Kamis, 27 Desember 2012
Pungli Itu Dilakukan Aparat Negara
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Negara, suatu ketika saat saya masih meliput di Istana Presiden beberapa tahun silam, pernah mengeluhkan soal adanya pungutan liar (pungli) di sepanjang jalur pantai utara (Pantura) Jawa.
"Kalau saya bisa nyamar, saya mau naik truk lewat Pantura untuk memastikan benar tidaknya informasi soal pungli di Pantura," demikian kata SBY ketika itu.
Ketika saya melintasi Pantura pada Kamis, 20 Desember 2012 lau, saya tiba-tiba teringat kata-kata Sang Presiden. Apalagi ketika menyaksikan aksi sejumlah oknum berpakaian seragam pegawai negeri sipil (PNS) di Pasar Cikampek.
Hari itu masih pagi. Baru pukul 10.00 WIB. Kami harus melintasi Pasar Cikampek, setelah Simpang Jomin ditutup sehingga semua mobil yang melewati Pantura harus merasakan kemacetan akibat kehirukpikuan di Pasar Cikampek.
Di tengah suasana kemacetan tersebut, ada tiga orang petugas dari Dinas LLAJR atau Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Rraya. Dua di antaranya sudah berumur. Kulitnya menghitam dibakar matahari dan tampak keriput. Satunya lagi masih lebih muda. Semuanya mengenakan seragam biru langit yang membuat mereka gagah.
Sayangnya, mereka bukannya mengurai kemacetan, tetapi justru memungut "pajak" dari kendaraan-kendaraan umum yang melintas. Puntutan itu sudah pasti liar alias pungli.
Persis di depan saya, ada sebuah truk molen. Saya menyaksikan seorang dari tiga petugas LLAJR tadi mengulurkan tangan ke kaca samping sopir truk molen tersebut. Sejurus kemudian, tangannya turun sambil menggenggam dan memasukkan ke saku celananya. Lumayan, dia mendapat Rp 10.000 dari truk itu.
Belum sempat saya beranjak jauh, dari kaca spion, seorang petugas lain sedang memungut "pajak" di bis yang berselang satu mobil di belakang saya. Sayang, angkanya tidak bisa saya lihat karena cukup jauh.
Selepas Cikampek, memang tidak ada lagi petugas berseragam seperti itu yang melakukan pemungutan pajak secara liar. Tetapi mereka yang meminta-minta dengan kedok pembangunan masjid cukup banyak. Bahkan ini terjadi hingga Indramayu. Jumlahnya pun tidak sedikit dan juga melibatkan kaum perempuan.
Kelompok-kelompok ini memiliki trik yang lain. Mereka sengaja memisahkan jalan dengan drum-drum agar laju kendaraan melambat. Sementara beberapa orang menyodorkan jaring kecilnya ke arah pintu mobil. Ada yang memberi pas di jaring, ada pula yang melempar sekenanya sambil jalan. Hal seperti ini juga banyak terjadi di Jakarta dengan model dan trik yang sama. Hanya saja saya tidak tahu, apakah ini termasuk pungli atau tidak.
Kalau pungli, seharusnya petugas yang berwenang menertibkan mereka paling tidak supaya jalanan tidak macet.
Sementara untuk petugas berseragam tadi, atasanya harus mengambil sikap tegas, misalnya dengan memberi sanksi terhadap anak buahnya yang nakal di lapangan. Repotnya kalau "pajak" itu disetor lagi ke atas, sehingga para pimpinan sulit mengambil tindakan atas anak buahnya yang bandel.
Padahal aksi mereka itulah yang membuat ekonomi bangsan ini berbiaya tinggi dan sangat merugikan konsumen. Sebab beban biaya-biaya tak terduga seperti itu oleh produsen dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga barang yang mahal.
Tetapi sampai kapankah aparat seperti ini bisa dibersihkan? Apakah tunggu sampai SBY lihat sendiri di Pantura? (Alex Madji)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar