Jumat, 21 September 2012
Angkringan Membuat Yogya Dikangeni
Malam sudah larut. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Hari sudah beralih dari Kamis, 20 September 2012 ke Jumat, 21 September 2012. Sudut-sudut lain Kota Yogyakarta sudah sepi dan warganya terlelap dalam mimpi. Tetapi di sepanjang Jalan Mangkubumi dan pinggiran utara Stasiun Tugu, suasananya berbeda. Ramai, penuh tawa, dan ceria. Suara gitar musisi jalanan gemerincik menambah suasana menjadi semakin hangat.
Wilayah di sekitar Stasiun Tugu, Yogyakarta itu menjadi salah satu tempat favorit yang patut dikunjungi bila Anda ke Yogyakarta. Di sini terkenal sebagai tempat angkringan. Tempat makan dan minum favorit para mahasiswa, pemuda, dan pemudi Yogyakarta. Bukan hanya mereka. Orang-orag tua pun datang ke sini untuk menikmati suasana Jogja, seperti kata Katon Bagaskara dalam lagunya. Bukan hanya karena harganya yang murah. Tetapi juga suasananya membuat tempat itu menjadi lain dan unik.
Malam itu, seperti juga malam-malam lainnya, orang-orang duduk bersila di atas tikar plastik di sisi Jalan Mangkubumi. Begitu juga di seberang jalan yang berada di sisi luar tembok pinggir rel kereta bagian utara Stasiun Tugu. Ada juga yang memilih duduk di atas kursi yang ditempel rapat di tembok pinggiran rel. Atapnya hanya terbuat dari tarpal.
Dinginnya malam itu tak terasa karena sajian wedang jahe, susu jahe, STMJ, atau kopi panas yang dicelupi arang. Ditambah nasi kucing degan berbagai lauk seperti tempe mendoan, tahu bakar, dan sate. Sajian-sajian itu semakin enak karena suasananya juga enak.
Sekelompok pemuda di samping kiri kami (saya bersama dua rekan wartawan lain dari Warta Kota dan Suara Indonesia) asyik bermain kartu sambil sesekali tertawa lepas di sela-sela cerita lucu mereka. Sedangkan kelompok lainnya di samping kanan kami dengan dialek dari Timur, Makassar, berceloteh dengan dialek mereka yang khas. Seorang gadis di antara mereka ikut ngerumpi sambil membaca sebuah buku sambil menyeruput kopi panas. Sementara di ujung sana, sekolompok musisi jalanan terus mendendangkan lagu mereka sambil berharap bisa mengumpulkan rupiah demi rupiah.
Ketika malam semakin larut, tiba-tiba tiga orang perempuan cantik nan seksi dalam balutan blus merah yang bagian belakangnya panjang hingga betis, tetapi bagian depan hanya di atas lutut serta dengan lengan tak terbungkus mendatangi kelompok-kelompok orang itu. Sambil menjinjing tas merah mereka menjajakan rokok, A Mild. Satu bungkus dijual dengan Rp 11.000. Mereka didampingi seorang pria berseragam hitam-hitam mendatangi kelompok-kelompok orang itu satu demi satu. Sambil menjual rokok, mereka menenteng iPad. Ini sebuah strategi penjualan? Mungkin saja. Saya tidak sempat tanya.
Seorang di antara tiga gadis yang mengenakan sepatu warna merah berhak tinggi itu mengaku bekerja sampai jam 04.00 pagi. Mereka memang baru mulai bekerja dari pukul 16.00 WIB dan mengunjungi tempat-tempat ramai di Yogyakarta yang istimewa itu. Mereka melenggak lenggok di sepanjang jalan tersebut bagai berjalan di atas catwalk.
Ya, angkringan ini menjadi salah satu alasan mengapa Yogyakarta selalu dikangeni. Angkringan seperti ini sudah mulai dicoba di tempat lain di luar Yogyakarta, seperti Jakarta. Tetapi suasana Angkringan Yogyakarta tetap saja beda dan khas. Inilah salah satu keistimewaan Yogyakarta.
Masih ada banyak tempat lain yang membuat Yogyakarta dikangeni. Salah satunya Malioboro yang juga patut dikunjungi setiap kali ke Yogyakarta. Nah bagi Anda yang pernah bepergian, apalagi pernah tinggal di kota ini, kalau kembali Yogya jangan lupa bernostalgia di angkringan favorit Anda. (Alex Madji)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
suasana nokturnal di yogya ya? belum pernah dateng ke yogya sih.. tapi ada rencana kesana :)
BalasHapusMakasih bro. Datanglah ke Jogja dan cobalah nongkrong di angkringan....
Hapus