadapi dua lawan pada pertandingan nanti yaitu diri mereka sendiri dan Brasil. Inilah yang menyulitkan mereka.

Antara “O Jogo Bonito” dan “Total Football” (1)


Partai Brasil melawan Belanda di Stadion Port Elisabeth pada 2 Juli pukul 14.00 atau pukul 21.00 WIB cukup menarik perhatian publik dan sangat ditunggu penggemar sepak bola seluruh dunia. Pasalnya kedua tim ini terkenal dengan peragaan sepak bola menyerang yang indah, menarik, dan enak ditonton. Brasil terkenal dengan o jogo bonito-nya, sementara Oranye terkenal dengan total football-nya. Diharapkan, kedua tim akan memperagakan sepak bola indah masing-masing sehingga bisa menghibur penggemar sepak bola di bawah muka bumi ini.
Meskipun, selama Carlos Dunga menjadi pelatih tim Samba, pendekatannya lebih pragmatis. Dia menekankan efisiensi permainan demi hasil positif ketimbang menjaga dan mempertahankan o jogo bonito. Hasilnya memang cukup mencengangkan. Di bawah Dunga, Brasil sudah meraih sejumlah gelar seperti juara Copa Libertadores dan Piala Konfederasi. Mereka juga menjadi juara grup zona Amerika Latin Pra Piala Dunia 2010. Selama putaran final ini pun dengan pendekatan pragmatis itu mereka berhasil menjadi juara grup dari dua kali menang atas Korea Utara (2-1) dan atas Pantai Gading (3-) serta sekali imbang 0-0 atas Portugal.
Pendekatan Dunga yang pragmatis dan lebih mementingkan hasil daripada keindahan sepak bola itu dikritik tajam di dalam negeri Brasil. Kritik itu antara lain datang dari kapten Brasil pada Piala Dunia 1982, Socrates. Menurut dia, permainan skuad Dunga tidak enak ditonton. Dunga sudah mengkianati ciri khas sepak bola Brasil o jogo bonito. “Fokus Dunga hanya pada kekuatan daripada sepak bola yang indah. Ini merusak ciri khas permainan Brasil. Kalaupun nanti mereka memenangi Piala Dunia ini, penampilan mereka tetap saja tidak enak ditonton dan tidak patut dibanggakan,” kritik Sokrates pedas.
Tetapi Dunga dan para pemainnya seperti Maicon, Luis Fabiano dan Gilberto da Silva menekankan bahwa gaya sepak bola indah tidak terlalu penting. Yang penting adalah hasil pertandingan. “Saya ingin menjadi juara, apakah Brasil memainkan o jogo bonito atau tidak,” kata Maicon, pencetak gol pertama Selecao ke gawang Korea Utara pada partai pembuka. Hal yang sama diungkapkan Fabiano dan Gilberto Silva. “Kami ingin menjadi juara, apa pun caranya,” kata Silva.
Belanda pun setali tiga uang. Bert Van Marwijk yang mengambil alih kursi kepelatihan dari Marco Van Basten setelah Piala Eropa dua tahun lalu, total football ala Oranye tidak terlalu tampak. Sama seperti Dunga, Marwijk lebih mementingkan hasil daripada keindahan sepak bola. Prinsip ini memang membuahkan hasil. Selama babak penyisihan pra Piala Dunia, Belanda adalah tim pertama di luar tuan rumah Afrika Selatan yang lolos ke Afrika Selatan. Pada babak pertama putaran final ini pun mereka meraih nilai penuh (9) dari tiga kali menang atas Kamerun (2-1), Jepang (1-0), dan Slovakia (2-1).

Sabtu, 26 Juni 2010

Tempat Bersejarah


Foto/Alex Madji
Ini adalah rumah bersejarah bagi perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di sinilah berlangsung serial perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) membahas perdamaian di tanah rencong itu yang difasilitasi mantan Presiden Finlandia Martii Ahtisari. Foto diambil Januari 2006.

Pagi Merekah


Foto/Alex Madji
Secercah sinar mentari muncul di antara pohon yang meranggas pada musim dingin di tepian Sungai Vantaa, Helsinki. Lokasi ini terletak di belakang gedung tempat berlangsungnya perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Vantaa, di luar ibu kota Helsinki. Foto diambil Januari 2006.

Selasa, 22 Juni 2010

Summer Solstice


Mario Tama/Getty Images/AFP
Peserta Yoga massal antusias mengambil bagian dalam yoga gratis tahunan bertajuk “Summer Solstice” di Times Square, New York, Senin 21 Juni 2010. Summer Solstice adalah hari pertama resmi dimulainya summer dan menjadi hari terpanjang dalam satu tahun.

Yoga Massal


AFP PHOTO/Emmanuel Dunand
Peserta mengambil bagian dalam Yoga massal di Times Square New York, Senin 21 Juni 2010. Yoga massal yang melibatkan ratusan orang siswa dan masyarakat umum ini diselenggarakan untuk menandai dimulainya musim panas.

Jumat, 18 Juni 2010

Berpelukan


AFP PHOTO/FRANCK FIFE
Tiga pemain Meksiko berpelukan setelah berhasil mengalahkan Prancis 2-0 pada partai kedua Grup A di Stadion Peter Mokaba Polokwane Rabu (17/6) atau Kamis (18/6) dini hari waktu Indonesia bagian barat. Peluang Meksiko lolos ke putaran kedua terbuka lebar. Bermain seri saja dengan Uruguay pada partai terakhir, mereka menjadi salah satu peserta di putaran kedua Piala Dunia Afrika Selatan 2010.

Itu Hanya Mimpi


AFP PHOTO/PIERRE-PHILIPPE MARCOU
Suporter “Les Bleus” dengan wajah dicat bendara Prancis memegang trofi Piala Dunia saat menyaksikan tim kesayangan mereka bertanding melawan Meksiko pada Piala Dunia Afrika Selatan 2010 di Stadion Peter Mokaba Polokwane, Rabu (17/6) atau Kamis (18/6) dini hari waktu Indonesia bagian barat. Sayang, impian meraih trofi Piala Dunia sungguhan tinggal mimpi, setelah Les Bleus ditekuk 0-2 oleh Meksiko dan mempertipis peluang mereka lolos ke putaran kedua. Mereka tunggu mukjizat untuk bisa lolos ke babak selanjutnya.

Selasa, 15 Juni 2010

Pesta Yo Pesta


AP Photo/Jorge Saenz
Dua perempuan Paraguay bersuka cita karena tim kesayangan mereka berhasil mencetak gol ke gawang Azzuri Italia pada partai pertama Grup F Piala Afrika Selatan 2010, Selasa (15/6) dini hari waktu Indonesia bagian barat.

HP Yang Beruntung Itu….


AP Photo/Jorge Saenz
Fans Paraguay merayakan gol pertama tim kesayangan mereka ke gawang Azzuri Italia pada partai pertama Grup F, Piala Dunia Afrika Selatan 2010 yang disiarkan melalui layar raksasa di Kota Asuncion, Paraguay Senin (14/6) waktu setempat atau Selasa (15/6) dini hari waktu Indonesia bagian barat. Italia vs Paraguay bermain imbang 1-1 dalam laga tersebut.

Kegirangan


AFP/Norberto Duarte
Seorang gadis pendukung Tim Paraguay menari kegirangan merayakan gol yang dicetak Antolin Alcaraz ke gawang Gianluigi Buffon pada menit ke-39 dalam partai pertama Grup F Piala Dunia Afrika Selatan 2010 antara Italia melawan Paraguay yang dijuluki La Albirroja pada Selasa (15/6) dini hari.

Di Lembah Itu…


AFP/ANDREAS SOLARO
Seorang pendukung tim Azzuri menunggu dimulainya pertandingan perdana Grup F Piala Dunia Afrika Selatan 2010 antara Italia versus Paraguay di Stadion Green Point Cape Town, Selasa (15/6) dini hari yang ditayangkan melalui layar raksasa di Villa Borghese, Roma, Italia pada hari yang sama.

Ciuman


AFP/DAMIEN MEYER
Pencinta sepak bola Italia menyaksikan laga Italia kontra Paraguay di Stadion Green Point Cape Town Selasa (15/6) dini hari melalui layar raksasa di Villa Borghese di Milan, Italia sambil berciuman.

Sepak Bola dan Rasisme

Rasisme seolah selalu menjadi bagian dari sepak bola. Dalam pertandingan antar klub di banyak liga, rasisme menjadi isu utama. Pelakunya, pemain dan suporter klub. Korbannya kebanyakan para pemain berkulit hitam, terutama yang berasal dari Benua Afrika. Orang-orang dari benua hitam itu seolah-olah menjadi manusia yang tidak berharga hanya karena warna kulit mereka hitam. Mereka sering diolok-olok sebagai kera. Ini terjadi di banyak liga Eropa.

Di La Liga, Spanyol, misalnya. Pemain asal Kamerun Samuel Eto’o ketika bermain di Barcelona selalu menjadi sasaran olok-olokan suporter lawan. Setiap kali menguasai bola, dia diolok-olok dan diteriaki menyerupai suara seekor kera. Karena tidak tahan dengan ledekan berbau rasis itu, suatu ketika Eto’o marah dan mengancam mogok main kalau tetap diolok-olok berbau rasis.

Di pesta akbar sepak bola seperti piala dunia, rasisme juga ada. Pada Piala Dunia 2006, misalnya, “perkelahian” antara bintang dan roh permainan Perancis Zinedine Zidan dan bek Italia Marco Materazzi juga karena ledekan berbau rasis. Zidan terpancing emosinya karena diolok-olok berbau rasis oleh bek jangkung Italia itu. Saking marahnya, dia menanduk Materazzi hingga tersungkur. Zidan lalu diganjar kartu merah dan diusir keluar lapangan. Keluarnya Zidan pada sisa waktu pertandingan yang tinggal sendikit sangat merugikan tim ayam jantan. Tanpa Zidan mereka kalah dari Italia melalui tendangan adu penalti.

Menjelang Piala Dunia Afrika Selatan 2010, isu rasisme juga menyeruak. Pemain tim Oranye Belanda Eljero Elia mengeluarkan kata-kata yang menghina warga keturunan Maroko. Tak ayal komentar Elia itu menyulut kemarahan. Komentar Elia itu terekam dalam sebuah video. Dalam video itu, Ryan Babel yang bermain di Liverpool tengah berada di kamar Elia. Keduanya bermain game. Tampak pula beberapa rekan setim mereka di Timnas Belanda. Entah mengapa, tiba-tiba Elia mengeluarkan kata-kata yang menghina orang Maroko. Sekedar diingat beberap anggota skuad Oranye berasal dari keturunan Maroko.

Elia minta maaf baik kepada warga keturunan Maroko maupun kepada pelatih Bert Van Marwijk. “Aku ingin meminta maaf kepada komunitas Moroko, tapi aku juga ingin menyatakan bahwa aku bukan orang yang rasis. Aku tumbuh di Hague dimana 75 persen penduduknya adalah keturunan Moroko dan aku juga banyak berteman dengan mereka. Apa yang aku katakan aku tujukan kepada temanku, Reduan, yang selalu memanggilku dengan sebutan ‘negro’. Mungkin terdengar seperti hinaan, tapi itu sebenarnya bahasa slang,” jelas Elia.

Guna menjaga kohesi tim dari “perpecahan” dan menghindari meluasnya isu rasisme, pelatih Van Marwijk melarang seluruh timnya menggunakan jejaring sosial Twitter.

Hapus Diskriminasi
Karena masalah rasisme ini menjadi perhatian serius FIFA pada Piala Dunia 2010 ini, maka Presiden FIFA Sepp Blatter pada malam menjelang pembukaan Piala Dunia Afrika Selatan 2010 kembali menegaskan dan meminta untuk menghentikan rasisme. Dia menegaskan, “Sepakbola adalah cermin dari masyarakat kita dan itu semua terpantul dalam sepakbola. Di sana ada kekerasan, kasus doping, penipuan, taruhan, diskriminasi, dan rasisme. Ini semua ada dan hidup dalam masyarakat kita. Kami sudah mulai menyingkirkan hal-hal seperti itu dari sepak bola. Satu yang hal yang praktis sudah bisa diatasi adalah masalah doping.”

Lebih lanjut dia menegaskan, “Pada Piala Dunia Afrika Selatan ini, secara khusus kita mendeklarasikan bahwa kita menentang diskriminasi. Tidak akan pernah ada lagi diskriminasi maupun rasisme baik dalam lapangan sepak bola maupun stadion. Kalau kita tidak bisa mengatasi masalah ini dalam kongres FIFA ke-60 ini, maka kita tidak akan pernah menyelesaikan masalah ini. Kita harus mengakhiri diskriminasi dan rasisme”

Blatter benar. Penghapusan diskriminasi dan rasisme sudah mendesak. Tetapi jangan hanya dalam sepak bola, juga dalam berbagai bidang kehidupan yang lain. Sebab nilai manusia tidak ditentukan oleh warna kulit melainkan oleh kemanusiaan itu sendiri.

Filsuf Jerman Immanuel Kant sudah menegaskah bahwa manusia mempunyai tujuan pada dirinya sendiri. Seseorang tidak bisa dijadikan objek untuk meraih tujuan kita sendiri. Beberapa abad sebelumnya, Fransiskus Asisi yang hidup di Italia pada akhir abad ke-12 hingga awal abad ke-13, juga pernah bilang, seperti apa nilai manusia di hadapan Allah, seperti itulah nilai orang itu dan tidak lebih. Artinya, nilai dan tujuan seorang anak manusia tidak ditentukan sesuatu apa pun, termasuk warna kulitnya, selain oleh kemanusiaannya itu sendiri.

Hanya memang, kampanye penghapusan diskriminasi dan rasisme efektif lewat sepak bola karena melibatkan jutaan orang di seluruh dunia. Selain kampanye, penegakan aturan FIFA soal sanksi baik kepada pemain dan supporter yang berbuat rasis dan diskriminasi harus dijalankan dengan serius. Dengan demikian, sepak bola tidak hanya menyajikan keindahan sepak bola, tetapi keindahan manusia sebagai ciptaan Tuhan, apa pun warna kulitnya. [Alex Madji]

Senin, 24 Mei 2010

Rumah Cuci

Kehidupan masyarakat kota metropolitan identik dengan kesibukan. Sibuk bekerja, sosialita, berorganisasi, dan berbagai macam kesibukan lainnya. Saking sibuknya, banyak urusan/pekerjaan rumah tangga tidak tertangani. Sebut misalnya, urus anak, cuci pakaian, bahkan untuk urusan paling privat sekalipun seperti mandi. Hal-hal seperti ini kemudian diserahkan kepada orang/pihak lain.

Ini adalah peluang bisnis. Karena itu jangan heran kalau bisnis rumah cuci, penitipan anak, dan tempat-tempat “permandian” bertumbuh subur di pojok-pojok ibu kota.

Yang lagi booming saat ini adalah bisnis cuci kiloan, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di Yogyakarta . Di Jalan Raya Kebon Jeruk, Jakarta Barat, misalnya, ada sebuah rumah cuci yang sangat ramai. Orang keluar masuk untuk mengantar pakaian kotor dan mengambil cucian di rumah cuci yang berukuruan 4x4 meter persegi itu. Ruangan bercat warna warni dan enak dipandang itu penuh dengan tumpukan pakaian dalam bungkusan plastik.

Ada tiga orang perempuan yang bekerja di situ. Tadinya hanya dua orang. Keduanya bekerja secara bergantian. Seragamnya hitam putih. Kemeja putih dan celana hitam. Seorang berjilbab sedangkan yang lain tidak. Mereka bertugas mengimput data pakaian kotor ke dalam komputer. Belakangan ditambah seorang perempuan lagi yang bertugas memasukkan nomor ke dalam pakaian-pakaian yang hendak dicuci.

Pakaian yang masuk ditimbang terlebih dahulu. Setelah itu dilihat dan di-input ke dalam komputer. Besaran dan jenis pakaian tinggal disesuaikan dengan data-data yang sudah tersedia dalam komputer. Semuanya akan terhitung secara otomatis. Dua perempuan tadi tinggal memasukkan jumlah kilogramnya lalu komputer akan menghitung sendiri total yang harus dibayar pelanggan. Begitupun item per item pakaian akan dijumlah sendiri komputer. Harga per kilogramnya Rp 7.000. Hasil cucian bisa diambil setelah 24 jam. Segala macam barang bisa dicuci di situ. Mulai dari sepatu, sandal, jacket, bed cover, hingga pakaian dalam. Konsumen bisa memilih dari tiga jenis parfum yang disediakan sebagai pewangi pakaiannya.

Salah satu dari perempuan tadi bercerita, karyawan yang berkerja di tempat usaha cuci pakaian itu sebanyak enam orang. Mereka berdua bertugas di front desk. Mereka bertugas menerima pakaian kotor dan mengembalikan yang bersih. Sedangkan sisanya adalah petugas cuci. Pakaian-pakaian itu sendiri dicuci di salah satu rumah di komplek Kodam, tidak jauh dari show room kecil itu. Mereka menggunakan beberapa mesin cuci langsung kering. Tidak perlu dijemur. Penggunaan mesin cuci seperti ini cukup membantu di tengah cuaca yang tidak menentu.

Setiap hari mereka menerima 100 kilogram pakaian. Kadang-kadang kurang, kadang-kadang lebih. Tapi rata-rata 100 kilogram per hari. Dengan demikian, pendapatan rumah cuci itu sehari rata-rata Rp 700.000. Dalam sebulan pendapatan rumah cuci itu mencapai Rp 21.700.000 (31xRp 700.000).

Sementara kedua perempuan tadi dan teman-temannya diberi upah dengan standar minimum. Pengeluaran besar lainnya adalah sewa show room, bayar listrik, air (kalau pakai pam) plus sejumlah pengeluaran kecil-kecil lainnya.

Melihat penghasilan seperti itu, bisnis rumah cuci cukup menjanjikan di tengah kehidupan warga kota metropolis yang makin ingin instan dan tidak mau repot dengan urusan tetek bengek rumah tangga. [Alex Madji]

Rabu, 19 Mei 2010

Buku

Buku adalah sumber ilmu pengetahun. Siapa pun yang haus akan ilmu pengetahuan (tentang apa saja), dia harus mencari buku. Buku menjadi begitu penting. Dia adalah ibu yang melahirkan pengetahuan.

Meskipun, filsuf kelahiran Skotlandia 1711 Sir David Hume (wafat 1776) mengatakan, sumber pengetahuan adalah pengalaman. Buku, apalagi buku tentang Teologi dan Metafisika, justru merusak dan menghancurkan pengetahuan. Dalam bukunya berjudul An Enquiry Concerning Human Understanding sebagaimana dikutip dosen filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Simon Petrus Lili Tjahjadi dalam buku Filsafat Barat Modern Hume menulis, “Kalau kita memeriksa perpustakaan-perpustakaan kita, betapa besar penghancuran yang mestinya kita lakukan. Raihlah saja salah satu buku tentang apa pun juga, misalnya buku tentang Teologi atau tentang Metafisika skolastik, lalu bertanyalah: apakah buku itu memuat penalaran abstrak mengenai jumlah dan besaran? Tidak. Apakah buku itu memuat penalaran yang berdasarkan pengalaman nyata tentang fakta-fakta dan eksistensi? Tidak. Kalau demikian, campakkan saja buku itu ke dalam apil menyala, sebab buku itu hanya berisi omong kosong dan khayalan belaka.”

Sementara menurut filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804), sumber pengetahuan adalah rasionalisme atau apa yang ada pada rasio. Bukan pengalaman seperti dibilang Hume. Empirisme (pengalaman) hanya meneguhkan apa yang sudah ada pada rasio, kata Kant.

Perdebatan tingkat tinggi dua filsuf itu tentang sumber pengetahuan, semuanya akan bermuara pada buku. Uraian dan dalil-dalil David Hume tentang pengetahuan semuanya tertuang dalam buku. Begitupun Kant. Jadi apa pun, buku sangat penting untuk memperkaya perspektif dan membuka horizon berpikir yang lebih luas.

Kesadaran itulah yang mendorong saya pada Senin, 17 Mei 2010 mengambil buku-buku yang tidak terpakai lagi oleh SMPK 2 BPK Penambur Jalan Pembangunan III/IA, Gadjah Mada, Jakarta Pusat. Ada 8 dus buku yang sudah tidak terpakai. Seorang diri saya ke sana. Sore harinya saya mengantar buku-buku itu ke Jalan Percetakan Negara, GG Muhirin No 25 Jakarta Pusat.

Selanjutnya buku-buku ini akan disumbangkan untuk sebuah kampung di pedalaman Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) bernama Wela. Di sana anak-anak tidak pernah bersentuhan dengan ibu dari ilmu pengetahuan itu. Bukan karena tidak mau dan tidak punya minat baca, tetapi karena keterbatasan ekonomi untuk membeli buku. Bagaimana bisa beli buku, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja susahnya minta ampun.

Buku-buku itu memang disebut buku bekas. Tetapi untuk ilmu pengetahuan tidak ada yang bekas dan basi. Buku-buku David Hume dan Kant dari abad ke-18 saja masih laku dan menjadi harta karun bagi generasi abad ini. Karena itu diharapkan buku-buku itu nantinya mampu merangsang minat baca anak-anak muda dan membuka horizon generasi muda kampung itu dan kampung-kampung sekitarnya. Harapan terjauh adalah lahirnya golden generation di abad mendatang. [Alex Madji]

Sabtu, 15 Mei 2010

Identitas

Jumat, 14 Mei 2010 pukul 14.30 WIB. Saya berdiri di pojokan lantai II Toko Buku Gramedia Matraman Jakarta Timur. Saya tidak sengaja mengunjungi toko buku tersebut. Tadinya saya mau ke Gereja Katedral Jakarta untuk berdoa rosario. Kebetulan ini adalah bulan Maria. Saya berpikir bagus juga waktu luang ini dipakai untuk berdoa kepadanya. Tiba-tiba, ketika melintas di Jalan Matraman Raya, hujan lebat turun seketika. Tanpa pikir panjang, saya belokkan arah motor ke areal parkir toko buku terbesar di Indonesia itu.

Saya sempat berputar-putar di lantai satu gedung itu, sambil melihat buku-buku yang ada. Lalu saya naik ke lantai dua. Sebelah kanan eskalator, persis dipojokkan, ada kelompok buku Kristen dan Katolik. Saya mula-mula mengambil buku "Benediktus XVI" terbitan Kanisius, Yogyakarta. Penulisnya seorang pastor Yesuit yang pernah belajar di Austria. Buku itu ada di bagian terdepan barisan buku Kristen. Saya membaca pengantarnya sampai selesai. Lalu saya bergeser ke belakang rak itu. Di sana seorang gadis manis tengah berdiri persis di bawah rak buku-buku Katolik. Perempuan yang sore itu mengenakan kemeja putih lengan pajang bunga-bunga hitam kecil dipadu celana panjang bahan warna hitam dengan sepatu warna putih sambil mengendong tas ransel berdiri sambil menundukkan kepala ke sebuah buku kecil yang sedang dibuka kedua tangannya. Saya tidak tahu buku apa yang dibacanya. Saya nenduga dia membaca buku "The Catholic Life" karya Mgr Ignatius Suharyo. Sebab warna buku yang dia pegang dengan buku yang ada di rak di depannya sama. Sempat beradu pandang dengannya dan saling melempar senyum. Tidak lebih. Lalu, saya menggapai sebuah buku bejudul "Agama dengan Dua Wajah" terbitan Obor Jakarta.

Saya hanya membolak balik buku itu. Tidak membacanya. Tiba-tiba, dia bertanya singkat, "Bapak Katolik? "Iya," jawab saya singkat. "Mbak?" "Katolik juga," jawab dia sepotong. "Gereja di mana?" tanya saya. "Di Cijantung," timpalnya. Tak berapa lama kemudian, dia mengembalikan buku yang tadi dia pegang ke raknya, lalu pamit. "Pak saya duluan ya," ujarnya. "Mari," jawabku singkat.

Setelah dia pergi saya masih berputar-putar di lantai II toko buku itu. Pertanyaannya, "Bapak Katolik" terngiang-ingang. Tiba-tiba saya teringat sebuah pepatah asing yang kalau di-Indonesia-kan kira-kira berbunyi begini, "siapa anda tergantung apa yang anda baca" (You Are, what you read).

Yah, saya ketahuan Katolik karena perempuan tadi melihat saya baca buku Katolik dan berdiri di depan rak buku Katolik. Tapi saya berharap, kekatolikan saya bukan hanya karena apa yang saya baca itu, tetapi karena apa yang saya perbuat dan saya ucapkan. Ini jauh lebih penting dan substantif daripada sekedar yang saya baca. [Alex Madji]

Selasa, 11 Mei 2010

Pulang Kampung

Seorang pengusaha rumah kos di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, suatu ketika pernah berujar bahwa tidak perlu pulang kampung. Kalau ada uang, lebih baik dipakai untuk kegiatan yang lebih produktif, yang menghasilkan uang kembali. Pulang kampung, kata dia, hanya menghabiskan uang. Itulah yang dia lakukan selama merantau ke Jakarta dari wilayah Sumatera bagian utara. Rupiah demi rupiah yang dia kumpulkan kemudian menjelma menjadi rumah kos tiga lantai. Per kamarnya disewa Rp 500 ribu per bulan.

Secara ekonomis, usulan ini ada benarnya. Tetapi pulang kampung adalah bagian dari kegiatan ekonomi itu sendiri. Uang yang dikumpulkan di Jakarta dialihan peredarannya di kampung. Coba bayangkan. Kalau pulang ke Flores, satu orang misalnya menghabiskan uang belanja di kampung sekitar Rp 1 juta untuk satu minggu. Kalau ada tujuh orang yang pulang kampung maka ada Rp 7 juta uang yang beredar di kampung itu selama seminggu. Makin banyak peredaran uang di kampung, makin bagus untuk warga kampung. Jadi uang yang dibawa ke kampung pas libur niscaya tidak dibuang-buang, tetapi menghidupkan dan menggerakkan ekonomi orang kampung.

Lebih jauh dari itu, pulang kampung bermaksud untuk menimba kekuatan baru, menimba nilai-nilai yang masih terlestari dengan baik dan sulit ditemukan di kota. Ketika kehidupan kota sudah sangat individualistik, konsumeristik, dan tidak peduli dengan sesama bahkan dengan keluarga sendiri, kampung masih menawarkan nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, saling menghargai, sikap ramah, cinta orang tua, dan masih banyak hal lainnya. Nilai-nilai kehidupan seperti itu tidak bisa dihargai dengan uang karena dia melampaui uang. Uang penting, tetapi dia bukan segalanya.

Apalagi Rousseaou, filsuf Perancis bernama lengkap Jean Jaques Rousseau (1712-1778) pernah bilang, kembalilah ke alam. Alam adalah tempat belajar yang baik. Alam yang sesungguhnya itu ada di kampung. Di sana masih ada ketulusan, kejujuran, kepolosan, tanpa basa basi. Selain itu ada sawah, kebun kopi, hutan, sungai yang bersih dan arinya bening, kerbau, ayam, sapi, udara yang bersih bebas polusi dan macam-macam hal lainnya yang anak-anak di kota hanya mengetahuinya dari bacaan atau melihat di televisi. Jadi, jangan enggan pulang kampung untuk menimba nilai, semangat baru, dan tempat belajar yang tepat, terutama bagi anak-anak. Jadi pulaglah ke kampung dan jangan sampai lupa kampung halaman. [Alex Madji]

Senin, 10 Mei 2010

Perjuangan

Sepotong senja di Gang Muhurin, Jalan Percetakan Negara Jakarta Pusat akhir Januari 2010. Kami tenggelam dalam keasyikan cerita pada sore yang panas itu. Banyak hal diceritakan, mulai dari yang tidak berguna sampai gagasan-gasan besar yang mungkin juga sulit dijalankan. Tiba-tiba, sebuah sepeda penjual ice cream Wals dengan musik yang khas seolah-olah memanggil-manggil calon pembelinya, lewat. Saya lalu keluar dan menghentikannya.

Pemuda berseragam merah itu, sebut saja namanya Cecep, turun dari sepedanya. Dia membuka peti tempat ice cream disimpan. Saya memilih ice cream kesukaan saya: Wals strawbery. Teman saya memilih yang coklat. Sambil menikmati ice cream, kami ngobrol dengan cecep.

Cecep bercerita bahwa pendapatan dia sehari dari pekerjaannya itu Rp 10.000, bahkan bisa kurang. Apa pasal? Dia hanya dapat 10 persen dari total penjualan dia sehari. Padahal, hasil penjualannya paling banyak Rp 100.000. Sepuluh persen dari Rp 100.000adalah Rp 10.000. Tapi hasil penjualannya lebih sering kurang dari Rp 100.000. Artinya, penghasilannya pun kurang dari Rp 10.000 per hari. Kalau dikalikan 30 hari, maka pendapatan Cecep sebulan Rp 300.000.

Untunglah Cecep tinggal di mes majikannya. Dengan penghasilan seperti itu, untuk sekali makan tetap saja kurang. Tetapi toh, Cecep tetap menjalani pekerjaan itu dengan semangat. Dia tetap tersenyum. Dia mengayuh sepedanya berkilo-kilo meter tanpa keluhan. "Harus dijalani Mas. Jaman sekarang cari kerjaan susah. Ini dilakukan sambil menunggu ada pekerjaan yang lebih bagus," ujarnya dengan dialek Sunda yang kental.

Cecep tidak sendiri. Banyak orang sepert dia di Jakarta ini, bahkan dengan penghasilan yang kurang dari Rp 10.000 per hari. Mereka hidup sederhana, tetapi menjalankannya dengan tabah dan penuh perjuangan. Sementara banyak orang hidup mewah karena korupsi dan hasil mencuri uang rakyat. Orang yang penghasilannya miliaran rupiah per bulan justru tidak membayar pajak, tetapi rakyat kecil seperti Cecep setia membayar pajak. Ironisnya, pajak rakyat kecil itu malah ditilep oleh orang-orang seperti Gayus Tambunan dan kawan-kawan.

Yah, hidup ini memang perjuangan. Pekerjaan sekecil dan sehina apa pun harus dijalani. Tidak ada yang mudah. Sebab, "barang siapa yang setia dalam perkara-perkara kecil, dia akan setia juga dalam perkara-perkara besar."

Tak terasa, ice cream dalam kotak bulat kecil itu habis dan terasa masih kurang. Cerita pun habis, dan Cecep pergi mengais rejeki ke perhentian berikutnya. Entah di mana. [Alex Madji]

Bingung

Kebingungan adalah fakta. Dia dialami oleh siapa pun. Kalau ada orang yang tidak pernah bingung, itu omong kosong. Penyebabnya macam-macam. Ada orang bingung karena terlalu banyak hal yang harus dikerjakan sehingga dia pusing sendiri harus mulai dari mana. Kebingungan dalam memilih mana yang harus dikerjakan pertama bisa membuat orang sama sekali tidak mengerjakan satu pun pekerjaannya. Inilah yang disebut kebingungan absolut. Kebingungan seperti ini membuat orang menjadi tidak produktif.

Ada juga orang bingung karena tidak ada pekerjaan sama sekali. Semua pekerjaan sudah dilakukan, sementara jam kerja masih panjang. Dia lalu mencari-cari pekerjaan. Dalam situasi seperti ini, muncullah proses kreasi. Inilah yang disebut kebingungan yang produktif. Pada tahap yang lebih jauh, proses kreasi ini bisa menghasilkan uang.

Jadi, kalau sedang dalam keadaan bingung, jangan mengambil sikap ekstrim. Artinya, bila pekerjaan banyak, dan ini membuat anda bingung, jangan lalu anda mengambil sikap untuk tidak mengerjakan satu pun pekerjaan. Mulailah dengan apa yang anda bisa. Sebab lebih baik mengerjakan satu pekerjaan daripada tidak sama sekali. Kalaupun tidak bisa selesai pada waktunya, masih ada hari esok.

Atau, kalau sama sekali tidak pekerjaan, berdiam dirilah sebentar, sekedar mengambil napas. Kadang-kadang dalam situasi seperti itu proses kreatif itu lahir. Singkatnya, jangan pernah mau ditawan oleh fakta yang bernama kebiungan itu. [Alex Madji]

Sentiong, 10 Mei 2010