Jumat, 27 Juli 2012

Upaya Terakhir Foke


Kalau Anda melintasi Jalan Gatot Subroto, Jakarta mulai dari Semanggi sampai Pancoran, Anda coba memperhatikan iklan-iklan luar ruang yang berjejer di sisi kiri-kanan jalan tersebut. Ada begitu banyak baliho di sepanjang jalan itu. Semuanya meminta perhatian pengguna jalan.

Tetapi saya tertarik hanya pada sejumlah baliho. Isinya antara lain, Jakarta tanpa macet, disertai gambar jalan tol yang sepi dari mobil yang melintas. Ada lagi baliho bertuliskan, sekolah gratis sampai SMA. Dan, kesehatan gratis bagi warga Jakarta kalo sakit. Semua iklan ini diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan di bawah iklan ini tertulis, “Space Available”.

Di atas motor saya mencoba mengotak atik kira-kira apa maksud baliho-baliho itu. Karena dikeluarkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, maka pertama-tama yang melintasi pikiran saya adalah bahwa konteks pemasangan baliho ini adalah Pemilihan Umum Kepala Daerah atau Pemilukada DKI Jakarta.

Pikiran itu muncul begitu saja karena teringat bahwa Gubernur DKI Jakarta saat ini, Fauzi Bowo yang akrab dipanggil Foke, maju dalam Pilkada untuk masa jabatan kedua kalinya. Sayangnya, pada pemungutan suara 11 Juli lalu, Si Kumis, kalah telak dari pasangan Joko Widodo alias Jokowi dan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Beda perolehan suaranya hampir 10 persen. Sebuah jurang yang dalam. Karena tidak ada peraih suara 50 persen plus satu, maka dua pasangan ini, dari lima pasang, maju ke putaran kedua yang rencananya digelar 20 September mendatang.

Saya lalu menyimpulkan, oh, baliho-baliho tadi adalah upaya Foke untuk mengejar defisit perolehan suara sebesar hampir 10 persen dari Jokowi-Ahok itu. Ini hanya salah satu cara. Tetapi seberapa ampuh janji-janji ini? Hanya waktu yang akan menjawab dan hanya para pemilih di DKI yang berhak menentukan. Tetapi fakta saat ini adalah Jakarta macetnya makin parah. Pendidikan masih sangat mahal. Kesehatan? Tidak yang gratis. Semua dibayar Padahal, sudah lima tahun Foke memimpin Jakarta. Tetapi kenapa hal-hal itu baru disampaikan sekarang. Kemana saja selama lima tahun lalu? Ini pertanyaan rakyat jelata yang tiap hari menikmati kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas Jakarta.

Cara lainnya yang ditempuh Foke untuk mendongkrak perolehan suaranya setelah kekalahan telak pada putaran pertama itu adalah dengan mulai ramah dengan wartawan. Seorang teman wartawan, dalam status facebokknya menulis, "Kok hari ini Pak Foke berubah ya. Dengan wartawan ramah. Padahal, sebelumnya, huh...Malah wartawan dibentak."

Terlepas dari apapun caranya, meraih defisit suara 10 persen itu tidak mudah. Apalagi, kalau pada putaran kedua nanti semua warga Jakara berprinsip "asal bukan Foke". Jadi, Foke memang kalah pamor dari Jokowi yang sudah terlanjur distigmakan sebagai orang yang akan membawa perubahan di Jakarta, seperti yang dilakukannya di Solo. Warga Jakarta sudah punya pilihan, dan pilihan itu adalah Jokowi.

Sekedar pembanding sederhana, pada pemilu presiden atau Pilres 2004, Megawati Soekarnoputri yang ketika itu masih menjadi presiden kalah dari SBY-Jusuf Kalla pada putaran pertama. Keduanya maju pada Pilpres putaran kedua. SBY saat itu distigmakan sebagai orang yang menjanjikan perubahan, sedangkan Megawati Status Quo. Kalau dihitung berdasarkan sumber daya yang ada, Megawati masih berpeluang mempertahankan jabatan presidennya pada putaran kedua. Tetapi rakyat terlanjur berperinsip, asal bukan Mega. Maka, ketika putaran kedua tiba, SBY-JK menang telak atas Mega-Hasyim Muzadi, ketika itu.

Saya khawatir, Pilkada DKI Jakarta juga begitu. Masyarakat DKI saat ini sudah memegang prinsip asal bukan Foke. Maka peluang mantan Sekda DKI itu pun tipis. Tetapi, ini belum final. Sebab politik bukan seperti hitungan matematika. Karena itu, segala usaha, termasuk dengan janji-janji yang pasti tidak terpenuhi dalam baliho-baliho yang Anda lihat di Sepanjang Jalan Gatot Subroto tadi, tetap perlu dilakukan. Siapa tahu, bisa membalikkan keadaan dan hitung-hitungan sederhana saya tadi. (Alex Madji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar