Senin, 26 Juli 2010

Perlu Juga Orang Bodok (4)

Kamis, 8 Juli 2010. Pagi itu saya bangun terlambat, pukul 07.30. Rumah sudah mulai kosong. Guru Mikel (kakak kandung Joni dan sepupu saya) yang tiba Rabu (7/7) malam di Wela sudah ke rumah gendang (rumah asli kami). Yang lain pun begitu. Ibu-ibu di dapur yang tadi malam berjubel juga semua sudah pindah ke sana. Setelah kumur, saya, Joni, Egi, Ino dan Bapa Lipus sarapan. Pagi ini menunya masih B2. Setelah itu saya dan Joni kembali ke rumah di Balang Lesa untuk melepas sarung dan pakai pakaian kerja. Sampai di sana juga masih disiapkan sarapan sama Levi, Sofi dan Ende. Kami pun makan lagi. Pokoknya makan terus.

Setelah itu baru kami ke kuburan melihat pemasangan batu nisan Ende Min. Yang kerjakan itu ipar kami, Titus (Emad Veni) yang menikah dengan sepupu kami Lina. Di situ ada Bapa Lipus, Egi, Vinsen Andi dan beberapa ponakan. Mereka bantu dan siap disuruh-suruh untuk membantu Titus. Sedangkan Ino dan Robert di rumah gendang.

Merasa di situ kami tidak kerja selain menonton, saya dan Joni lalu ikut ke rumah gendang. Sejumlah tamu seperti anak rona dari Wontong (keluarganya Ende Lena) sudah datang. Polus dan Bapa Lipus diminta untuk reis (menyapa dan menyambut mereka secara adat). Kami pun ikut-ikutan.

Ketika hari agak siang, truck milik Marten (Bapad Jois) yang memuat tiga ekor babi muncul di halaman rumah gendang dan membongkar muatannya di sana. Tak lama berselang, Polus dan Bapa Lipus yang biasa saya panggil Ema Tua, menyuruh Kalis, Fedis, dan Agus bunuh satu dari tiga ekor babi itu sebagai makanan tamu-tamu yang datang pada hari itu untuk acara kenduri Ende Min dan Bapa Stanis besok hari.

Tanpa menunggu terlalu lama, mereka langsung mengeksekusi. Caranya tidak seperti biasa dan ngeri. Kalis memukul kepala babi itu hingga tewas baru disembelih dengan parang. Saya sendiri tidak berani melihatnya dan lebih memilih mengurung diri di dalam rumah ketika di samping rumah gendang mereka membunuh babi itu. Baru setelah babi itu tewas, saya keluar dan membantu saudara-saudara saya ikut mengurusnya. Yang kerja paling keras ketika itu adalah Agus Abu, Fedis Bagus, Kalis Jeramat, David Siman dan anaknya Beni, Tarsi Mbuak, dan Nandus kakaknya. Saya, Joni dan Mikel juga ada di situ. Tapi praktis kami hanya membantu kerja mereka.

Babi itu kemudian dibakar menggunakan kayu bakar. Sebenarnya ada cara lain, yaitu dengan merebus air telebih dahulu sampai mendidih lalu disiram di atas babi itu untuk kemudian dibersihkan dengan parang. Tujuannya agar bulu-bulunya bisa terlepas. Tetapi cara itu tidak dipilih. Yang dipilih adalah cara membakar. Saya, Mikel dan Joni ikut memegang dan membolak balik babi naas itu.

Setelah bulunya habis, babi itu kemudian dicuci. Anak-anak kecil seperti Angelus Barung (anak teman kelas SD saya Stanis Bandur) dan Nong (anaknya sepupu saya Fedis Bagus) disuruh timba air. Setelah bersih, babi itu baru dibelah, dicincang, dan dipotong-potong menjadi daging. Keempat pahanya dipisah dari kepala, isi perut, tulang rusuk dan punggung.

Persoalan kemudian muncul karena tidak ada anak-anak yang bisa disuruh untuk membersihkan perut babi itu. Satu-satunya pemuda yang bisa disuruh di situ adalah Risan (anak sepepupu saya Vitalis Talis). Karena tidak ada anak kecil, maka saya dan Risan pun pergi membersihkan jeroan babi itu tambak ikan Bapa Lipus. Sesampai di kuburan, Leli Nimat melihat saya tengah memikul jeroan babi itu bersama Risan. Lalu dia menyuruh anak-anak muda yang ternyata menonton pemasangan batu nisan Ende Min. Di situ ada adik bungsu saya Rino. Dia pun berlari untuk mengambil alih tugas saya itu. Tetapi saya terlanjur marah dengan mereka yang tidak menampakkan batang hidungnya di rumah gendang. Begitu dia mendekat saya tempeleng. Kemudian, dia bersama Risan membawa jeroan babi itu. Saya tetap ikut, juga Bapa Lipus. Yang bersihkan itu kemudian Bapa Lipus, Risan, Rino, Saya, Relis, dan Jois (anak sulung Marten dan Leli).

Setelah selesai, kami kembali ke rumah gendang dan makan siang di sana. Kali ini menunya ikan asin dan sayur daun singkong. Setelah makan siang, saya dan Joni kembali ke Balang Lesa untuk mandi dan istirahat sebentar. Jam 17.00, kami kembali ke kuburan, menerobos hujan dengan mantel karena ada jadwal pemberkatan kuburan. Tetapi acara itu batal karena hujan dan ditunda besok pagi (9/7). Kami bertemu mereka yang dari kuburan di “Wela Pusat” perempatan ke kampung asli dan Wejang Buang.

Di situ beberapa saat sebelumnya, baru saja datang saudara-saudari kami Guru Nelis dan anaknya Prisno, Bapa-mama Rista, Ritno, dan Gio. Mereka basah kuyup karena menerobos hujan. Kami pun lalu sama-sama ke rumah Bapak Lipus. Di sana kami bersenda gurau dan bercanda. Tak lama berselang, Yuti dan suaminya Ardi datang. Tapi mereka tidak basah karena pas mereka lewat hujan berhenti. Setelah itu, saya ke rumah untuk mandi. Malam harinya kami sama-sama ke rumah gendang untuk memulai acara kenduri Ende Min dan Bapak Stanis. Malam itu anak rona dan woe semua berkumpul. Saudari-saudari kami bersama suami mereka dan ponakan-ponakan kami juga bersama suaminya.

Setelah makan malam, mereka semua menuju rumah-rumah yang sudah ditetapkan sebagai “kemah” mereka. Saya, Joni, dan Ustin yang tiba malam itu dari Denpasar kembali ke Balang Lesa jam 10 malam karena masih ngobrol dengan saudara-saudara di situ, makan babi panggang dan minum bir traktiran Robert. Sementara Joni makan sirih pinang, kebiasaan ibu-ibu dan bapak-bapak tua di kampung. Sedangkan Ino, Robert, dan Mikel tidur di situ. Amang/kesa/kakek Kala Kembus yang datang dalam keadaan mabuk tidur di situ sambil ngoceh. Malam itu saya tidur cukup nyenyak. (Bersambung)

2 komentar:

  1. Kraeng postingan dite benar-benar khas Manggarai, menarik perjalanan dite dgn beberapa adat manggarai yang disebutkan, mungkin perlu buat bagan untuk beberapa hubungan kekeluargaan yang disebutkan dan juga lebih spesifik menggambarkan detil acara misalnya wajo manuk dan prosesi acara kenduri/pakadia lebih dengan makna yang terkandung didalamnya

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas komentar dan masukannya. Maaf sudah lama absen. Masih ada cerita lebih lanjutnya. Mudah-mudahan masih ada waktu untuk melanjutkan cerita-cerita ini.

    BalasHapus