Kamis, 23 Juni 2011

Jangan Pandang Sebelah Mata Tukang Tambal Ban


Perjalanan saya ke kantor hari ini (Kamis, 23 Juni 2011) agak sedikit tidak menyenangkan. Penyebabnya sederhana. Ban motor saya pecah. Untunglah pecahnya saat lampu merah di Pos Pengumben, Jakarta Barat, ketika hendak melewati Jalan Panjang. Lebih beruntung lagi, tidak jauh dari situ ada dua tempat tambal ban. Yang satu ke arah kantor Indo Pos, yang lainnya di Jalan Panjang ke arah ITC Permata Hijau.

Nah yang bikin capek adalah saya terlebih dahulu mendorong motor ke tukang tambal ban di jalan menuju Indo Pos itu. Sudah ngos-ngosan karena harus dorong motor di jalan tanjakan, si abang tukang tambal ban menolak karena karet tambalnya habis. Saya lalu balik kanan dan dorong ke tukang tambal ban di Jalan Panjang. Untunglah menuju ke situ jalannya menurun sehingga tidak membuat nafas ngos-ngosan lagi.

Sesampai di situ saya kebelet pipis pula. Setelah mengamati situasi, di belakang kios kecil pemilik tambal ban ternyata ada toilet super kecil. Ada closet biru kusam dengan air seember besar yang ditampung dari sebuah selang kecil yang dialir entah dari mana. Di bawah closet itu, ada sebuah pipa pembuangan yang ujungnya saya tidak lihat. Pipislah saya di situ. Yeah, lumayan lega.

Sekembalinya dari situ, saya ngobrol dengan tukang tambal ban itu. Pemuda itu mengaku bernama Ahmad. Asalnya Cirebon, Jawa Barat. Dia bekerja bersama seorang temannya dari Sumatera Utara yang saat itu masih tidur pulas di atas sebuah dipan kecil. Ada televisi 14 inchi juga di situ.

Menurut Ahmad, tambal ban itu buka 24 jam dan sudah bertahan tujuh tahun. Karena itulah mereka bagi dua shif. Temannya yang masih terlelap itu dinas malam, sementara dia dinas siang. “Kalau malam ada saja yang datang tambal ban atau isi angin,” ujar Ahmad.

Usaha keduanya bukan hanya tambal ban. Di samping tempat tambal ban itu, ada kios kecil. Isinya roti, air mineral, rokok, teh botol, dan sejumlah keperluan lainnya. Tambal ban dan jaga kios dijalankan secara bersamaan.

Menurut pria lajang ini, pendapatan mereka dari usaha tambal ban bisa mencapai Rp 100.000 per hari. Kadang lebih. Artinya, dalam sebulan mereka mendapat di atas Rp 3 juta. Pendapatan ini sudah jauh di atas upah minimum regional (UMR) DKI Jakarta.

Pendapatan itu hampir sama atau malah lebih besar dari penghasilan seorang sarjana yang bekerja kantoran. Bedanya, pekerja kantoran rada bersih dan necis, tetapi tukang tambal ban itu bergulat dengan oli dan debu. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah jangan menganggap enteng mereka, apalagi menghina mereka sebagai pekerja rendahan.

Ketika hendak mengakhiri catatan ini saya tiba-tiba teringat lelucon teman saya begini: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Lalu teman saya itu menambahkan, “Kecuali angin, dikuasai orang Batak.” Horas Bah. [Alex Madji]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar