Panas terik pukul 14.00 WIB membakar tubuh pada Senin, 12 Agustus 2013. Saya menelusuri Kampung Deret di Jalan Tanah Tinggi 1A RT 014/01, Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Senen, Jakarta Pusat.
Saya masuk dari RT 013, melewati gang super sempit. Dipadati oleh berbagai perabotan dan warga yang sedang duduk-duduk santai dalam suasana libur lebaran sore itu. Motor diijinkan lewat pada gang sempit yang sudah tertutup berbagai tarpal. Di ujung gang yang sumpek tersebut, ada jalan yang lapang. Sangat kontras dengan ruas gang yang baru saya lewati.
Dua orang anak perempuan usia sekolah dasar sedang asyik bermain bulu tangkis tanpa net di jalanan lebar tersebut. Dua anak lain, laki-laki, sedang bermain mobil-mobilan dengan remote. Sementara lima orang dewasa duduk pada kursi-kursi yang ditempatkan di bawah sebuah pohon yang tidak terlampau rindang. Dua buah mobil, satunya masih anyar, parkir di mulut gang masuk Kampung Deret tersebut dari arah jalan Letjen Soeprapto.
Sayang, ruas jalan itu tidak panjang. Rumah-rumah di sisi kanan (dari arah RT 013) atau sebelah kiri dari mulut gang Jalan Letjen Soeprapto berjejer rapih. Masih baru. Jumlahnya tidak banyak. Hanya 50 unit. Bangunan-bangunan itu ada yang dua lantai. Ada pula yang satu lantai. Yang tanahnya sempit dibangun kembali ke atas, sedangkan yang lahannya lebar dibangun cukup satu lantai. Sebagian besar berwarna hijau muda. Ada juga yang berwarna hijau pekat. Sedangkan interiornya dominan putih. Lantainya sudah berkeramik putih bersih. Satu-satunya bangunan berwarna putih adalah mushola yang terletak di tengah-tengah jejeran rumah-rumah tersebut.
Saya coba masuk ke rumah salah satu warga setempat, Wahyu Muhammad (32). Rumah nomor 5 atau rumah lama bernomor 9 memiliki dua lantai dengan lima kamar tidur. Dua kamar di lantai bawah, tiga kamar di lantai atas. Memasuki rumah itu, bak masuk sebuah hotel bintang tiga. Bersih dan rapih. Beberapa anak kecil terbaring tanpa kasur di depan meja televisi sambil menyaksikan acara sebuah stasiun televisi. Tidak ada barang lain di situ, selain meja dan televisi tersebut. Dapurnya pun lega di luar ruang tamu.
Kompleks itu sungguh indah dipandang dan nyaman baik dari luar maupun di dalam rumah. Belum lagi, persis di samping tembok pembatas dengan rel kereta api, atau di depan rumah-rumah itu ada taman. Rumputnya belum tumbuh benar. Pohon-pohon yang sudah ditanam bertumbuh segar, meski belum besar. Beberapa tanaman merambat pun sudah ditanam. Pada rumah-rumah tadi juga sudah disiapkan tempat untuk tanaman merambat. Terbayang, betapa hijaunya kompleks itu beberapa bulan mendatang. Pemandangan ini tampak kontras dengan tetangga sebelah, yaitu RT 013. Penampilan RT ini kumuh dan penuh sesak.
Ketika berbincang-bincang dengan sekelompok orang dewasa di bawah pohon tadi, suara "lonceng" perlintasan kereta api Senen berbunyi kencang memekakkan telinga. Di tengah, suara keras dan bising itu, Wahyu Muhammad mengaku sangat senang menjadi penghuni Kampung Deret tersebut. Warga lain pun mengamininya. "Kalau dulu sumpek, sekarang lega. Anak-anak bisa bermain di sini, kita bisa duduk-duduk seperti ini," ujar pria yang mengaku bekerja sebagai wiraswasta dalam bidang ekspedisi itu.
Dia mengaku, jalanan menjadi lebih lebar karena rumah-rumah itu dibangun lebih ke belakang dari bangunan lama. “Kalau sebelumnya di atas got, sekarang di belakang got,” imbuhnya sambil melihat ke got yang sebagian belum tertutup itu.
Wahyu juga makin senang karena kampung mereka kini tidak mudah dilalap si jago merah lagi. Pasalnya, seluruh rumah di Kampung Deret itu terbuat dari baja. Kayu hanya untuk kusen dan pintu. Langit-langit rumah pun tidak menggunakan tripleks lagi, tapi dari gipsum. "Kata Jokowi (Gubernur DKI Jakarta), di sini sudah bebas dari kebakaran," kata putra Ketua RT setempat, Muhammad Yahya.
Di bulan Agustus ini, di depan rumah-rumah itu dipajang bendera merah putih. Sedangkan alamat lengkap RT tersebut terpampang di depan mushola yang kata Wayhu dibangun dari sumbangan dari Walikota Jakarta Pusat.
Wahyu bercerita, Kampung Deret ini mulai dibangun pada Mei 2013 dan selesai satu minggu sebelum lebaran 2013. Selama pembangunan, warganya tinggal di gubuk-gubuk yang mereka bangun di samping tembok pembatas rel kereta api. Ada juga yang kontrak di tempat lain. Sedangkan soal biaya, warga setempat mengaku tetap mengeluarkan anggaran. Tetapi jumlahnya sangat kecil. Itupun, agar pembangunan kembali rumah mereka sesuai selera pemilik.
Kampung Deret itu sendiri belum diresmikan. Kedatangan Jokowi pada Kamis, 8 Agustus 2013 lalu, pada hari pertama lebaran hanya untuk halal bihalal. "Tidak tahu kapan ini diresmikan," ucap warga lainnya, seorang perempuan yang sore itu mengenakan daster ungu berbunga.
Tiga bulan lalu, kondisi Kampung Deret di RT 014 ini tidak beda dengan RT 013. Sumpek dan padat. Tetapi kini, situasinya berbeda. Lega dan enak ditempati. Warga dari RT lain pun iri. Inginnya, RT mereka juga dibuat seperti itu. “Tidak tahu nasib mereka. Apakah dibangun setelah lebaran ini atau kapan,” kata Wahyu tentang RT 013 tetangganya.
Kampung Deret di Tanah Tinggi ini memang baru menjadi proyek percontohan. Tetapi bila seluruh kawasan kumuh di wilayah DKI Jakarta ditata seperti ini, suatu saat kota ini akan menjadi lebih bersahabat, beradab, dan manusiawi. Apalagi kalau kampung-kampung deret itu nanti dilengkapi dengan taman, tempat warga berinteraksi satu sama lain. Ini bisa menjadi salah satu solusi mengurangi penyakit sosial warga perkotaan. (Alex Madji)
Keterangan Foto: 1. Rumah-rumah Kampung Deret setelah ditata kembali. 2) Interior rumah Kampung Deret yang bersih, rapih, dan indah. 3). Kondisi RT 013, tetangga Kampung Deret. Kondisi ini juga sama dengan RT 014 sebelum menjelma menjadi Kampung Deret.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar