Rabu, 05 Desember 2012

Wajah Sepakbola Kita yang Semakin Buruk


Wajah sepakbola Indonesia bagai ditampar bertubi-tubi. Setelah gagal di Piala AFF 2012, berita mengejutkan datang dari Solo. Seorang pemain asing yang merumput di Indonesia meninggal dengan cerita mengenaskan. Diego Mandieta namanya. Dia datang jauh-jauh dari Paraguay untuk mengadu nasib di negeri ini. Sayang dia menemukan nasib sial di tanah ini.

Mandieta yang membela Persis Solo tidak mendapat gaji selama empat bulan dari klubnya. Pada saat krisis keuangan seperti itu, dia menderita sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga pula, Mandieta pun tidak mampu membayar rumah sakit. Terakhir, dia menghembuskan nafasnya di rumah sakit pada Selasa, 4 Desember 2012 dini hari dengan menyisakan utang di rumah sakit tempat dia dirawat.

Kerinduan Mandieta untuk berjumpa dengan mamanya pada kesempatan terakhir pun pupus. Bahkan untuk menghembuskan nafas di atas pangkuan sang bunda di tanah kelahirannya tidak terwujud karena Sang Pemilik kehidupan sudah lebih dulu memanggilnya.

Peristiwa ini sungguh-sungguh menampilkan wajah buruk sepakbola Indonesia. Klub yang memakai jasanya tidak bertanggung jawab. Mereka menelantarkan pemainnya dengan tidak membayar hak-hak mereka. Akibatnya, Mendieta meninggal dengan cara mengenaskan.

Seharusnya, manajemen Persis Solo bisa dituntut secara hukum karena kelalaian mereka menyebabkan Mandieta kehilangan nyawa. Kalau saja mereka membayar hak-haknya sebagai pemain, mungkin Mandieta tidak mengalami nasib senaas ini. Atau kalaupun memang sudah ajalnya, mungkin, seperti keinginan dan kerinduan mendalamnya, dia menghembuskan nafasnya dalam dekapan sang mama.

Pada saat bersamaan, kematian Mandieta adalah tamparan sangat telak pada wajah PSSI, otoritas sepakbola tertinggi. Kasus ini membuat wajah PSSI yang sudah kusam itu, bertambah buruk. Kalau mereka tegas dan kalau organisasinya berjalan sehat, seharusnya mereka bisa memberi sanksi kepada klub-klub yang tidak bisa memenuhi kewajiban para pemainnya, termasuk Persis Solo. Di luar negeri, organisasi semacam ini adalah otoritas yang berwenang melempar sebuah klub yang manjemennya buruk, termasuk klub yang bermasalah keuangan, ke divisi di bawahnya. Atau bahkan mencoretnya sama sekali dari kompetisi sepakbola negaranya, kalau memang sungguh tidak layak.

Dalam kasus ini, PSSI sudah lalai. Maka pantaslah dia bertanggung jawab. Bentuk tanggung jawabnya sekarang adalah meminta maaf kepada keluarga korban di Paraguay karena atas kelalaiannya menyebabkan anggota keluarganya meninggal di Indonesia. PSSI juga meminta maaf kepada federasi sepakbola Paraguay atau pemerintah Paraguay atas kegagalannya "melindungi" warga negara Paraguay di Indonesia.

Wujudnya, mungkin sederhana. Yaitu membiayai pengiriman jenasah Mandieta ke keluarganya di Paraguay agar keluarganya bisa menatap wajah Mandieta yang sudah terbujur kaku untuk terakhir kalinya. Bila perlu membiayai segala urusan penguburan hingga selesai. Bila PSSI melakukan ini, mungkin sedikit bisa mengurangi sembab pada wajahnya akibat keterpurukan sepakbola negara ini yang begitu memilukan. (Alex Madji)

2 komentar:

  1. Sudah cukup kecewa saya kalau liat sepak bola di negara ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya bukan hanya kecewa tetapi sudah muak melihat perilaku para elite sepakbola yang sibuk mengamankan kepentingan mereka sendiri, termasuk mengamankan bisnis judi dalam sepakbola itu. Semua yang terlibat konflik itu adalah mafia sepakbola bangsa ini.

      Hapus