Jumat, 21 Oktober 2011
Korporasi Media dan Masa Depan Demokrasi
Perkembangan media massa Indonesia dalam satu dekade terakhir sungguh pesat. Berbagai media baru tumbuh. Sementara yang lama terancam. Bisnis media bukan lagi monopoli sejumlah pengusaha saja seperti Jakob Oetama dengan Kompas-Gramedia-nya, Dahlan Iskan dengan Jawa Posnya, Goenawan Mohammad dengan Temponya, atau Surya Paloh dengan Grup Medianya.
Konglomerat kakap yang tadinya tidak main di bisnis media mulai merambah bisnis ini. Sebut saja sebagai contoh, perusahan rokok Djarum yang baru saja membeli Kaskus, sebuah forum komunitas terbesar di Indonesia. Atau Lippo Grup yang dalam beberapa tahun terakhir menggeluti bisnis media di bawah Berita Satu Media Holdings. Begitupun Chairul Tandjung yang terjun ke media dengan bendera Trans Corporationnya.
Lebih unik lagi, dalam beberapa tahun terakhir, tren bisnis media di Indonesia adalah grouping atau pengelompokan. Satu grup bisa memiliki begitu banyak media. Penelitian yang dilakukan Merlyna Lim, Director of Participatory Media Lab at ASU, Faculty of School of Social Transformation and Consortium for Science, Policy, and Outcomes, Arizona State University, menunjukkan bahwa paling tidak ada 12 grup usaha media di Indonesia.
Ke-12 grup itu adalah, Media Nusantara Citra (MNC) Group milik Hary Tanoesoedibjo, Mahaka Group milik Erick Tohir, Kelompok Kompas Gramedia milik Jakob Oetama, Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan, Media Bali Post Group milik Satria Narada, Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja, Lippo Group milik James T Riady, Bakrie & Brothers milik Anindya Bakrie, Femina Group milik Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo, Media Group milik Surya Paloh, Mugi Reka Aditama (MRA) Group milik Dian Muljani Soedarjo, dan Trans Corpora milik Chairul Tanjung.
Tetapi sebenarnya masih ada group lain yang tidak dimasukkan Merlyna dalam penelitiannya yaitu Tempo Group milik Goenawan Muhammad dan Bisnis Indonesia Group milik R Sukamdani S Gitosardjono. Kedua grup ini juga cukup kuat dan tangguh serta, terutama Bisnis Indonesia, memiliki usaha lain selain media seperti 12 grup di atas.
Selingkuh
Dalam pemaparan hasil penelitiannya berjudul “At Crossroads: Democratization & Corporatization of Media in Indonesia” pada Kamis, 13 Oktober lalu di Jakarta, Merlina Lim mengatakan, sebagian besar pemilik grup media itu juga aktif di partai politik. Bahkan ada yang menjadi petinggi partai. Kalaupun ada yang tidak aktif di partai, paling sedikit mereka dekat dengan penguasa dan petinggi partai.
Dia misalnya menyebutkan, Surya Paloh pernah menjadi petinggi Partai Golkar lalu keluar dari partai beringin itu dan mendirikan Nasional Demokrat. Aburizal Bakrie, pemilik Bakrie & Brothers adalah Ketua Umum Partai Golkar. Harry Tanoesoedibjo baru-baru ini masuk ke Partai Partai Nasional Demokrat. Sementara Lippo, meski tidak aktif di partai politik, tetapi dengan menempatkan Theo Sambuaga sebagai Presiden Direkturnya cukup memperlihatkan preferensi politik James T Riady. Theo Sambuaga adalah Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Sedangkan Chairul Tanjung dan Dahlan Iskan memang tidak masuk partai politik tetapi mereka sangat dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Satu-satunya grup media yang dinilai Merlyna Lim masih independen adalah Tempo. Tetapi sebetulnya kalau Merlyna teliti, Tempo juga tidak independen. Sebab pada pemilu 2009 lalu, pemilik grup itu, Goenawan Muhammad menjadi pendukung Wakil Presiden Boediono. Hubungan itu tetap mesra sampai sekarang. Sebagai imbalannya, Tempo menang tender iklan pengumuman tender seluruh proyek pemerintah yang sebelumnya dimenangkan Media Indonesia. Kini Goenawan Muhammad masuk atau paling tidak mendukung Partai SRI, sebuah partai yang akan mengusung Sri Mulyani menjadi Presiden 2014 mendatang.
Korporasi media dan hubungannya dengan partai politik dan penguasa ini, menurut Merlyna sungguh mengancam demokrasi. Sebab terjadi hegemoni informasi di sana. Berita-berita yang terkait dengan masalah yang membelit korporasi pemilik media tidak akan dibuka ke pulik. Dia memberi contoh kasus Lumpur Lapindo yang pemberitaannya kalah marak dari berita koin untuk Prita. Padahal, kasus Lumpur Lapindo itu sungguh dahsyat.
Pemilik media yang dekat dengan kekuasaan juga akan dengan gampang dikendalikan oleh penguasa. Kebobrokan pemerintah sulit terungkap ke publik karena media-media pun dibungkam.
Dengan kata lain, perselingkuhan antara korporasi media dengan penguasa partai politik akan sangat mengancam demokrasi di negeri ini. Proses menuju masyarakat komunikatif, meminjam bahasa Jurgen Habermas, sulit tercapai. Karena itu, menurut Merlyna, perlu ada media alternatif, seperti blog atau media sejenis itu dan media sosial.
Media-media kecil seperti ini akan bisa menyelamatkan demokrasi kalau bersatu padu “melawan” korporasi media untuk tetap menyampaikan fakta yang tidak diberitakan media yang sudah dikuasai korporasi tersebut. Dia memberi contoh, di Amerika Serikat, blog-blog jaringan warga hispanik mampu melengserkan pemimpin tertinggi CNN dari jabatannya menyusul pernyataan rasialisnya terhadap warga hispanik.
Tetapi untuk itu perlu ada sinergitas antara blog yang satu dengan yang lain dan perlu membangun jaringan seperti yang dilakukan warga hispanik AS itu. Hanya dengan begitu, media-media seperti ini bisa menyelamatkan demokrasi dari pembajakan para konglomerat-penguasa.
Atau cara lainnya adalah perlu aturan tegas dari pemerintah agar hak masyarakat untuk mendapatkan informasi apa pun tetap terjamin. Pemerintah, kata Merlyna, perlu membatasi korporasi media. Tetapi hal ini cukup sulit dilaksanakan karena penguasa juga perlu media untuk memelihara dan memoles citra pemerintahannya. Untuk itu dia harus berbaikan dengan para pemilik media. Pemerintah tidak mungkin membuat aturan keras yang membatasi penguasaan media.
Kalau itu yang terjadi, maka demokrasi yang dibangun dengan darah dan nyawa mahasiswa dan rakyat ini sedang melewati persimpangan jalan dan berada di tubir jurang. Itu sebabnya Merlyna memberi judul penelitiannya: At Crossroads: Democratization & Corporatization of Media in Indonesia. (Alex Madji)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar