Minggu, 11 Maret 2012

Mengapa Roberto Baggio Menganut Budha?


Roberto Baggio adalah legenda sepakbola Italia. Aksinya di lapangan hijau sulit dilupakan. Dia pernah menjadi pahlawan bagi Gli Azzuri. Tetapi juga pernah menjadi pecundang, ketika gagal menendang 12 pas pada partai final Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat melawan Brasil.

Di dunia sepakbola dia digelari il Fenomeno. Tetapi bagi kelompok tertentu, dia dicap sebagai pengkianat.

Apa pasal? Tidak lain karena keputusannya pindah dari Agama Katolik menjadi penganut Buddhisme. Maklum, Baggio lahir dan hidup di negara yang mayoritas dan jantungnya kekatolikan. Di sana, pemimpin tertinggi agama ini tinggal. Vatikan City. Lebih-lebih lagi, orang tuanya adalah penganut Katolik yang taat.

Selama ini, saya hanya tahu bahwa Baggio adalah seorang penganut Budha. Tetapi tidak paham mengapa dan bagaimana ceritanya sehingga dia bisa menjadi penganut Budha yang tentu saja sangat-sangat minoritas di Italia. Setelah mencari, akhirnya saya menemukan jawabannya.

Ternyata keputusan itu tidak terjadi tiba-tiba. Tetapi didasarkan pengalaman pahit di dunia sepakbola. Ketika membela Fiorentina, tepatnya pada 1987, Baggio mengalami cedera lutut parah. Bahkan hingga dua kali. Akibatya, dia hanya tampil lima kali dalam dua tahun pertamanya bersama La Fiola.

Setelah menjalani operasi dan merasa agak baik, dia mencoba mengikuti sesi latihan. Tetapi setelah 10 menit, cederanya kambuh. Inilah pengalaman paling kelam dalam hidup pria kelahiran Venesia itu dan membuatnya frustrasi. Rasa frustrasi itu terwujud dalam pertanyaannya yang paling substansial, "Mengapa saya?"

Selama masa cedera itu, dia diperkenalkan tentang ajaran Budha oleh temannya Morrichio di Firense, Italia. Ternyata ajaran ini memikat hatinya. Dia lalu membaca banyak buku tentang agama tersebut. Setelah cukup paham, Baggio yang adalah seorang introvert dan tergila-gila pada perempuan yang punya tampang pembunuh tetapi hanya mencintai seorang wanita seumur hidupnya, lalu memutuskan beralih dari Katolik ke Budha.

Peristiwa peralihan ini berlangsung sangat sederhana dan begitu cepat. Januari 1988. Suhu dingin membeku. Hari masih pagi. Morrichio pulang dari pesta perayaan tahun baru dan baru tidur pukul 04.30 dini hari. Tiba-tiba pada pukul 07.30 pintu kamarnya diketok. Yang ketok itu bukan sembarang orang, tetapi Roberto Baggio.

Begitu pintu dibuka, tanpa tedeng aling-aling, Baggio menyampaikan keinginannya menjadi seorang penganut Budhisme. Morrichio kaget bukan kepalang. "Apa kamu sudah gila? Dan ngapain kamu datang pagi-pagi buta seperti ini hanya untuk menyampaikan hal itu," kata Morrichi.

Tetapi, Morrichio tak kuasa menolak. Dia pun meluluskan keinginan Baggio. Jadi, pada pagi yang dingin itu, 1 Januari 1988 itulah, Roberto Baggio resmi menjadi penganut Budhisme. Bagi pria yang terkenal dengan rambut kuncirnya itu, 1 Januari 1988 bukan saja hari pertama pada tahun yang baru, tetapi sebuah peziarahan baru dan bab baru dalam hidupnya.

Baggio tidak berani langsung memberi tahu ibunya, Matilde Baggio, tentang keputusannya pindah ke Budihsme. Dia butuh waktu tiga bulan untuk menceritakan hal itu kepada ibunya. Di kemudian hari, Matilde mengatakan, "Saya tidak ingin menghakimi pilihan anak saya. Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa saya akan lebih bahagia bila dia (Roberto Baggio) bisa menjalanan agamanya. Tetapi saya berdoa kepada Tuhan setiap pagi, semoga dia kembali ke Gereja Katolik."

Setahun kemudian, pada 1989, Baggio berhasil keluar dari masa-masa sulitnya dan bergabung dengan Juventus. Di klub Kota Turin itu, anak ke-7 dari delapan bersaudara itu digaji 25 juta lira. Dia menjadi pemain yang dibayar paling mahal di dunia saat itu. Lalu pada 1993 dan 1994, dia terpilih sebagai pemain terbaik dunia secara berturut-turut, meskipun dia gagal menghantar Italia menjadi juara Piala Dunia karena dia gagal mengeksekusi penalti dalam adu penalti melawan Brasil di final Piala Dunia 1994.

Dalam wawancara setelah operasi dua lututnya, Baggio mengakui bahwa iman barunya itu membantu dia menjaga keseimbangan hidup, jauh dari sepakbola. Dan agama barunya itulah yang membantu dia tidak cepat-cepat gantung sepatu.

Sejak menjadi penganut Budha, dia terus meditasi dan berdoa dua kali sehari selama satu jam setiap kali berdoa dan tidak boleh diganggu. Dia terus melakukan itu (doa) kapan dan dimana pun, dan tidak perlu disuruh. Pengetahun pada ajaran Budha puna semakin meningkat dan meresap. Roberto Baggio kemudian percaya pada karma. Dalam karma, manusia mempertanggungjawabkan tindakan masing-masing orang.

Lebih lanjut, bagi Baggio, kehidupan adalah sebuah kebenaran yang pahit dan mulai melihat masa depan secara berbeda. Pengalaman traumatis akibat cedera panjang membuatnya nyaris mundur dari dunia sepakbola. Tetapi berkat iman barunya dia menemukan bahwa hidup adalah sebuah tantangan dan Budhisme sudah memberinya kekuatan untuk menghadapi tantangan.

Dalam bagian pengantar buku otobiografinya, "Baggio il Fenomeno" disebutkan, "Kehidupan adalah sebuah lingkaran yang tanpa ujung bagi mereka yang percaya pada reinkarnasi."

Beberapa tahun kemudian, dia merasa sedih setelah membaca di koran bahwa salah satu bekas rekan setimnya terjerumus dalam narkotika. Dia sedih karena dia tidak bisa membantu teman tersebut. Sebab dia dan BUdhisme menolak penggunaan obat-obatan terlarang seperti itu untuk kepentingan yang keliru. (Alex Madji/Dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar