Kamis, 21 Februari 2013 sore. Saya berjalan kaki melintasi Jalan Gatot Subroto dari Kuningan hingga kawasan Senayan, Jakarta. Di depan Polda Metro Jaya, saya mendapati seorang bapak sedang mengerek sebuah gerebak barang kecil ukuran persegi empat. Di bawahnya ada roda-roda kecil dan ditarik dengan nilon kecil.
Di atas gerobak itu tergeletak seorang pria dewasa tanpa kedua tangan dan kaki. Dia tertelungkup di atas sebuah kasur kapuk kecil sambil membaca sebuah buku. Dibolak baliknya halaman-halaman buku itu dengan lengannya yang mini. Dia mengenakan kaus kuning dengan celana pendek warna merah garis-garis. Kepalanya dengan rambut yang digunting pendek ditutupi topi kotak-kotak khas Jokowi-Ahok. Nama pria ini Deny. Sementara sang penarik adalah Kodir, ayahnya sendiri. Atau di Jakarta lebih dikenal dengan panggilan Bapa Deny. Mereka berasal dari Ciamis, Jawa Barat.
Selain menarik gereobak itu, Kodir menggendong sebuah kotak yang berisi rokok-rokok berbagai merek untuk dijajakan. Sambil menjual rokok, dia terus menarik putranya yang tergolek lemas itu.
Saya lalu mengajak Kodir dan Deny berbicara sebentar. Kodir pun berkisah tentang Deny. Menurutnya, Deny cacat sejak dalam kandungan ibunya. Dia dilahirkan dalam keadaan cacat seperti saat memasuki usianya yang ke-19 tahun saat ini. "Tidak punya keturunan seperti ini sebelumnya. Anak pertama saya, laki-laki lahir dan bertumbuh normal," ceritanya.
Tetapi Kodir tidak pernah menyesal memiliki anak seperti Deny. Tak tampak kesedihan pada wajahnya. Baik Kodir maupun Deny selalu tersenyum. Dia menerima kenyataan ini dengan lapang dada. "Allah sudah memberikannya seperti ini, ya mau gimana lagi," ujarnya sambil terus mengerek Deny dan membunyikan pluit bila hendak menyeberang jalan.
Dia melihat ini sebagai sebuah ujian. Ujian ini semakin berat ketika pada 2006 lalu, istrinya dipanggil Tuhan karena kanker kandungan. "Ibunya sudah dipanggil Tuhan, saya diberi yang seperti ini. Ya mau gimana lagi. Kesabaran dan ketabahan saya diuji," ujarnya.
Kadir dan putranya itu tinggal di bilangan Cipinang, Jakarta Timur. Pada sore itu, mereka keluar dari tempat tinggalnya pukul 14.00 WIB, di antar seseorang ke kuningan. Dari kuningan lalu Kodir berjalan kaki sambil menarik Deny di atas gerobak. Di atas Semanggi dia belok ke bawah Jembatan Semanggi lalu naik untuk pindah ke sisi jalan Gatot Subroto yang lain kembali ke kuningan dan selanjutnya kembali ke tempat tinggalnya di Cipinang.
Kodir menceritakan bahwa dia tidak meminta-minta dengan membawa Deny kemanapun dia pergi. Dia hanya menjajakan rokok. Tetapi kalau ada orang yang iba dengan Deny lalu memberikan tanda kasih mereka, Kodir tidak menolak. "Saya tidak meminta pak. Itu dosa buat saya. Tetapi kalau ada yang memberi sebagai ungkapan belas kasihan, saya terima," tuturnya.
Dengan cerita pengalaman ini, saya hanya ingin berbagi tentang perjuangan hidup, ketabahan dan ketekunan dalam menjalani hidup ini. Apapun pengalaman yang kita alami. Setiap peristiwa dan pengalaman selalu ada hikmahnya. Petik saja hikmah dari setiap pengalaman hidup Anda. Jangan banyak mengeluh. Tetap ceria dalam pengalaman seburuk apa pun seperti yang diperlihatkan oleh Kodir dan putranya, Deny. Mari memulai. (Alex Madji)
Deny sedang ditarik ayahnya Kodir (tak tampak) (Foto: Ciarciar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar