Selasa, 23 Agustus 2011

Menimba Nilai-nilai Luhur dari Kampung


Minggu ini, jutaan orang dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mudik alias pulang kampung. Mereka mengundurkan diri sejenak dari hiruk pikuk kehidupan ibu kota Jakarta untuk bertemu dengan keluarganya. Di sana mereka bersama-sama merayakan hari kemenangan, Idul Fitri.

Kampung selalu diasosiasikan dengan kejernihan, kepoloson, kejujuran, kemurnian, keharmonisan, cinta, dan masih banyak lagi. Udara di kampung juga masih bersih, jauh dari polusi seperti ibukota. Orang-orangnya bersahabat, hangat, tidak angkuh, dan sombong.

Sementara Idul Fitri sesungguhnya berarti ‘Kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci‘ sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Lalu secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang muslim selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.

Idul Fitri juga berarti kembali kepada naluri kemanusiaan yang murni, kembali kepada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak Islami.

Kemurnian, ketulusan, kejernihan hati dan budi, serta cinta itulah yang mau ditimba pada saat lebaran/idul fitri di kampung. Apalagi, berdasarkan tradisi di negeri ini, perayaan itu dilakukan bersama dengan orang-orang tercinta. Pada saat itu, ada cinta yang tercurah dan terbagi.

Maka pulang kampung atau mudik bukan sekedar mengalihkan gerak roda perekonomian dari ibu kota ke kampung, tetapi jauh lebih dari itu, yakni menimba nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kepolosan, ketulusan, cinta, solidaritas, keramahan, dan masih banyak nilai lagi yang hidup subur di kampung.

Nilai-nilai itu menjadi oleh-oleh dari kampung. Nilai-nilai “kampung” itu diharapkan bisa memberi warna lain dan membuat kehidupan ibu kota menjadi lebih beradab dan manusiawi dan menggantikan "nilai-nilai Perkotaan" seperti egoisme, ketidakjujuran, kemuskilan, tipu muslihat, dan masih banyak lagi.

Sebab keberadaban dan kemanusiawian kehidupan sebuah kota tidak hanya ditentukan oleh pemerintahnya, tetapi juga oleh warganya sendiri. Kalau warga sudah berbuat optimal, termasuk dengan menimba nilai-nilai luhur dari kampung pada saat idul fitri, tinggal kita tunggu apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan kehidupan kota ini lebih manusia dan beradab.

Maka mari kita beri dan berbagi dengan apa yang bisa kita bagi, termasuk dalam hal nilai-nilai “kampung” tadi. Tidak perlu menunggu. Mulailah sebagai orang yang pertama membaikan nilai-nilai “kampung” tersebut. (Alex Madji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar