Jumat, 10 Juni 2011
Mereka-reka Pernyataan SBY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pembukaan President Lecture di hadapan para pemimpin muda potensial di Jakarta, Kamis (9/6/2011) berjanji bahwa dia, istri, dan anak-anaknya tidak akan maju dalam pemilu presiden 2014.
Dia bilang begini, “Nama saya SBY. Saya Presiden RI ke-6. Saya bukan calon presiden 2014. Istri saya, sekali lagi, istri saya dan anak-anak saya tidak akan dicalonkan pada pilpres 2014. Saya juga tidak mempersiapkan siapa pun. Biarkanlah demokrasi berjalan dan rakyat memilih sendiri pemimpinnya.”
Pernyataan ini bukan hal baru. Berulang kali SBY menegaskan hal ini dalam berbagai kesempatan. Tetapi pernyataan itu sebaiknya jangan diterima sebagai sebuah kebenaran mutlak. Sebab pernyataan ini diucapkan oleh seorang politisi kawakan dan karena itu pula bernilai politis sangat tinggi. Dalam politik tidak ada yang pasti. Hari ini A, besok bisa B. Dalam politik, satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri.
Dengan menegaskan kembali hal itu, sebenarnya SBY mau menyampaikan pesan tertentu. Dengan pernyataan itu SBY mau memperlihatkan wajah demokratis, taat konstitusi dan tidak haus kekuasaan. SBY mau memperlihatkan bahwa dia adalah seorang negarawan.
Konstitusi memang sudah membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode. Tetapi ada kekhawatiran publik bahwa SBY akan mengamandemen pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) yang membatasi masa jabatan presiden tersebut melalui fraksi-fraksi pendukung pemerintah di MPR untuk tetap berkuasa. Apalagi, dorongan untuk amandemen konstitusi sangat tinggi, terutama dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Sekilas, kekhawatiran dan keresahan itulah yang mau ditepis SBY dengan pernyataan tadi.
Dan, dengan mengatakan bahwa istri dan anak-anaknya juga tidak akan menjadi calon presiden pada 2014, SBY memperlihatkan wajah yang teduh bahwa dia bukan tipe pemimpin yang mau memelihara dinasti kekuasaannya seperti Kim Jong-Il di Korea Utara (Korut) yang mempersiapkan putranya Kim Jong-un sebagai penggantinya. Atau SBY tidak mau seperti almarhum Presiden Argentina Nestor Kirchner yang mendorong istrinya Cristina Kirchner untuk maju dalam pemilu presiden Negeri Tango itu, dan akhirnya terpilih, karena dilarang konstitusi untuk maju lagi untuk periode ketiga. Meskipun Nestor Kirchner masih sangat populer saat itu.
Apa ujung dari semua ini? Tidak lain ada politik pencitraan. Ini adalah upaya mengangkat kembali citra SBY yang terus menurun dalam satu tahun terakhir. Sebab, survei berbagai lembaga menunjukkan bahwa popularitas SBY anjlok tajam dari sekitar 60 persen setelah pemilu 2009 ke angka di bawah 50 persen pada awal tahun ini. Begitupun tingkat elektabilitas istrinya, Ny Ani Yudhoyono masih rendah dan kalah jauh dari Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
Dengan demikian, kalau citranya pulih dan popularitas naik kembali dan terjaga hingga menjelang pemilu presiden 2014, kemungkinan faktanya akan lain. Mari kita tunggu kebenaran pernyataan ini menjelang 2014. [Alex Madji]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar