Rabu, 29 Februari 2012

Ramainya Kredit Sepeda Motor


Hampir setiap pergi dan pulang kantor, saya mendapati promosi kredit sepeda motor. Berbagai cara dilakukan dealer untuk menarik perhatian pengendara motor dan mobil. Biasanya, mereka mendirikan tenda di sebuah lapangan kosong dilengkapi dengan suara musik yang kencang. Kalau dealer sepeda motor itu lebih besar dan mempunyai dana yang besar, biasanya ada seorang penyanyi yang menghibur pengunjung. Di sekitar tenda atau di pinggir jalan, ada beberapa orang yang menyebarkan selebaran informasi harga dan cicilan sepeda motor. Tentu saja, selebaran itu dilengkapi dengan nama dan nomor kontak dealer.

Saya sering kali menerima selebaran itu, karena merasa iba dengan orang yang menyebarkannya. Pasti mereka dibayar jika selebaran habis dibagikan. Walaupun, tak lama kemudian kertas akan lepas dari tangan.

Itu baru penawaran yang ada di jalan-jalan. Belum lagi kalau datang ke mal, pasti ada pameran yang menawarkan kemudahan untuk membeli sepeda motor. Iming-imingnya adalah down payment (uang muka) yang sangat murah, minimal Rp 500.000 dan kita bisa membawa sepeda motor baru ke rumah.

Siapa yang tak tertarik dengan tawaran menggiurkan ini? Pastinya semua orang, terutama masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah akan melirik, kemudian tergoda untuk membelinya.

Saya pun akhirnya bisa membuktikan bahwa memang banyak orang yang tertarik dengan tawaran itu. Siang itu, sebelum berangkat ke kantor, saya menyempatkan diri ke kantor Adira Finance untuk membayarkan angsuran kredit sepeda motor milik adik saya. Setelah sempat bolak balik di Jalan Raya Ciledug selama 45 menit, akhirnya saya menemukan kantor pembiayaan bidang otomotif yang sangat terkenal itu.

Baru mau memarkir motor, saya sudah kaget. Ratusan motor diparkir di halaman kantor Adira. Saat membuka pintu, saya lebih kaget lagi, karena orang berkerumun di depan pintu. Ruang tunggu untuk mengantri di loket kasir, penuh sesak. Seluruh tempat duduk terisi, sehingga banyak orang harus berdiri menunggu giliran. Saya sempat bingung ke mana mengambil nomor antrian. Dan ternyata si resepsionis tertutup kerumunan orang-orang sehingga tidak terlihat.

Berjubel
Kekagetan saya tampaknya belum usai saat menerima nomor antrian. Saya mendapat nomor antrian 362, padahal nomor yang dipanggil baru nomor 272. Kalau saya hitung, diasumsikan setiap nomor antrian mendapat waktu dua menit saja, maka saya harus menunggu dua jam lebih untuk bisa membayar angsuran. Fiiuuhh… lama sekali. Bahkan lebih lama dibandingkan mengantri di bank.

Saya pun bertanya kepada seorang ibu yang duduk di sebelah saya. “Nomor antrian berapa bu? Lama ya nunggunya,” tanya saya. Ibu itu pun menjawab sambil tersenyum kecut, “Antrian 285. Ya lumayan, sudah sempat makan mie ayam di luar.” Hmmm pastinya lama juga tuh.

Ada tiga loket kasir, tetapi hanya dua yang buka. Satu kasir yang tutup bertuliskan “istirahat”. Apakah itu yang membuat antrian jadi panjang dan lama? Pikiran saya langsung melayang ke jalan raya yang selalu dipenuhi dengan sepeda motor. Pastinya bukan karena loket kasir yang terbatas, tetapi jumlah debitur (peminjam) yang sangat banyak. Apalagi, kalau DP-nya murah sekali.

Pertanyaan berikutnya, mengapa mereka tidak menggunakan fasilitas membayar dengan ATM? Adira telah bekerja sama dengan dua bank swasta besar untuk bisa membayar tagihan. Kembali saya mengira-ngira, karena mereka datang dari golongan menengah ke bawah, mungkin saja mereka tidak punya rekening di bank.

Perkiraan-perkiraan saya itu bisa salah. Tetapi, terlepas dari itu semua. Membanjirnya sepeda motor di jalan-jalan akibat pemerintah tidak menyediakan transportasi massal yang nyaman dan aman bagi masyarakatnya, sehingga mereka harus berjuang sendiri untuk memiliki alat transportasi yang murah. Meskipun tingkat kenyamanannya kadang tidak terjamin. Sebab tidak sedikit pengandara motor meninggal karena kecelakaan. Sungguh menyedihkan. (Putri Biyan)

Foto: Putri Biyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar