Kamis, 13 Oktober 2011
Jakob Oetama dan Dahlan Iskan
Pada 27 September 2011, pendiri Kelompok Kompas Gramedia (KKG) Jakob Oetama merayakan ulang tahun ke-80. Perayaan itu ditandai dengan peluncuran buku super tebal “Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama” karya St Sularto terbitan Penerbit Buku Kompas. Tadinya, buku ini dirancang sebagai otobiografi Jakob Oetama. Tetapi kemudian berubah menjadi tulisan Sularto tentang bosnya itu.
Sebagai tokoh pers yang sangat disegani, ulang tahun Jakob Oetama mendapat perhatian publik. Tak terkecuali dari kalangan pers.
Pemilik Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan, misalnya membuat tulisan tentang Jakob Oetama yang dimuat di hampir seluruh media Grup Jawa Pos. Dalam tulisan itu, Dahlan Iskan yang kini menjadi Direktur Utama PLN antara lain mengagumi Jakob yang dianugerahi umur yang panjang.
Menurut catatannya, Jakob adalah segelintir wartawan yang berusia panjang. Ini langka terjadi. Yang kerap terdengar adalah wartawan cepat mati karena berbagai penyakit akibat alpa menjaga kesehatan karena terlalu sibuk dengan pekerjaan baik di kantor maupun lapangan ataupun karena gaya hidup.
Selain itu, Dahlan Iskan mengagumi campur sinis tentang kepimpinan Jakob Oetama yang begitu lama di Kompas. Bayangkan, JO, begitu dia disapa di internal KKG, menjadi pemimpin redaksi hingga usia 70 tahun. Bahkan hingga kini dia masih sebagai pemimpin umum. Meskipun, operasional KKG sudah diserahkan ke CEO tangguh Agung Adiprasetyo. Selain itu, JO juga memegang jabatan di Serikat Penerbit Surat Khabar dalam kurun waktu yang cukup lama sebelum diserahkan begitu saja kepada Dahlan Iskan.
Dahlan Iskan sendiri berhenti menjadi Pemimpin Redaksi pada usia 37 tahun dan mundur total dari manajemen Jawa Pos Grup pada usia yang masih produktif. Bahkan sekarang seluruh kendali Jawa Pos Grup dialihkan ke CEO yang masih berumur 34 tahun. Sedangkan Dahlan Iskan sendiri hanya sebagai pemegang saham
Kritik yang paling tajam Dahlan Iskan terhadap JO dan Kompasnya adalah gaya jurnalistik Kompas yang disebutnya “penyakit Kompas”. Dahlan Iskan dengan terus terang mengaku bahwa dia paling tidak suka dengan jurnalisme seperti ini. Karena itu, kepada para wartawan baru Jawa Pos, Dahlan Iskan menekankan untuk tidak meniru gaya jurnalisme Kompas atau tidak terjangkit penyakit Kompas. Dahlan yang pernah melakukan transplantasi hati di Cina itu mengaku tidak suka dengan “penyakit Kompas” itu karena Jawa Pos lebih memilih gaya bertutur.
Lebih dari itu, Dahlan Iskan salut dengan JO, menghargai, mengagumi pria kelahiran 27 September 1931 itu. Tetapi pada saat bersamaan dia menyatakan bahwa Kompas adalah pesaingnya. Tetapi persaingan keduanya berlangsung sehat justru karena keduanya memiliki visi yang berbeda. Kompas, kata Dahlan Iskan, menguasai nusantar dari pusat, tetapi Jawa Pos menguasai nusantara dari daerah. Persaingan sehat itu membuat keduanya sama-sama besar.
Fortiter in re, suaviter in modo
Setelah membaca buku “Syukur Tiada Akhirn Jejak Langkah Jakob Oetama”, kritikan Dahlan Iskan soal “penyakit Kompas” itu terjawab tuntas. Menurut buku setebal 659 halaman itu, jurnalisme Kompas ini oleh Rosihan Anwar disebut “jurnalisme kepiting”, sebuah jurnalisme yang bisa menyesuaikan diri dengan situasi. Tetapi dia tidak terhanyut situasi yang ada. Dia tetap memiliki prinsip dan memegang teguh prinsip itu. Jurnalisme seperti inilah yang membuat Kompas bisa hidup di segala zaman.
Ternyata, gaya yang disinis oleh Dahlan Iskan itu memiliki dasar yang kuat dan kokoh. Jakob Oetama mendasarkan diri pada pepatah latin yang berbunyi “fortiter in re, suaviter in modo”. Artinya halus dalam cara, teguh dalam prinsip. Gaya boleh luwes dalam menyampaikan berita tetapi tetap ada prinsip yang teguh dan tidak bisa ditawar. Inilah yang dipegang Jakob Oetama dalam membangun KKG.
Ini pulalah kekhasan Kompas yang tidak dimiliki media lain. Meskipun Dahlan Iskan benci dengan gaya ini, tetapi itulah gaya yang dipilih Kompas dan siapa pun layak menghargai dan menghormatinya, seperti juga mereka menghormati dan menghargai gaya jurnalistik media lain.
Prinsip itu berurat berakar dalam pribadi Jakob Oetama. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang pendidikannya. Dia dididik di Seminari Menengah Mertoyudan selama enam tahun. Kemudian masuk ke Seminari Tinggi Kentungan, meski hanya sebentar sebelum akhirnya mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas. Bahkan Jakob sendiri tidak tahu alasan mengapa dia mundur.
Kemudian dia memulai dunia kerja di lingkungan Fransiskan dengan menjadi guru di sekolah Mardiyana Cipanas yang dikelola Fransiskan kemudian mengelola Majalah Penabur yang didirikan oleh Fransiskan. Bahkan profesi wartawan yang dipilih Yakob ditentukan oleh Fransiskan.
Ketika dia hendak memilih menjadi guru seperti bapaknya, seorang Pastor Fransiskan, misionaris asal Belanda bernama Pastor JW Oudejans OFM memintanya untuk menjadi wartawan. Sebab ketika itu wartawan Katolik sangat jarang sementara guru sudah bergelimpangan. Maka terceburlah Jakob menjadi seorang wartawan dan ternyata sukses hingga usia senjanya yang ke-80. [Alex Madji]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar