Kamis, 10 November 2011

Menyaksikan Pertarungan Viva Group vs Media dan MNC Group


Pemilik MNC Group Harry Tanoesoedibjo, pada Rabu, 9 November 2011 dikukuhkan sebagai Ketua Dewan Pakar Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Dia bergabung dengan partai baru itu karena ada kesamaan visi. Sementara alasan dia terjun ke politik praktis adalah ingin berkontribusi bagi negara, setelah secara bisnis sudah mapan.

Masuknya Harry Tanoe ke partai politik tidak menggemparkan. Sebab sudah mahfum terjadi di negeri ini bahwa para pengusaha seolah punya keharusan untuk memiliki cantolan politik.

Yang lebih mengejutkan, dan itu yang mau saya sampaikan dalam tulisan ini, adalah pernyataan para politisi partai-partai besar di DPR pasca penetapan Harry Tanoe itu sebagai Ketua Dewan Pakar Nasdem. Mereka tiba-tiba meminta perlu pengaturan penggunaan media untuk kepentingan partai politik.

Pernyataan itu pertama kali disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy. “Perlu pengaturan media untuk kepentingan dan publikasi parpol, baik di dalam maupun di luar masa kampanye, agar media tak kehilangan independensinya, dan agar tak terjadi persaingan tidak sehat ketika pemilik media terlibat aktif ke dalam politik praktis,” ujarnya. (Vivanews.com, Rabu 9 November 2011).

Gagasan itu disambut baik oleh kader Partai Golkar yang juga artis Nurul Arifin. “Pengaturan media itu memang perlu, supaya tidak terjadi ajang kanibalisme dalam ruang dan properti kampanye. Nanti kami bicarakan di Panitia Khusus Pemilu,” kata Nurul.

Menurutnya, poin tentang pengaturan penggunaan media untuk publikasi parpol memang belum tercantum dalam draf revisi UU Pemilu. “Belum ada. Tapi itu bisa diusulkan. Pembahasan kan sangat dinamis, bisa melahirkan usulan-usulan baru,” kata Nurul yang juga anggota Pansus UU Pemilu. (Vivanews.com, 9 November 2011).

Pendapat berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR yang juga anggota Pansus UU Pemilu dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ganjar Pranowo. Menurut dia, penggunaan media oleh partai tidak perlu diatur. Sebab itu hanya masalah etika.

Tetapi pendapat berbeda disampaikan rekan Ganjar dari PDI-P yang juga duduk di Komisi II yaitu Arif Wibowo. Menurut dia, pembatasan publikasi partai politik di media massa penting dilakukan agar tidak terjadi persaingan seperti mekanisme pasar bebas. Bahwa siapa yang kuat maka menjadi pemenang. "Nanti bisa saja siapa yang duitnya paling banyak maka jadi paling sering tayang atau paling sering beriklan. Tidak bisa begitu. Itu tidak adil," kata Arif. (Vivanews.com, 9 September 2011).

Perang Media
Pernyataan-pernyataan itu bisa dimengerti. Sebab Nasdem dengan dua tokoh utamanya Surya Paloh dan Harry Taone memiliki kekuatan media yang luar biasa. Surya Paloh, pemilik Media Group, mempunyai Metro TV, Media Indonesia, dan beberapa koran daerah. Sementara Harry Tanoe, pemilik MNC Group, memiliki RCTI, Global TV, MNC TV, SUN TV, beberapa televisi daerah, jaringan radio, Harian Seputar Indonesia, dan beberapa media cetak lainnya.

Selama ini Metro TV sangat gencar mengiklankan Nasdem sebagai organisasi massa dan setelah Partai Nasdem diresmikan, iklan tentang partai itu juga gencar. Beberapa hari terakhir, iklan tentang Partai Nasdem di Global TV juga mulai muncul. Dengan kekuatan media yang dimiliki dua pentolan Partai Nasdem, maka proses pengenalan partai itu ke publik akan berjalan efektif.

Bukan hanya itu, kekuatan media mereka miliki juga menjadi kekuatan yang maha dahsyat untuk mencitraburukkan lawan-lawan politik dan lawan-lawan bisnis mereka dengan berbagai strategi pemberitaan. Sebagai contoh, Metro TV selama ini sangat gencar memberitakan kasus Lumpur Lapindo atau kasus Gayus Halomoan Tambunan karena banyak terkait perusahaan milik Aburizal Bakrie yang adalah Ketua Umum Golkar dan rival politik Surya Paloh.

Maka bisa dipahami, para politisi di atas tadi meminta pembatasan penggunaan media untuk publikasi parpol. Mungkin mereka khawatir Nasdem menjadi besar dan menggerus suara partai mereka. Tentu saja ini kerugian politik bagi partai-partai itu. Tetapi sesungguhnya kekhawatiran itu terlalu berlebihan. Biarkanlah pasar yang menentukan mana partai yang baik pada 2014. Pasar (rakyat pemilih) sudah cerdas, termasuk untuk tidak memilih partai apa pun.

Ketakutan itu berlebih juga karena yang memiliki kekuatan media adalah Partai Golkar. Bukan hanya Nasdem. Secara institusional, Golkar memiliki harian Suara Karya. Sedangkan Ketua Umumnya, Aburizal Bakrie memiliki Viva Group yang terdiri dari TV One, ANTV, dan Vivanews.com. Kekuatan mereka memang tidak seimbang dengan kekuatan Harry Tanoe dan Surya Paloh. Tetapi keunggulan Partai Golkar adalah mesin politik yang sudah matang.

Tinggal mereka bersaing secara sehat saja. Malah lebih baik, kalau media massa yang mereka miliki tidak dibawah ke ranah politik dan menjadi media campaign partai masing-masing. Tetapi sepertinya hal ini sulit dilakukan.

Yang terjadi justru sebaliknya. Kedua kelompok ini, akan saling bertarung menjelang 2014. Ini pertarungan lama antara Surya Paloh versus Aburizal Bakrie sebagai buntut dari perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar di Pekan Baru tahun lalu. Pertarungan itu juga pertarungan media mereka miliki. Hanya saja, Surya Paloh mendapat amunisi baru dengan bergabungnya Harry Tanoe ke Nasdem.

Lalu siapa yang menang? Kita tunggu dan saksikan saja pertarungan mereka yang sebetulnya sudah dimulai. (Alex Madji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar