Kamis, 12 September 2013

Faktor Pendongkrak Popularitas Jokowi

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebentar lagi akan genap satu tahun memimpin Jakarta. Dalam kurun waktu itu, popularitas Jokowi yang sudah terkenal sejak menjadi Walikota Solo melejit tajam.

Berbagai survei menempatkan pria kurus penyuka musik metalica ini melampaui nama-nama beken yang sudah lebih dulu terkenal. Popularitas yang tinggi itu membuatnya disebut-sebut sebagai presiden berikutnya, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kepopuleran Jokowi ini turut mengerek Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai asalnya, sehingga dalam rapat kerja nasional (rakernas) akhir pekan lalu, partai moncong putih itu mentargetkan meraih 27 persen suara pada pemilu tahun depan. Optimisme ini selaras dengan hasil survei terakhir dari Litbang Kompas yang menyebutkan mereka sebagai partai dengan tingkat elektabilitas paling tinggi. Hal itu pun tidak terlepas dari figur Jokowi yang bintangnya terus bersinar terang.

Tetapi, PDI-P tidak mau tergesa-gesa mengumumkan Jokowi sebagai capres, meskipun sebagian pengurus daerah mengusulkan nama itu. Sebab, wewenang menentukan capres ada di tangan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum. Pada saatnya, putri Bung Karno ini akan mengumumkannya, meski dalam sambutan rakernas itu dia sudah memberi signal jelas terkait pencalonan Jokowi.

Kembali ke masalah popularitas Jokowi. Mantan penguasaha mebel ini populer karena sejumlah hal berikut ini: Yang pertama dan utama adalah model kepemimpinanannya yang dialogis komunikatif. Filsuf Jerman dari Skolah Frankfurt, Jurgen Habermas menyebut hal ini sebagai unsur penting dalam demokrasi untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kehidupan publik yang demokratis tidak bisa berkembang kalau tidak dibicarakan dengan warganya. Sebuah keadaan ideal perlu dibicarakan bersama dan bukan dipaksakan oleh orang, kelompok, atau ideologi tertentu.

Jokowi menerjemahkan dan menjalankan teori Habermas ini dengan blusukan, sebuah istilah yang kedengarannya “ndeso”. Dia tidak duduk di balik meja kerjanya di Balaikota tetapi turun ke lapangan, melihat sendiri permasalahannya, berkomunikasi dan berdialog dengan warganya, mendengar apa persoalan mereka lalu dicarikan solusi yang tepat. Dan yang tidak kalah penting, setelah solusi ditemukan, lalu dieksekusi dengan cepat. Tidak menunda-nunda. Dan, eksekusi solusi itu terus dikontrol dan evaluasi agar berjalan benar. Ini semua dilakukan untuk kebaikan bersama.

Setelah Jokowi sukses dengan blusukannya, tidak sedikit pemimpin yang lalu mengkalim bahwa blusukan ini bukanlah produk Jokowi. Paling baru, peserta konvensi Partai Demokrat Pramono Edhie Wibowo mengklaim sudah duluan blusukan dari Jokowi. Sebelumnya, lawan-lawan politik Jokowi menyerangnya dari sisi ini karena blusukan menjadi kekuatan Jokowi. Media, pengamat politik, dan aktivis LSM dipakai untuk menyerang Jokowi. Menurut mereka, blusukan tidak penting-penting amat. Bahkan hanya menghabiskan dana daerah.

Faktor kedua yang menaikkan popularitas Jokowi adalah kemampuannya menata Waduk Pluit. Meski sedikit diwarnai insiden, tetapi penataan dan normalisasi waduk ini akhirnya berjalan lancar dan disambut positif oleh masyarakat. Liputan media televisi dan online memperlihatkan bahwa tidak sedikit warga yang menikmati fasilitas umum ini untuk berekreasi, meski penataannya belum rampung 100 persen.

Faktor ketiga, dan ini yang paling fenomenal adalah kemampuan Jokowi "menaklukkan" para pedagang kaki lima (PKL) Tanah Abang. Jokowi adalah satu-satunya Gubernur DKI Jakarta yang berhasil memindahkan PKL Tanah Abang ke Blok G tanpa konflik sedikit pun. Bahkan para preman di sana tidak berkutik. Sempat ada clash sedikit antara kelompok tertentu, tetapi Wakil Gubernur Ahok menunjukkan kelasnya sebagai seorang pemimpin yang tegas dan berani.

Bagi Jokowi, menata PKL tanpa konflik bukanlah hal baru. Salah satu yang membuat dia terkenal selama memimpin Solo adalah karena kemampuannya merelokasi PKL tanpa konflik sedikit pun. Hal ini pulalah yang membuat dia terkenal di seantero tanah air hingga akhirnya terpilih sebagai Gubernur Jakarta.

Keberhasilan ini kemudian mendapat tanggapan dari Fauzi Bowo, Gubernur DKI yang digantikan Jokowi. Dia juga mengklaim sukses menata PKL di Pasar Senen ketika masih memimpin wilayah ini. Tetapi Foke lupa bahwa dia tetap saja gagal menata PKL di Tanah Abang dan "tunduk" pada penguasa ilegal wilayah tersebut.

Keempat, Jokowi mampu membangun proyek percontohan Kampung Deret di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Dengan proyek ini, Jokowi menyulap kampung kumuh menjadi sebuah kompleks yang indah, rapih, serta enak ditempati dan dilihat. Akan sangat bagus kalau semua wilayah kumuh di Jakarta dibuat seperti ini. Bila Jokowi mampu melakukannya secara serentak, maka dia akan semakin populer dan alam semesta pun menyetujui dia sebagai Presiden Indonesia berikutnya.

Keempat hal itu riil dan bisa dilihat dengan mata kepala sendiri hasilnya. Bukan hanya ocehan di media massa. Masih banyak gebrakan lain yang dilakukan Jokowi-Ahok dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Yang masih ditunggu warga adalah realisasi pembangunan angkutan massal baik MRT maupun monorel sebagaimana dijanjikan. Ini yang belum kelihatan wujudnya. Bila ini juga kelihatan, maka pantaslah Jokowi menikmati popularitas yang tinggi itu. (Alex Madji)

Sumber foto: www.indonesiarayanews.com

1 komentar: