Kamis, 22 Juli 2010

Meliuk-Liuk di Lereng Gunung (2)

Ke Cancar kami pakai dua mobil. Yang satu travel dan satu lagi mobil milik Bapa Koe Bapad Berty. Saya, Egi, Joni, Robert dan Kaka Memi naik travel. Sedangkan Ino naik di Toyota Avanza. Dari rumah makan Gardena kami berjalan beriringan melewati jalan utama Labuan Bajo di pinggir pantai yang bagai kubangan. Lubang-lubang besar dan penuh genangan air. Becek. Padahal jalan itu ada di depan mata bupati (waktu itu masih Fidelis Pranda yang maju dalam pemilu kada sebagai incumbent, tetapi kalah dari wakilnya Agustinus Dula). Tetapi dia acuh dan membiarkannya. Mungkin karena dia terlalu sibuk menyiapkan pemilu kada. Padahal itu jalan utama. Bule manca negara lalu lalang di sana. Kawasan itu tak ubahnya dengan Kuta Bali.

Meski sudah makan kenyang dan kurang tidur, saya tidak segera ngantuk. Keluar dari Labuan Bajo saya menyaksikan bukit-bukit yang hijau, sebuah pemandangan yang tak lazim kalau pulang libur pada musim panas. Biasanya, bukit-bukit Labuan Bajo pada musim panas, gosong. Tetapi kali ini berbeda. Hijau. Penyebabnya, saban hari Labuan Bajo dan Manggarai pada umumnya masih diguyur hujan seperti pada musim hujan. Mungkin inilah yang disebut perubahan iklim. Musim panas diganti musim hujan. Takutnya nanti pas musim hujan justru kering. Kalau ini terjadi, kasihan bapak saya, petani sederhana yang miliki sawah tadahan di Terang dan hanya mengandalkan air hujan. Jalanan yang mendaki dan berputar-putar turut mengusir rasa kantuk.

Saya baru tertidur selepas Bambor dan baru tersadar lagi di Pela Lembor. Saya tidak menyaksikan keindahan Lengkong Wol bekas proyek ubi kayu aldira dari Bupati Fidelis Pranda yang gagal total. Saya juga tidak menikmati indahnya hamparan sawah Lembor yang begitu luas. Saya baru bangun ketika travel kami berhenti di depan rumah seorang sahabat lama di Jakarta, Hubertus Mega Tanji, yang kini bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di BKKBN di Kecamatan Lembor. Kami panggil dia dari luar rumahnya yang terletak persis di pinggir jalan. Dia keluar. Kami diajak masuk sekeder menikmati kopi hangat, tetapi karena kami terburu-buru, akhirnya kami hanya bercakap-cakap sebentar di pinggir jalan. Kebetulan juga dia seorang diri. Istri dan anaknya sedang ke Ruteng mengunjungi adiknya yang baru saja melahirkan.

Setelah melepas kangen sebentar kami melanjutkan perjalanan. Saya tidak bisa tidur lagi sepanjang jalan sampai di Cancar. Saya kembali menikmati pemandangan alam yang indah dan menghirup udara bersih yang bebas dari polusi seperti udara di Jakarta. Udara dingin mulai terasa setelah melewati Pa’ang Lembor. Kabut mulai menyapa. Jalanan juga basah pertanda baru saja turun hujan di wilayah itu. Kami kembali menikmati jalan berliuk-liuk menyusuri lereng gunung turun ke Cancar.

Sebelum masuk perempatan Ketang, ada empat orang ibu penjual jeruk duduk di dalam gubuknya. Begitu mobil kami melambat mereka berdiri dan menghampiri. Sopir lalu menginjak rem persis di gubuk paling ujung. Seorang ibu muda sambil berlari ringan berujar, “Eh nara daku” (Ah, saudara saya). Kami menduga itu hanya trik pedagang biar dagangannya laku. Egi pun menyahut asal, “Eng e inang (iya tante).” Lalu disambung, “ai nia maig leng ami (memang kami dari mana).” Ibu itu menyahut, “sili mai Wela (dari Wela).” Kami sontak kaget. Ternyata sapaannya tadi bukan trik, tetapi sungguhan. Lebih kaget lagi ketika dia menyebut nama Egi dengan panggilan masa kecilnya, “Gius.” Ah, kami baru tahu ternyata itu Mel Banut, kakak kelas saya satu tahun di SD Inpres Golowelu I dulu. Dia kawin dengan seorang pemuda dari Lentang dekat Ketang yang datang ke situ dengan ojek menjual jeruk di pinggir jalan.

Karena merasa sekampung, kami membeli jeruknya dua bakul kecil, entah isinya berapa, dengan harga Rp 50 ribu. Tiga ibu lainnya berdiri bengong menyaksikan kejadian itu. “Ta Pak agu dami koe ye (Pak beli juga punya kami dong),” pinta mereka. Egi lalu menyahut, “Di rumah kami di Wela juga ada jeruk. Ini kami beli karena kami satu kampung.” Ketiga ibu itu memahaminya.

Dalam perjalanan ke Cancar yang tinggal 30 menit lagi, kami menikmatinya sambil makan jeruk. Jeruknya manis dan dingin seperti baru daimbil dari kulkas. Terasa makin dingin karena udara di luar pun dingin yang masuk lewat kaca mobil yang dibuka lebar. Tepat pukul 15.00 kami tiba di rumah saudari kami Leli Nimat (Mamad Jois) di Popor Cancar. Kami disambut tangis mengenang Ende Min yang meninggal 1 Februari 2010 lalu. Saya pun jatuh dalam tangisan. Ino langsung masuk kamar dan meraung-raung di kamar. Begitupun Robert. Joni juga meneteskan air mata. Hanya Egi dan Bapad Josi (Marten Deus, suaminya Leli) yang tegar. Seusai menangis, kami berpelukan erat.

Setelah kuat semuanya, Leli suguhi kami kopi panas dan kue disusul makan siang. Dia sudah menyiapkan menu opor bebek, sup bebek campur labu yang masih panas, dan sayur kering. Enak dan lezat. Sementara itu di luar hujan mengguyur deras bikin tambah dingin. Setelah lelah dalam perjalanan kami makan dengan lahap. Semua tambah.

Makan usai. Kami bersiap terus ke Wela. Agak terburu-buru karena sopir travel, katanya, akan menjemput penumpang di Ruteng dan kembali ke Labuan Bajo. Perjalanan ke Wela dilanjutkan. Kali ini Ino bergabung dengan kami karena Toyota Avanza Bapad Berty terus ke Ruteng. Leli juga bergabung dengan kami. Sementara Marten menggunakan motor. Hujan terus mengguyur. Kami menerobos hujan dan kabut sejak dari Cancar hingga Wela. Perjalanan Cancar-Wela hanya 15-20 menit. Singkat sekali dan menanjak melewati jalan sempit. Puar Lewe yang gundul sejak tahun 2000 tampak hijau, karena pohon sensus dan tumbuhan lainnya tumbuh subur di musim kering yang masih turun hujan ini, meski hutan lebat tahun 1990-an telah hilang. Kondisi pinggir jalan di Wae Usang dan Wae Siar nyaris kembali ke kondisi seperti tahun 1990-an. Sensus dan Sera tumbuh subur minus pohon-pohon alam yang hilang dan berharap kembali, entah kapan. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar