Selasa, 08 Januari 2013

Elite yang Tidak Pernah Belajar dari Pengalaman


Dalam dua hari ini, kita menyaksikan perilaku para elite partai politik (parpol) yang sedang mengikuti verifikasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di sana dilakukan rapat pleno hasil verifikasi terhadap calon parpol peserta pemilu 2014.
Tayangan televisi memperlihatkan wajah-wajah marah para elite partai-partai karena dinyatakan tidak lolos dalam verifikasi penyelenggara pemilu. Ada yang teriak penuh emosi, sambil membanting kertas dan dokumen milikinya. Ada pula yang membanting microfon.

Mereka menuduh KPU tidak profesional dan tidak adil dalam proses verifikasi. Bahkan ada tuduhan bahwa petugas KPU di lapangan “bemain mata” dengan partai-partai besar. Kemarahan karena kegagalan mereka semua ditumpahruahkan kepada KPU. Bahkan, ada partai yang mengancam akan menggugat satu-satunya penyelenggara pemilu itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Protes dan perilaku seperti ini terasa aneh, lucu, dan tidak pada tempatnya. Kalau mereka kecewa karena kegagalan dalam verifikasi, maka seharusnya mereka melihat diri sendiri. Sudah seberapa jauh mereka bekerja untuk memenuhi aturan perundang-undangan.

Idealnya, sejak dibentuk dan disahkan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai badan hukum, partai-partai itu terus berbenah dan betul-betul bekerja untuk memenuhi persyaratan mengikuti pemilu. Persiapan ini memang tidak bisa dilakukan dalam waktu satu tahun. Apalagi kalau hanya dalam hitungan bulan. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun sebuah partai yang baik dan benar. Selain itu dukungan dana juga mutlak perlu. Tanpa dana dan “passion”, cita-cita mendirikan partai untuk mengikuti pemilu sebaiknya dikuburkan di dalam tanah.

Tetapi yang dilakukan oleh partai-partai kecil yang teriak-teriak di KPU itu adalah bahwa mereka hanya bekerja menjelang pemilu. Empat tahun sisanya, mereka tidur panjang. Menjelang pemilu kantor-kantor partai baru dihidupkan. Padahal sebelumnya, partai-partai yang memiliki kantor dihuni jin alias kosong melompong. Tidak ada aktivitas. Sementara partai-partai yang belum memiliki kantor buru-buru mengontrak rumah orang untuk dijadikan kantor ala kadarnya. Belum lagi pengurusnya dibentuk dadakan dan asal comot. Kadang-kadang orang-orang yang dipasang sebagai pengurus itu rekaan belaka alias bohongan. Itulah praktek yang lazim dilakukan.

Karena itu, sangat tidak beralasan kalau mereka hanya teriak-teriak pada detik-detik terakhir. Sikap yang tidak elegan itu justru semakin memperburuk muka mereka sendiri. Ibarat pepatah, aksi mereka itu bagaikan buruk muka cermin dibelah. Mereka yang kerjanya tidak becus, tetapi seluruh kesalahan dilemparkan ke KPU.

Hal seperti ini terjadi setiap kali pemilu. Tetapi tidak pernah belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut. Akhirnya, kalau memang tidak siap, sebaiknya tidak mendirikan partai atau tidak aktif sama sekali di partai politik. Nafsu kekuasaan tidak harus disalurkan dengan mendirikan partai sendiri, tetapi bisa disalurkan lewat partai yang sudah mapan. Atau kalau mau mendirikan partai sendiri ya dengan syarat itu tadi, perlu kerja keras sepanjang waktu, bukan hanya menjelang pemilu dan perlu persiapan dana yang tidak terbatas. Tanpa itu, siap-siap sajalah kecewa setiap kali seleksi di KPU seperti yang disaksikan di gedung KPU, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat itu. (Alex Madji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar