Senin, 10 Desember 2012

Membatik di Mal


Sabtu, 8 Desember 2012 malam. Kunasri, 36 tahun duduk seorang diri di atas panggung berukuran 3 x 6 meter di Plaza Bintaro Jaya, Tangerang Selatan. Diiringi alunan musik etnis Batak yang rancak, Kunasri tekun menarikan tangan kanannya dengan alat tulis yang terbuat dari bambu kecil dengan ujung yang sangat kecil menyerupai ujung pena atau bahkan lebih kecil lagi di atas sehelai kain putih sepanjang 2,5 meter. Sementara telapak tangan kirinya menjadi alas di balik kain tersebut. Kusnari, janda satu anak itu, sedang membantik. Uniknya, tidak diringi musik gamelan Jawa yang gemulai, tetapi dengan musik Batak.

Dia melukis seekor burung di atas kain putih yang pada bagian pinggirnya sudah digambari bunga itu. "Ini dikarang sendiri," ujarnya sambil menunjuk pada gambar burung yang sedang dilukisnya dengan cairan berwarna kecoklatan pekat.

Cairan ini sendiri berasal dari bahan bernama malam yang terbuat antara lain dari rendal. Malam ini sudah membeku dan keras. Warnanya putih dan berbentuk balok tipis. Ketika hendak mulai membatik, bahan ini dimasukkan ke dalam sebuah wajan mini yang dipanaskan di atas kompor kecil untuk dicairkan. Lelehannya yang menjadi air kemudian dicedok dengan "alat tulis batik" tadi, lalu ditiup sebelum dituangkan di atas kain, sesuai imajinasi yang ada di kepala sang pembatik.

Merealisasi imaji ini tidak mudah. Sebab tidak ada prototipe berupa goresan pensil, bolpoin atau apa pun, sebelum ditetesi cairan tersebut. Butuh kelembutan, ketenangan, kesabaran, dan ketelatenan untuk memberi detail pada gambar di atas kain. Kata Kusnari, inilah hal-hal yang paling dibutuhkan dalam membatik. "Yang paling penting itu telaten, "ucapnya di tengah suara musik yang menggelegar di mal itu.

Kusnari berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Dia sengaja didatangkan ke Jakarta untuk tampil pada acara "Promosi Kerajinan Tangan Nusantara" di Plaza Bintaro Jaya yang berlangsung dari 28 November sampai 9 Desember 2012. Dia membatik di mal.

Sudah tiga hari dia berada di Jakarta untuk mengikuti acara tersebut. Selama mengikuti acara ini, saban hari, dia berada di atas panggung itu dari pukul 09.00 sampai pukul 21.00 WIB. Kain yang ada di tangannya itu sudah digambarinya sejak Jumat, 6 Desember 2012 dan baru kelar, Minggu, 9 Desember 2012, hari terakhir acara tersebut. "Satu kain sarung seperti ini biasanya selesai dalam tiga hari," ujarnya.

Di depannya ada satu keranjang berisi belasan gulungan kain batik tulis untuk baju, baik pria maupun wanita. Harganya Rp 200.000 per lembar. Sayang, pada Sabtu itu, hingga mal hendak ditutup, belum satu pun yang laku. Beberapa pengunjung datang sekedar menanyakan harganya, tetapi kemudian berlalu. "Belum ada yang laku," ujarnya lirih.

Kusnari adalah pembatik khas batik Pekalongan, Jawa Tengah. Di tanah kelahirannya, Kusnari adalah seorang pekerja borongan. Kata dia, di daerah ini ada juga pembatik yang diupah harian. "Kalau saya, kerja borongan. Di Pekalongan bosnya banyak dan pasti selalu ada pekerjaan. Batik tidak akan mati," ujarnya optimistis.

Ya, batik tidak akan ada matinya. Sebab dia menjadi tren mode masa kini di Indonesia sejak ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia yang dilindungi. Malah sekarang belum gaul kalau belum pakai batik. Maka patutlah Kusnari percaya diri bahwa pembatik seperti dia tetap akan berpenghasilan untuk menghidupi keluarganya. Semoga sukses terus ya Mbak. (Alex Madji)

Keterangan Foto: Kunasri sedang membatik di Plaza Bintaro Jaya, Tangerang Selatan (Foto: Alex Madji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar