Senin, 28 November 2011

Di Ujung Jembatan Kertanegara


Berita Sabtu, 26 November 2011 siang sungguh mengejutkan. Isinya, Jembatan Kertanegara atau yang akrab disebut Jembatan Mahakam runtuh. Seluruh jembatan jatuh ke Sungai Mahakam. Tidak ada yang tersisa. Kecuali dua tiang penyangga di kedua ujungnya. Sejumlah mobil jatuh ke sungai. Hingga, Senin, 28 November 2011 baru 11 orang ditemukan tewas.

Mendapat berita ini, pikiran saya melayang ke jembatan itu dan mencoba mengiat-ingat peristiwa di ujung jembatan tersebut lima setengah tahun silam. Tepatnya 13 Juni 2006. Saya termasuk dalam 10 wartawan yang dipukul oleh pereman suruhan Bupati Kutai Kertanegara Syaukani AR di ujung jembatan Kertanegara pada hari itu. Foto di atas adalah kenangan buruk lima setengah tahun silam itu.

Ceritanya begini. Saya ditugaskan kantor tempat saya bekerja memenuhi undangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk meliput persiapan penyelanggaraan Pekan Olah Raga Nasional (PON) di Smarinda 2008. Bersama wartawan-wartawan dari media lain, kebanyakan wartawan olah raga, kami tiba di Samarinda 12 Juni 2006, setelah beberapa saat sebelumnya mendarat di Bandar Udara Sepinggan Balikpapan.

Pada 12 Juni 2006 sore, kami bertemu dengan Gubernur Kalimantan Timur ketika itu Suwarna AF alias Suwarna Abdul Fatah dan beberapa pejabat setempat termasuk Sekretaris Daerah. Dalam pertemuan itu, Suwarna memaparkan perkembangan pembangunan infrastruktur PON 2008. Dalam pembicaraan di Kantor Gubernur Kaltim itu, terselip juga masalah politik lokal.

Isu yang mencuat ketika itu adalah Bupati Kutai Kertanegara Syaukani AR pergi ke luar negeri tanpa sepengetahuan Gubernur Suwarna AF. Sebagai wartawan peliput di Depdagri, saya tahu betul bahwa seorang bupati, kalau ke luar negeri harus meminta ijin kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. Tetapi itu tidak dilakukan Syaukani. Karena itu, sayalah wartawan yang paling gencar mempertanyakan masalah ini.

Tetapi saya sebenarnya bertanya dalam ketidaktahuan saya tentang pertarungan politik lokal. Kemudian baru saya tahu bahwa ternyata Suwarna AF dan Syaukani AR bersaing untuk memperebutkan jabatan Gubernur Kalimantan Timur. Keduanya saling potong dan saling jegal. Suwarna AF akhirnya dijebloskan ke penjara karena korupsi dan gagal maju dalam pemilihan umum Gubernur Kaltim. Untunglah, Syaukani AR juga dijebloskan ke penjara lagi-lagi karena masalah korupsi dan juga gagal maju ke pemilihan Gubernur Kaltim. Justru yang menjadi Gubernur kemudian adalah Awang Faroek.

Setelah acara tatap muka selesai, kami diantar ke penginapan di Hotel Samarinda. Malam itu dilewati dengan suka cita.

Keesokan harinya, 13 Juni 2006, karena tidak ada kegiatan lagi, ketua rombongan wartawan Zulkarnain Alregar mengajak kami ke Kutai Kertanegara untuk melihat pembangunan di Tenggarong, ibukota Kabupaten Kutai Kertanegara, yang disebut-sebut maju.

Maka setelah sarapan, dengan menggunakan beberapa mobil kami meluncur ke Tenggarong melewati jalan bak tol, yang belum lama dibuka. Mobil melintas dengan kecepatan tinggi.

Tetapi ada yang aneh. Ada sebuah mobil Avanza menguntit rombongan ini. Begitu mobil rombongan berhenti, laju kendaraan itu melambat. Tetapi kecurigaan sepanjang jalan itu tidak sampai menghentikan rencana ke Tenggarong.

Tibalah kami di Jembatan Kertangara. Jembatan itu panjang sekali dan menjadi jembatan terpanjang di Kalimantan. Indah. Di atasnya agak di sebelah kanan, ada kereta gantung. Ini adalah proyek-proyek mercusuar Syaukani AR sebagai Bupati Kutai Kertanegara.

Kami berhenti di situ. Menyaksikan keindahan Sungai Mahakam dan Tenggarong agak dari kejauhan. Kami abadikan keindahan itu dalam gambar. Belum lama kami berfoto ria, tiba-tiba segerombolan laki-laki menyerang. Kami kalang kabut. Saya yang tidak tahu menahu masalahnya berteriak. Paha saya ditendang dan dan didorong masuk ke dalam mobil. Untung tidak dipukul dengan benda keras.

Kami disuruh kembali ke Samarinda melintasi jembatan Kertanegara itu. Di ujung sebelah sana kami dipaksa belok kiri mengikuti mobil Avanza yang menguntit kami sejak dari Samarinda. Kami lalu belok kanan dan menyusuri Sungai Mahakam kembali ke Samarinda. Sementara Avanza tadi menghilang. Gara-gara kasus kekerasan ini, kami tidak jadi menyaksikan pembangunan di Kota Tenggarong, selain melihat jembatan dan kereta gantung, proyek ambisius Syaukani.

Hari itu menjadi hari tersedih dan termuram dalam hidup saya. Dipukul tanpa salah pada saat menjalankan tugas jurnalistik. Setelah menyusuri Sungai Mahakam, kami tiba kembali di Hotel Samarinda. Saya menghabiskan satu malam lagi di hotel ini dalam ketakutan.

Sejumlah rekan warawan Kaltim berdatangan ke hotel untuk sekedar memberi dukungan. Sejumlah orang, sepertinya dari kelompok Gubernur Suwarna, juga datang memberi jaminan keamanan kepada kami. Tetapi saya tetap takut. Kemudian saya minta Bang Zulkarnain untuk membelikan saya tiket agar bisa pulang keesokan harinya, 14 Juni 2006.

Akhirnya saya pulang juga ke Jakarta pada hari itu. Sejak kasus ini, saya tidak pernah datang lagi ke Samarinda. Beberapa tahun kemudian pernah ditugaskan ke sana. Tetapi saya menolak tugas itu karena masih trauma.

Kenangan akan peristiwa ini muncul kembali ketika mendengar berita runtuhnya Jembatan Kertanegara yang untuk sementara menelan korban jiwa sebanyak 11 orang. Ya, semoga mereka semua diterima di sisi Tuhan. (Alex Madji)

4 komentar:

  1. itu jembatan di atas sungai udah ngeri gitu, apa lagi suramadu di atas laut. aduh atut

    BalasHapus
  2. Ini pelajaran berharga bagi pemerintah dan perusahan yang bertanggungjawab untuk memelihara jembatan tersebut. Apa yang terjadi Kutai Kertanegara murni kealpaan manusia dalam merawatnya.

    BalasHapus
  3. Mengenai masalah Jembatan, Harus ada yang bertanggung jawab untuk insiden ini karena telah menyebabkan 11 orang meninggal. Dan mengenai insiden terjadi beberapa tahun silam, menurut Hukum & Kepolisian banyak perbaikan

    BalasHapus
  4. Betul bung. Tetapi itu yang tidak ada dalam budaya Indonesia. Semua melempar tanggung jawab.

    BalasHapus