Setelah seminggu mengalami Bell's Pasy, Sabtu, 29 Oktober 2011 siang, saya menjalani fisioterapi penyakit lumpuh pada wajah itu di Siloam Hospotal Lippo Karawaci.
Begitu masuk rumah sakit tersebut, kami (bersama istri, kedua anak kami dan dua orang yang membantu kami) mampir sebentar di salah satu kantin rumah sakit yang lobinya seperti hotel tersebut.
Dari situ kami (Saya, Istri saya Susi, dan carrol) langsung ke lantai lima, tempat fisioterapi berlangsung. Sementara Nani, Nita dan putra bungsu kami Enrique bertahan di kantin itu sambil sesekali lihat badut yang menghibur anak-anak di lobi rumah sakit itu.
Setelah menunggu sebentar, sambil tidur di kursi di depan kasir, saya masuk ke ruang dokter. Dokter yang tampak masih muda itu memanggil saya. Saya terbangun dari kantuk dan bergegas.
Sesampai di dalam, dia bertanya kenapa baru datang sekarang. Saya bilang, "Karena saya masih harus minum obat dari dokter saraf, Dokter Yusak." "Obatnya sudah habis?" tanya dia. "Masih berlangsung," timpalku.
Dia lalu menyuruh sanya menggelembungkan kedua pipi. Kemudan dia menusuknya. Pipi kanan masih bocor. "Ini bocor ya," ujarnya singkat.
Dia melanjutkan, "Kesembuhan Bell's Pasy ini sangat tergantung usaha Bapak. Bisa sembuh, tapi saya tidak bisa menjamin 100 persen kalau Bapak tidak aktif melatih di depan cermin. Karena itu kalau di depan cermin, alis coba diangkat ke atas, lalu pipi sebelah kanan juga diangkat," ujarnya sambil memberi contoh pada wajahnya sendiri.
Tak lama berselang dia pergi. "Nanti terapinya di ruangan lain. Silahkan menunggu," imbuhnya.
Saya lalu kembali ke deretan kursi di depan kasir tadi. Belum lama saya duduk, nama saya dipanggil. "Bapak Alexander Madji," panggil seorang suster terapis yang mengenakan kaos berkerah warna abu-abu pagi itu.
Saya yang didampingi sitri dan anak sulung saya, Carrol, masuk ke kamar yang dibatasi kain panjang degan kamar sebelahnya. Saya tidur di atas dipan kecil yang dibungkus seprei putih polos. Sang suster menjelaskan, akan dipasang alat sengatan listrik pada lima titik dengan durasi 3 menit pada masing-masing titik. Sengatan listrik itu dipasang pada dahi sedikit di atas alis mata, pipi, bibir atas, samping mulut sebelah kanan, dan pipi sedikit bagian bawah.
Rasanya seperti ditusuk jarum tumpul. Tidak sakit, kecuali yang di dahi karena, kata susternya, ada luka jerawat.
Setelah itu selesai, muka saya dipijet. Tidak dengan kencang tapi lembut. Saya disuruh buka mata lebar-lebar, senyum lebar-lebar, mengerutkan dahi sekuat-kuatnya, dan menyuruh buka mata kiri sambil mata kanan dipejam. Terasa susah dan berat. Tapi harus dilakukan. "Ini untuk merangsang sel-sel yang rusak itu," ujar suster terapis berkulit kuning langsat tersebut.
Terapinya sendiri tidak lama. Hanya 30-45 menit. Selesai itu kami belanja bulanan dan kembali ke rumah. Saya harus melakukan terapi ini minimal enam kali. Maka setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu dua minggu pertama November 2011, saya harus bolak balik rumah sakit tersebut.
Sesampai di rumah, saya mengikuti anjuran dokter tadi. Kebetulan di samping pintu kamar mandi rumah kami, ada cermin. Maka setiap kali lewat di situ saya praktekkan apa yang dilakukan suster terapis tadi. Dengan satu harapan, bisa cepat pulih. Ya, semoga bisa cepat pulih dan kembali ceria seperti sedia kala. (Alex Madji)
nice ..
BalasHapus