Selasa, 16 September 2014

Antara Paus Fransiskus dan Falcao

Permulaan September 2014, pelatih Arsenal Arsene Wenger terbang ke Roma, Italia. Dia didapuk menjadi pelatih salah satu tim dalam pertandingan amal untuk mempromosikan perdamaian dunia yang digagas Paus Fransiskus. Satu tim lainnya diasuh pelatih Timnas Argentina, Gerardo "Tata" Martino.

Yang terlibat dalam pertandingan ini adalah para mantan bintang sepakbola, para pemain dan pelatih sepakbola dari berbagai agama di seluruh dunia seperti Kristen, Islam, Hindu, Budha, dan Yahudi. Sebut saja misalnya, Diego Armando Maradona, Roberto Baggio, pelatih Atletico Madrid Diego Simeone, Javier Mascherano, Javier Zanetti, dan masih banyak yang lain lagi.

Tidak penting hasil dari pertandingan ini. Yang terpenting adalah pesannya, yaitu mempromosikan perdamaian dunia. Pasalnya, sepakbola adalah sarana yang paling bagus dalam mempromosikan dunia. Banyak nilai yang terkandung dalam sepakbola yang bisa mendorong perdamaian dunia.

Sepulang dari Roma, Wenger dikritik pedas di Inggris, terutama oleh fans Arsenal. Gara-gara terlibat dalam kegiatan amal ini, Arsenal gagal mendapatkan Radamel Falcao yang akhirnya memilih bergabung dengan Manchester United. Padahal, kalau Wenger tidak ke Roma, kemungkinan besar Falcao hijrah ke Emirates.

Tetapi yang menarik perhatian saya adalah jawaban Wenger menanggapi kritikan tersebut. Menurutnya, datang ke Vatikan dan bertemu Paus Fransiskus adalah kesempatan langka dan tidak bisa dilewatkan begitu saja. Karena itu dia lebih memilih ke Roma dan bertemu Sri Paus daripada mengejar Falcao di bursa transfer.

Mengapa Wenger begitu ngotot ke Vatikan? Ini dia jawabannya. "Saya adalah seorang Katolik. Ini sebuah pengalaman dan sesuatu yang sudah lama saya terima. Bertemu Paus adalah sesuatu yang langkah yang tidak ingin melewatkannya," kata Wenger seusai pertandingan amal tersebut.

Dia melanjutkan, "Dia (Sri Paus) adalah seorang yang hebat, sangat rendah hati dan mau bertemu dengan siapa pun. Dia juga seorang penggemar sepakbola. Dia pendukung San Lorenzo di Argentina. Anda tidak bisa lahir di Argentina dan tidak dapat menjadi seorang penggemar sepakbola. Dia berbicara dengan begitu banyak orang Argentina, karena itu saya ingin menyampaikan salam dan berkata, 'sangat menyenangkan bertemu Anda dan sampai jumpa."

Selain itu, kedatangan Wenger ke Roma juga karena pertandingan tersebut adalah untuk perdamaian dan demi saling pengertian antaragama. "Saya kira sekarang kita berhadapan dengan perang antaragama di Gaza. Karena itu, pertandingan ini sangat penting," tutupnya.

Lagipula, kata Wenger, dia sudah bekerja keras sepanjang jendela transfer dan mendapatkan sejumlah pemain berkelas. Karena itu tidak berhasil mendapatkan Falcao sama sekali tidak mengurangi kualitas timnya dalam mengarungi musim ini. Meskipun, Arsenal terseok-seoak di awal musim 2014-2015.

Bagi Wenger yang terpenting adalah bisa beraudiensi dan berjabat tangan dengan Paus. Sri Paus adalah orang hebat dan momen itu tidak ingin berlalu begitu saja. Lebih dari itu, Wenger, bersama Paus, ikut mendorong perdamaian dunia, meski melalui pertandingan amal yang kalah prestisius dengan Liga Utama Inggris ataupun Liga Champions. (Alex Madji)

Keterangan foto: Arsene Wenger memperhatikan pemainnya Diego Armando Maradona pada laga amal untuk perdamaian dunia di Stadion Olimpico awal September 2014. Foto: www.dailymail.co.uk

Rabu, 10 September 2014

Mengenang Liputan Pemilu Timor Leste 2007

Sabtu, 17 Maret 2012, Republik Demokratik Timor Leste menggelar Pemilihan Umum Presiden. Ini adalah pemilu ketiga negara itu sejak merdeka dari Indonesia. Membaca berita pemilu presiden Timor Leste ini, saya teringat pengalaman meliput pemilu presiden 2007 di negara bekas provinsi ke-27 Indonesia tersebut. Ketika itu, suasana masih tegang karena baru dilanda konflik politik dan kekerasan horishontal.

Pertikaian politik terjadi antara kelompok Partai Fretelin di satu pihak dengan tokoh utama Mari Alkatiri melawan Xanana Gusmao dan Jose Ramos Horta di pihak lain. Pertikaian politik ini berujung pada jatuhnya Mari Alkatiri dari kursi Perdana Menteri. Pertarungan ini sebenarnya pertarungan idiologis antara kelompok sosialis (Fretelin) dengan kelompok pragmatis/kapitais diwakili Xanana Gusmao dan Ramos Horta yang didukung asing terutama Australia.

Konflik ini ditambah lagi oleh pemecatan sekelompok militer. Kasus inilah yang kemudian menimbulkan peristiwa berdarah dan memakan korban jiwa. Kelompok tentara yang dipecat ini menjadi kelompok pemberontak pimpinan Mayor Alfredo. Konflik kemudian merembet ke pertikaian antara warga Timor Leste bagian timur dan warga Timor Leste bagian barat. Suasana mencekam masih terasa ketika saya tiba di Dili tujuh tahun silam.

Korban konflik pun masih tinggal di tenda-tenda pengugsi di tengah Kota Dili ketika itu, tidak jauh dari Hotel Timor, Hotel Indonesianya, Timor Leste, tempat Presiden SBY menginap saat kunjungan ke Dili Agustus 2014.

Pemilu Timor Leste tujuh tahun silam itu berlangsung hanya sehari setelah paskah. Saya tiba di Dili persis Jumat Agung. Begitu tiba di Bandara Lobato Dili yang dulu disebut Bandara Comoro, saya memilih menginap di Hotel Timor Lodge. Tidak jauh dari Bandara.

Hotel itu sebenarnya terbuat dari petikemas yang disulap jadi hotel. Tapi yang nginap di situ kebanyakan bule. Punya kolam renang. Resepsionisnya seorang perempuan Filipina. Sedangkan satpamnya mantan tentara Fretelin yang berjuang di hutan Timor Leste ketika menjadi bagian wilayah Indonesia. Bahasa Indonesia mereka patah-patah.

Selepas mengurus hotel, saya langsung mencari Gereja Katedral. Tapi sayang, ketika itu ibadat Jumat Agungnya masih lama. Tarif taksi dari Comoro ke tegah kota Dili 1 dolar Amerika Serikat. Sopir taksi setempat berbicara Bahasa Indonesia. Siaran-siaran radio pun masih campur Bahasa Tetun dan Indonesia. Sopir taksi mengingatkan saya untuk tidak pulang terlalu malam karena situasi belum kondusif. Taksi pun tak berani pulang di atas jam enam. Maka setelah melihat Dili sepintas lalu dan mengunjungi Kantor KPU-nya, saya kembali ke hotel menggunakan taksi dengan tarif yang sama. Hari itu dilewati tanpa mengikuti Jumat Agung.

Jam demi jam di hotel saya lewati dengan membaca novel yang saya bawa dari Jakarta. Keesokan harinya saya kembali ke pusat Kota Dili. Saya mampir di Hotel Timor tempat para pemantau dan pengamat asing berkumpul. Pas jam makan siang saya ke Kampung Alor. Makan siang di warung nasi milik orang-orang Indonesia dengan menu nasi ayam seharga satu dolar AS.

Selepas makan siang, saya mengikuti jumpa pers para calon dan para pendukungnya. Juga mengikuti jumpa pers KPU. Jumpa pers di sana diberikan oleh seorang pastor SDB dalam empat bahasa: Tetun, Inggris, Indonesia, dan Porto dengan sama lancarnya. Mengagumkan.

Ketika senja tiba, saya bergeser ke depan Governo atau Kantor Perdana Menteri. Ini adalah bekas kantor Gubernur Timor Timur. Tidak ada pagar pembatas. Ini adalah kompleks kota tuanya Dili. Di sekitar situ banyak bangunan tua peninggalan Portugis. Ada yang terawat bagus. Ada juga yang tidak. Di depan kantor perdana menteri itu, ada lapangan cukup luas. Di ujungnya ada pohon-pohon yang di bawahnya ditempatkan kursi. Pengunjung bisa duduk-duduk di situ menikmati senja dan semilir angin pantai. Di bibir pantai ada tembok yang bisa diduduki sambil menyaksikan matahari tenggelam di balik ufuk. Sungguh Indah. Sebelum jam enam, saya balik ke Hotel Timor Lodge. Malamnya, saya ikut misa paskah di gereja Comoro yang tidak jauh dari hotel. Saya bersama umat di sekitar gereja itu mengendap dalam kegelapan malam. Tidak ada penerangan jalan. Wangi-wangian para gadis yang ke gereja semerbak.

Minggu, saya kembali ke tengah Kota Dili. Kali ini naik angkot sampai tengah Kota Dili. Kemudian ambil taksi untuk mensurvei rumah salah satu calon presiden yang menjabat sebagai perdana menteri saat itu, Jose Ramos Horta, yang tidak jauh dari bibir pantai Pasir Putih di jalan menuju bukit Patung Kristus Raja. Sengaja saya melihat tempat itu karena saya berencana meliput hari pemungutan suara besok pagi di tempat tersebut. Rutinitas hari itu sama dengan Sabtu kemarin.

Hari H, saya meliput pemungutan suara di tempat pemungutan suara tidak jauh dari rumah Romos Horta. Tidak seperti di Indonesia, Ramos Horta ikut antre bersama warga lain saat ke bilik suara. Saya ambil fotonya, dan menjadi foto headline koran tempat saya bekerja pada hari itu. Padahal foto itu diambil pakai kamera saku. Saya tidak sempat ke rumah Xanana Gusmao karena mereka memberikan suara pada jam yang hampir bersamaan.

Setelah kirim berita, saya mengaso sebentar. Menjelang sore, saya pergi ke beberapa TPS untuk menyaksikan penghitungan suara. Di beberapa TPS yang saya lihat, Ramos Horta unggul jauh dari lawan-lawannya. Begitupun di TPS di SMP di depan Hotel Timor Lodge. Ramos Horta unggul atas calon presiden dari Fretelin, Lu Olo. Dan benar, di Dili, Horta menang total. Tetapi di daerah lain, Lu Olo unggul, diikuti calon-calon lain seperti calon dari Partai Demokrat Fernando De Araujo yang pada pemilu tahun ini mencalonkan diri kembali.

Hasil akhirnya, tidak ada calon yang menang mutlak. Pemilu Presiden harus dilakukan dalam dua putaran. Dua calon peraih suara tertinggi yaitu Jose Ramos Horta dan Lu Olo bertarung head to head. Pasca pengumuman itu, segmentasi politik lalu terbentuk. Fretelin menjadi musuh bersama. Dan, memang akhirnya, pada putaran kedua, Jose Ramos Horta menang telak dan terpilih sebagai Presiden Timor Leste.

Tetapi saya sudah tidak mengikuti lagi pemilu putaran kedua tersebut. Saya hanya mengikuti pemilu putaran pertama sampai tahap pengumuman pemenang, sebelum akhirnya saya kembali ke Jakarta.

Proses demokrasi di negara baru itu memang tidak berjalan mulus karena diwarnai kekerasan. Tetapi tampaknya tahun ini, prosesnya lebih baik dan jauh dari aksi kekerasan. Mudah-mudahan tahun ini pemilunya lebih demokratis, fair, adil dan jujur. Selamat berpesta demokrasi Timor Leste. (Alex Madji)