Senin, 19 Juli 2010

Gas Phobia

Ledakan gas tiga kilogram yang sudah merenggut puluhan jiwa menjadi salah satu isu dan berita utama pada dua bulan terakhir. Hingga tulisan ini dibuat, ledakan gas tiga kilogram yang merenggut korban jiwa itu masih terus terjadi. Pemberitaan yang begitu gencar membuat masyarakat takut. Mereka takut menggunakan gas. Mereka takut mati hanya karena kesalahan dan kecerobohan manusia/pemerintah pembuat gas tiga kilogram itu. Akhirnya, masyarakat tersandera rasa takutnya sendiri. Yang ada dalam pikiran mereka hanya, “ jangan-jangan nanti gas meledak”. Ketakutan itu bukan hanya menghinggapi satu dua orang, tetapi massal. Bukan hanya pada ibu-ibu rumah tangga masyarakat kelas bawah, tetapi juga anak-anak kuliahan dan sarjana yang tinggal di kos. Tidak ada istilah yang pas untuk melukiskan ketakutan massal masyarakat itu, selain gas phobia.

Saking takutnya, sejumlah rumah tangga kini kembali ke minyak tanah untuk mengepulkan asap di dapur. Padahal ini juga bukan masalah ringan. Sebab minyak tanah juga sulit didapat. Karena itu ada yang ekstrim, terutama untuk mereka yang tinggal di pinggiran kota metropolitan Jakarta, menggunaan kayu bakar. Bagi masyarakat di pedalaman Flores dan pelosok-pelosok lain negeri ini, menggunaan kayu bakar sudah lazim. Tiap hari mereka masak menggunakan kayu bakar. Karena itu mereka tidak peduli dengan berita tabung gas yang meledak saban hari di Jawa, terutama Jakarta.

Gas phobia juga menghinggapi sejumlah mahasiswa dan sarjana filsafat di sebuah rumah kos di Jalan Percetakan Negara, Gang Muhirin, No 25 Cempaka Putih Jakarta Pusat. Rumah kos itu terkenal dengan sebutan “Wisma 25”. Soal nama itu ada ceritanya sendiri. Tabung gas tiga kilogram di dapur kos itu sudah satu minggu kosong. Bukan karena tidak ada uang Rp 15.000 untuk isi ulang, tetapi itu tadi karena takut gas meledak. Untuk memasak terpaksa mereka mencoba mefungsikan kembali kompor gas yang sudah uzur dan sumbunya pun sudah pendek.

Tamu rutin di kos itu, seorang mahasiswa hukum dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Feus “Kupeng” Jebabun ditugaskan membeli sumbu baru. Tetapi sumbu yang dibeli pun ternyata bukan sumbu kompor minyak. Entah sumbu apa. Bukan hanya itu, mereka tidak juga mendapat minyak tanah. Maka hasrat menikmati ikan asin khas Manggarai Flores NTT yang terkenal dengan sebutan “Ikan Cara” (wanginya menyengat, asinnya dahsyat da enak di lidah) harus ditunda.

Jumat (16/7) lalu, saya bertandang lagi ke sana, setelah seminggu berlibur di Wela, sebuah kampung di pedalaman Manggarai, Flores NTT. Egi Patnistik (alumni kos itu) juga ke situ ambil Ikan Cara dan parang yang baru dibawa dari Kampung Wela. Ino Jemabut, salah satu penghuni kos itu minta Kupeng menggoreng Ikan Cara. “Tidak ada minyak,” jawab Kupeng. Lalu saya timpali, “Kenapa dengan gas kalian?” Fernando Nato, mahasiswa filsafat sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta menyahut, “takut gas meledak.” Hal itu dibenarkan Kupeng. Itu sebabnya mereka tidak juga membeli gas. Waktu itu ada juga penghuni kos lainnya seperti Frans Jelata, seorang guru komputer dan alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Ledalero Maumere Flores NTT, Leksi Armanjaya, staf ahli di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan master hukum dari UKI, dan Hironimus Rama, wartawan Harian Warta Kota yang juga alumnus STF Driyarkara Jakarta.

Atas usul saya, Nando dan Kupeng akhirnya pergi beli gas. Tidak sampai lima menit mereka pulang dengan gas tiga kilogram baru di tangan. Langsung dipasang, tetapi tidak berhasil. Lantas mereka mau pergi untuk menukarkannya. Tetapi saya cegat sebelum keluar pintu ruang tamu. Saya cek, tidak ada yang aneh dengan tabung gas itu. Karetnya ada. Lalu saya ambil alih. Saya bawa kembali ke dapur dan pasang gas itu dengan selang gas yang dibeli di super market, bukan pemberian gratis pemerintah. Dan bisa. Tidak ada yang luar biasa dan tidak ada yang aneh.

Jadi, begitulah kalau pekerjaan dilakukan dalam ketakutan pasti tidak menghasilkan apa pun. Meskipun kehati-hatian dan kewaspadaan tetap penting. Tetapi jangan menjadi takut, apalagi kalau berlebihan. Terlepas dari itu, fakta ini hanya contoh kecil betapa ketakutan pada gas tiga kilogram itu atau gas phobia itu tidak hanya menghinggapi ibu-ibu rumah tangga kelas bawah (gas tiga kilogram adalah program pemerintah untuk mengganti penggunaan minyak tanah bersubsidi yang kebanyakan dipakai rumah tangga sederhana), tetapi juga kelompok kelas menengah dan kelompok intelektual semacam komunitas Wisma 25 itu. [Alex Madji]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar