Kamis, 22 November 2012

Mendambakan Jakarta yang Lengang


Setiap pagi, dalam perajalan ke kantor dari rumah di Bintaro, saya mampir buang air kecil di POM Bensin Shell di Jalan Raya Pos Pengumben, Jakarta Barat. Entah mengapa, saya selalu kebelet pipis menjelang sampai di tempat ini. Lokasi ini memang nyaman. Selain toiletnnya bersih, juga tidak perlu antre seperti di tempat lain.

Hampir setiap hari pula saya berjumpa dengan seorang ibu paruh baya di tempat tersebut. Seperti saya, dia juga buang air di POM Bensin itu. Ibu ini tampil modis dengan rambut pendek. Putih. Cantik. Sungguh menarik memang.

Saking seringnya bertemu, kesimpulan pertama saya terhadap ibu ini adalah bahwa dia orang kaya. Kenapa? Pertama karena tampilan dan dandanannya yang membuat dia tampil anggun dan cantik seperti itu. Kedua, dan ini yang terpenting, karena hampir setiap kali bertemu dia mengendarai mobil yang selalu berbeda. Meskipun pengemudinya tetap orang yang sama.

Suatu hari saya pernah melihat dia numpang mobil Nisan Serena. Keesokan harinya, saya melihat dia menumpang Sedan Toyota Vios. Keesokannya lagi mengendarai Toyota Camry. Keesokannya lagi Avanza terbaru. Jadi hampir setiap hari saya menyaksikan dia mengendarai mobil yang berbeda-beda. Saya menghitung, minimal ibu ini memiliki empat mobil. Setiap hari gonta ganti mobil kayak ganti baju.

Dia pasti bukan sendiri. Di Jakarta, orang seperti dia banyak. Hal ini seiring dengan bertumbuh suburnya jumlah kelas menengah di Indonesia. Menurut data Bank Dunia, 56,7 persen dari 237 juta populasi Indonesia masuk kategori kelas menengah. Potensi pertumbuhan orang kaya di Indonesia juga diyakini akan bergerak cepat sekali. Pada 2016, jumlah mereka diperkirakan mencapai 123 persen. Indikator kaya yang digunakan adalah mempunyai harta di atas USD 1 juta, di luar rumah yang dimilikinya.

Anda coba banyangkan kalau orang-orang kaya itu memiliki empat mobil atau lebih dan setiap anggota keluarganya keluar rumah masing-masing dengan mobil. Jangan-jangan suatu saat nanti jumlah mobil yang beredar di jalan-jalan lebih banyak dari manusia. Bila itu terjadi, maka jangan heran kalau pada suatu saat jalan-jalan di Jakarta tidak bisa dilintasi lagi karena semua orang berlomba-lomba mengendarai mobil pribadi.

Maka solusinya adalah sudah sangat mendesak bagi pemerintah untuk membangun angkutan massal yang baik, aman, dan nyaman lengkap dengan manajemen yang profesional. Sebaiknya semua jenis angkutan kota berada di bawah satu manajemen baik bis, kreta, maupun subway dan monorel yang sedang direncanakan. Tarifnya pun harus murah dan cukup dibayar dengan karcis/tiket. Satu karcis/tiket bisa untuk semua jenis moda angkutan. Tiket ini pun bisa untuk sekali jalan, tiket seharian, tiga hari, satu minggu atau satu bulan. Ini dipraktekkan di hampir semua negara Eropa.

Setelah angkutan umum seperti ini ada dan diurus secara baik, kemudian diikuti dengan kebijakan pembatasan jumlah kendaraan pribadi. Satu keluarga, misalnya, hanya bolah satu mobil. Atau kalau tidak, usia kendaraan perlu dibatasi. Kendaraan-kenderaan yang usianya sudah melewati ketentuan pemerintah tidak boleh dipakai lagi.

Dengan begitu, Jakarta akan menjadi sedikit lengang dan menjadi sebuah kota yang nyaman dan enak untuk dinikmati. Bila adan angkutan umum yang aman, nyaman, menyenangkan, dan murah, orang pasti tidak berlomba-lomba lagi memiliki kendaraan pribadi. Ini akan berdampak pada penghematan penggunaan bahan bakar. Tetapi tentu saja ini bukan pekerjaan yang mudah dan tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap. Butuh waktu yang cukup, keseriusan, dan niat baik untuk menciptakan kota yang lebih, lebih nyaman, dan lebih beradap seperti kota-kota besar lainnya di dunia dengan dimulai dengan penataan transportasi umumnya. (Alex Madji)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar