Jumat, 23 Juli 2010

Meratap di Atas Pusara (3)



Akhirnya kami tiba juga di Wela. Di tengah rintik hujan, saya turun sebentar mengeluarkan koper dan tas untuk lebih dulu dibawa ke rumah. Adik-adik saya Yos, Rino, dan Sofi menjemput. Saya juga ikut berjalan dengan hati-hati ke rumah karena jalan becek dan licin. Setelah berpelukan dan mencium Ende dan Polus (bapak saya bernama Paulus Jalu, tetapi sejak kecil kami panggil dia Polus hingga sekarang), Sofi, Levi dan suaminya Sil serta anak mereka yang sangat cantik Gratia, saya melanjutkan perjalanan ke kuburan.

Di perempatan Wela, Bapak Lipus sudah menunggu. Mengenakan celana pendek dan payung. Begitu kami turun dari mobil, saya berpelukan dengannya di bawah rintik hujan. Dia meneteskan air mata. Saya pun demikian. Bedanya suara tidak keluar. Peristiwa itu berlangsung sebentar. Kami lalu ke kuburan Ende Min yang sangat indah dan mewah terbuat dari batu granit. Di situ baru saya menangis meraung-raung mengenang dan mengingat senyuman, tawa, dan sambutan hangat Ende Min. Tapi apa mau dikata dia sudah dimakamkan di situ.

Yah, ketika Ende Min meninggal saya tidak bisa datang karena sedang berada di India. Khabar kematiannya pun bagaikan petir menyambar di pagi buta. Istri saya, Susi kirim pesan singkat mengabarkan berita duka itu sejak 31 Januari tengah malam. Tetapi saya tidak mendengarnya karena sudah terlanjur terlelap dalam suhu dingin di Bodhgaya, negara bagian Bihar, India. Saya baru mengetahuinya pagi-pagi buta ketika saya ditelepon Susi memberitahu berita duka ini.

Ketika itu saya baru saja selesai sarapan. Begitu mendengar khabar itu, saya langsung histeris di luar hotel kelas melati. Pemandu kami bertanya apa yang terjadi. Saya memberitahukan bahwa orang yang saya cintai meninggal dunia. Ino sebenarnya sudah kirim pesan ke email, tetapi saya tidak bisa buka email di pedalaman India itu.

Saya memang sangat menyesal tidak bisa memberi penghormatan terakhir kepadanya. Terakhir saya melihat wajahnya ketika pulang kampung Juli 2009 saat adik bungsu bapak saya, Stanislaus Nami meninggal. Ketika itu saya pamit dengan dia. Saya memeluk dan menciumnya erat. Dia menangis, seperti biasa dia lakukan setiap kali kami meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat jauh. Di tengah sesenggukan dia berujar, “mungkin ini yang terakhir kamu berjumpa dengan saya.” Waktu itu saya tidak terlalu menganggap serius kalimat itu karena hampir tiap tahun dia mengucapkannya. Tetapi kali ini rupanya benar.

Saya menangis sejadi-jadinya di atas pusaranya, persis seperti ketika hari penguburannya di situ. Ketika dia dikuburkan, saya sedang berada di Varanasi, India, baru tiba dari Bodhgaya setelah menempuh perjalanan dengan kereta khusus, Paranirvana semalam suntuk. Waktu itu, saya menangis sejadi-jadinya di kamar hotel.

Kali ini Robert, Ino, Joni, Leli, dan Bapa Lipus juga menangis. Hanya Polus dan Egi yang tidak menangis dan beberapa saudara lain yang bersama kami berdoa di situ. Tetapi kesedihan tampak juga dalam wajah mereka. Setelah berdoa, Bapa Lipus pimpin doa. Selama berdoa, Robert dan Ino terus menangis. Usai berdoa di situ, saya dan Joni pindah ke kuburan Bapak Stanis di sebelahnya yang juga bagus terbuat dari keramik warna merah dengan salib panjang di atasnya serta batu nisan bergambar Tuhan Yesus. Yang kurang hanya tidak ada nama “Stanislaus Nami”. Saya dan Joni menangis dengan suara keras di sana.

Setelah berdoa kami ke rumah Bapak Lipus. Sampai di sana sudah banyak saudara yang menunggu. Ended Beni (Rancis) juga menangis keras. Lagi-lagi mengenang Ende Min. Tidak ada yang menyapa dan menyambut kami begitu tiba di rumah. Senyum khas Ende Min sudah tiada. Pelukan hangatnya hanya tinggal kenangan. Ah, jadi meneteskan air mata lagi pas bikin tulisan ini.

Setelah bersalam-salaman dengan sanak saudara yang sudah ramai di situ, kami lagi-lagi menikmati kopi panas dan serabe buatan saudari-saudari kami di dapur. Enak dan sedap. Apalagi dinikmati dalam cuaca dingin. Setelah itu saya dan Joni ke rumah sebentar hanya untuk mandi karena seharian belum mandi, ambil jaket dan sarung. Selimutan memang lebih enak. Ternyata di rumah, Levi dan Sofi sudah siapkan makan malam. Kali ini menunya ayam kampung. Wah enak tenan. Setelah makan, kami lalu kembali ke rumah Bapak Lipus untuk makan malam bersama dan membicarakan persiapan kenduri (kelas) Ende Min dan Bapak Stanis yang dimulai tanggal 8 Juli dengan puncak pada 9 Juli. Menu makan malam di rumah Bapak Lipus itu adalah B2. Setelah makan malam, kami tidur di situ dan bangun kembali pukul 02.30 untuk menyaksikan semifinal kedua Piala Dunia 2010 antara Jerman dan Spanyol yang dimenangkan Spanyol 1-0 dengan gol tunggal bek Barcelona Charles Puyol melalui tandukan kerasnya. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar