Rasisme seolah selalu menjadi bagian dari sepak bola. Dalam pertandingan antar klub di banyak liga, rasisme menjadi isu utama. Pelakunya, pemain dan suporter klub. Korbannya kebanyakan para pemain berkulit hitam, terutama yang berasal dari Benua Afrika. Orang-orang dari benua hitam itu seolah-olah menjadi manusia yang tidak berharga hanya karena warna kulit mereka hitam. Mereka sering diolok-olok sebagai kera. Ini terjadi di banyak liga Eropa.
Di La Liga, Spanyol, misalnya. Pemain asal Kamerun Samuel Eto’o ketika bermain di Barcelona selalu menjadi sasaran olok-olokan suporter lawan. Setiap kali menguasai bola, dia diolok-olok dan diteriaki menyerupai suara seekor kera. Karena tidak tahan dengan ledekan berbau rasis itu, suatu ketika Eto’o marah dan mengancam mogok main kalau tetap diolok-olok berbau rasis.
Di pesta akbar sepak bola seperti piala dunia, rasisme juga ada. Pada Piala Dunia 2006, misalnya, “perkelahian” antara bintang dan roh permainan Perancis Zinedine Zidan dan bek Italia Marco Materazzi juga karena ledekan berbau rasis. Zidan terpancing emosinya karena diolok-olok berbau rasis oleh bek jangkung Italia itu. Saking marahnya, dia menanduk Materazzi hingga tersungkur. Zidan lalu diganjar kartu merah dan diusir keluar lapangan. Keluarnya Zidan pada sisa waktu pertandingan yang tinggal sendikit sangat merugikan tim ayam jantan. Tanpa Zidan mereka kalah dari Italia melalui tendangan adu penalti.
Menjelang Piala Dunia Afrika Selatan 2010, isu rasisme juga menyeruak. Pemain tim Oranye Belanda Eljero Elia mengeluarkan kata-kata yang menghina warga keturunan Maroko. Tak ayal komentar Elia itu menyulut kemarahan. Komentar Elia itu terekam dalam sebuah video. Dalam video itu, Ryan Babel yang bermain di Liverpool tengah berada di kamar Elia. Keduanya bermain game. Tampak pula beberapa rekan setim mereka di Timnas Belanda. Entah mengapa, tiba-tiba Elia mengeluarkan kata-kata yang menghina orang Maroko. Sekedar diingat beberap anggota skuad Oranye berasal dari keturunan Maroko.
Elia minta maaf baik kepada warga keturunan Maroko maupun kepada pelatih Bert Van Marwijk. “Aku ingin meminta maaf kepada komunitas Moroko, tapi aku juga ingin menyatakan bahwa aku bukan orang yang rasis. Aku tumbuh di Hague dimana 75 persen penduduknya adalah keturunan Moroko dan aku juga banyak berteman dengan mereka. Apa yang aku katakan aku tujukan kepada temanku, Reduan, yang selalu memanggilku dengan sebutan ‘negro’. Mungkin terdengar seperti hinaan, tapi itu sebenarnya bahasa slang,” jelas Elia.
Guna menjaga kohesi tim dari “perpecahan” dan menghindari meluasnya isu rasisme, pelatih Van Marwijk melarang seluruh timnya menggunakan jejaring sosial Twitter.
Hapus Diskriminasi
Karena masalah rasisme ini menjadi perhatian serius FIFA pada Piala Dunia 2010 ini, maka Presiden FIFA Sepp Blatter pada malam menjelang pembukaan Piala Dunia Afrika Selatan 2010 kembali menegaskan dan meminta untuk menghentikan rasisme. Dia menegaskan, “Sepakbola adalah cermin dari masyarakat kita dan itu semua terpantul dalam sepakbola. Di sana ada kekerasan, kasus doping, penipuan, taruhan, diskriminasi, dan rasisme. Ini semua ada dan hidup dalam masyarakat kita. Kami sudah mulai menyingkirkan hal-hal seperti itu dari sepak bola. Satu yang hal yang praktis sudah bisa diatasi adalah masalah doping.”
Lebih lanjut dia menegaskan, “Pada Piala Dunia Afrika Selatan ini, secara khusus kita mendeklarasikan bahwa kita menentang diskriminasi. Tidak akan pernah ada lagi diskriminasi maupun rasisme baik dalam lapangan sepak bola maupun stadion. Kalau kita tidak bisa mengatasi masalah ini dalam kongres FIFA ke-60 ini, maka kita tidak akan pernah menyelesaikan masalah ini. Kita harus mengakhiri diskriminasi dan rasisme”
Blatter benar. Penghapusan diskriminasi dan rasisme sudah mendesak. Tetapi jangan hanya dalam sepak bola, juga dalam berbagai bidang kehidupan yang lain. Sebab nilai manusia tidak ditentukan oleh warna kulit melainkan oleh kemanusiaan itu sendiri.
Filsuf Jerman Immanuel Kant sudah menegaskah bahwa manusia mempunyai tujuan pada dirinya sendiri. Seseorang tidak bisa dijadikan objek untuk meraih tujuan kita sendiri. Beberapa abad sebelumnya, Fransiskus Asisi yang hidup di Italia pada akhir abad ke-12 hingga awal abad ke-13, juga pernah bilang, seperti apa nilai manusia di hadapan Allah, seperti itulah nilai orang itu dan tidak lebih. Artinya, nilai dan tujuan seorang anak manusia tidak ditentukan sesuatu apa pun, termasuk warna kulitnya, selain oleh kemanusiaannya itu sendiri.
Hanya memang, kampanye penghapusan diskriminasi dan rasisme efektif lewat sepak bola karena melibatkan jutaan orang di seluruh dunia. Selain kampanye, penegakan aturan FIFA soal sanksi baik kepada pemain dan supporter yang berbuat rasis dan diskriminasi harus dijalankan dengan serius. Dengan demikian, sepak bola tidak hanya menyajikan keindahan sepak bola, tetapi keindahan manusia sebagai ciptaan Tuhan, apa pun warna kulitnya. [Alex Madji]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar