Rabu, 22 Agustus 2012

Paki Jarang Bolong, Menghapus Dosa Bersama


Catatan ini adalah segelintir dari sebuah catatan enam halaman tentang penti, sebuah acara di Kampung Wela, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) 4-7 Juli 2012. Untuk kepentingan blog, tulisan ini hanya mengangkat hal yang bersifat umum saja.
===

Tanggal 4 sampai 9 Juli 2012, saya pulang kampung menghadiri sebuah acara langka: "Paki Jarang Bolong, koso long de golo, wasi saki one nai” dan “Penti Weki Peso Beo". Ini dua acara berbeda yang digabung, dan lalu disebut: "Penti Paki Jarang Bolong".

“Paki Jarang Bolong, koso long de golo wasi saki one nai” secara harafiah berarti mengorbankan kuda hitam kecoklatan untuk membersihkan bau amis dari kampung dan menyucikan hati. Acara seperti ini sangat jarang dilakukan. Acara yang berlangsung 4-7 Juli 2012 di Kampung Wela, Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu adalah yang pertama dalam satu abad terakhir di kampung tersebut. Sedangkan penti weki peso beo dilakukan sekali dalam 10 tahun. Bahkan, bisa sekali dalam lima tahun, tergantung kemampuan kampung itu.

Paki jarang bolong berangkat dari sebuah refleksi yang mendalam atas apa yang terjadi di kampung tersebut. Terjadi disharmoni dalam relasi dengan alam di kampung itu akibat terlalu banyak dosa yang dibuat para penghuninya baik oleh generasi sekarang maupun generasi terdahulu. Dosa-dosa yang dilakukan generasi sekarang antara lain adalah banyaknya perempuan yang ditinggal suaminya karena merantau ke Malaysia dan Kalimantan lalu melahirkan anak tanpa diketahui siapa ayahnya. Dosa-dosa ini membuat kampung itu berbau amis dan hati para penghuninya penuh dekil (saki). Bahkan direfleksikan bahwa akibat dosa-dosa itu dikhawatirkan Wela akan menjadi Sodom dan Gomora dalam cerita Kitab Suci.

Dosa seperti ini kemudian mengakibatkan usaha pertanian seperti sawah gagal panen. Kopi tidak berbuah. Lebih dari itu, dalam 10 tahun terakhir, banyak warga kampung yang meninggal dunia akibat penyakit yang sulit dimengerti orang kampung yang berpikiran sederhana. Tidak sedikit yang terkena stroke atau tiba-tiba meninggal karena sakit jantung. Padahal dari sudut makanan, orang kampung yang semuanya petani sederhana nyaris tidak pernah mengkonsumsi makanan-makanan berlemak tinggi seperti orang-orang diperkotaan.

Gagal panen, kopi yang tidak berbuah, dan banyaknya warga kampung yang meninggal itu dinilai sebagai "kutukan" Tuhan karena dosa yang dilakukan sejumlah warga kampung saat ini. Mungkin juga apa yang terjadi sekarang akibat dosa generasi-generasi sebelumnya. Maka muncul kesadaran bahwa perlu ada proses pendamaian dengan Sang Pencipta untuk mengembalikan keharmonisan.

Hebatnya, dosa yang dilakukan oleh segelintir orang itu diambil alih oleh kampung menjadi dosa bersama atau dosa sosial. Dosa segelintir orang itu ditanggung oleh seluruh warga kampung. Maka pengakuannya pun dilakukan secara bersama-sama dengan mempersembahkan jarang bolong. Jarang bolong adalah silih atas dosa bersama tersebut baik yang dilakukan oleh generasi sekarang maupun oleh generasi-genarasi sebelumnya. Jarang bolong adalah semacam katalisator. Harapannya, setelah acara tersebut dimulai hidup baru yang lebih bersih, jauh dari bau amis dengan hati yang putih, seputih salju dan selembut kapas. (Alex Madji)

Hewan kurban Jarang Bolong (Foto: Alex Madji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar