Senin, 13 Juni 2011

Menguji Sebuah Kejujuran dengan Segelas Urin


Saya mau men-share-kan cerita lucu dan konyol. Hari Minggu 12 Juni 2011 kemarin, saya main ke sebuah rumah kos di kawasan Cempaka Putih Jakarta Pusat. Di rumah kos itu, di salah satu kamar, tinggallah dua saudara sepupu, Leksi Armanjaya dan Jonsi Lopong.

Leksi seorang profesional muda, sementara Jonsi adalah seorang calon mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebagai kakak, Leksi menekankan kejujuran kepada sepupunya itu. Karena itu dia menguji seberapa jujur Jonsi ini.

Suatu kali, Leksi tinggalkan sprite di kamar kos itu. Begitu pulang kantor, sprite itu habis. Leksi tidak pernah protes. Beberapa hari kemudian, Leksi tinggalkan madu. Habis juga. Lagi-lagi tidak ada ungkapan kemarahan dari Leksi. Tetapi pada saat bersamaan muncul pikiran nakal untuk mencobai Jonsi.

Hari berikutnya, Leksi menabung urinnya sendiri di sebuah gelas kaca. Warna urin itu mirip bir. Lalu dia letakkan secara baik, layaknya minuman yang akan diminum. Kebiasaan Jonsi menikmati apa saja yang ditinggal saudaranya itu kambuh.

Mata Jonsi tiba-tiba tertuju pada gelas kaca itu. Dalam hati dia berpikir, “Ah enak juga kalau minum bir siang-siang begini.” Tanpa pikir panjang, Jonsi mengambil gelas “bir” itu dan langsung di arahkan ke mulutnya.

Seketika itu juga dia menghirup bau tidak sedap. Seteguk “bir” itu sudah masuk ke mulutnya, untung belum ditelan. Saat itu dia tersadar bahwa itu bukan bir benaran, tetapi urin.

Jonsi mengisahkan kisah ini di sela-sela kami membicarakan sesuatu yang serius. Tak pelak, cerita dan pengakuan yang jujur dan polos itu ini mencairkan suasana dan mengocok perut. Tetapi begitulah sebuah kejujuran diuji dengan segelar uirn. Intinya, kejujuran penting dalam hal sekecil apa pun. [Alex Madji]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar