Selasa, 24 September 2013

Sekali Lagi Tentang Para Bakal Capres 2014

Saya pernah menulis 11 nama yang disebut-sebut sebagai bakal calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) tahun 2014 di blog ini. Seiring dengan perkembangan politik, ada sejumlah nama yang disebut dalam daftar itu kemudian hilang dari peredaran. Sebaliknya, ada nama-nama baru yang tiba-tiba muncul.

Tetapi kepastian siapa-siapa yang akan bertarung pada pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) tahun depan berikut partai pengusungnya baru akan ketahuan setelah pemilu legislatif April tahun depan itu.

Berikut nama-nama para bakal capres-cawapres nanti. Nomor 1-4, sudah ditetapkan sebagai capres dari partainya masing-masing. Sisanya belum mendapat kepastian.

1. Aburizal Bakrie. Pria yang akrab dipanggil Ical dan menjelang pilpres lebih senang disapa ARB, kepanjangan dari Aburizal Bakrie, sudah ditetapkan sebagai capres Partai Golkar. Meski di internal partai beringin itu masih ada gejolak menyusul popularitas dan tingkat elektabilitas Ical yang tidak kunjung naik, tetapi keputusan mengajukan ARB sudah final. Sejumlah nama yang ikut meningkatkan tensi politik internal Golkar adalah mantan Ketua Umum Akbar Tandjung. Belum pasti benar, apakah dia sendiri mau maju atau tidak. Ataukah dia "berjuang" untuk seseorang yang lain.

2. Hatta Radjasa. Menteri Koordiantor Perekonomian ini sudah ditetapkan sebagai capres Partai Amanat Nasional (PAN). Tetapi tidak tertutup kemungkinan baginya untuk maju sebagai cawapres, sangat tergantung pada hasil perolehan suara PAN pada pemilu legislatif.

3. Prabowo Subianto. Mantan Komandan Kopasus era Presiden Soeharto ini sudah pasti menjadi capres dari Partai Gerindra. Dia masih mencari pasangan untuk mendampinginya sebagai cawapres. Hanya saja, Prabowo menghadapi persoalan besar karena belum tentu Gerindra mencapai perolehan suara 25 persen untuk mengajukan pasangan capres sendiri. Kalau tidak, dia terpaksa koalisi dengan partai lain. Bila partai yang digandeng itu lebih besar perolehan suaranya, maka dia harus rela maju sebagai orang nomor dua seperti pada pilpres 2009 lalu.

4. Wiranto-Hari Tanoesoedibjo. Duet ini akan diajukan oleh Partai Hanura. Mereka sudah dideklarasikan. Meskipun, pendeklarasian ini menimbulkan gejolak di internal partai. Tetapi pasangan ini akan bubar bila Hanura tidak bisa meraih syarat minimal mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri pada pemilu legislatif tahun depan. Kecuali kalau partai yang akan digandeng tetap mendukung pasangan ini. Tetapi maharnya akan sangat mahal.

5. Jokowi. Nama ini disebut pada nomor 5 karena belum resmi disebut oleh PDI Perjuangan sebagai bakal capres mereka. Padahal dari semua bakal capres saat ini, berdasarkan survei berbagai lembaga, tingkat elektabilitas Jokowi paling tinggi. Dia menyisihkan ARB, Hatta Rajasa, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla, apalagi Wiranto-Hari Tanoe. Bahkan dia menyisihkan ketua umumnya sendiri, Megawati Soekarnoputri.

6. Megawati Soekarnoputri. Nama mantan Presiden ini belum menghilang dari daftar capres. Dia masih menjadi tokoh kunci dalam menentukan capres PDI Perjuangan. Janda Taufiq Kiemas ini kemungkinan akan maju lagi. Paling tidak suara-suara daerah dalam rapat kerja nasional (rakernas) di Ancol beberapa minggu lalu masih mengusulkan nama Megawati sebagai capres. Bukan tidak mungkin, putri Bung Karno itu akan diduetkan dengan Jokowi.

7. Jusuf Kalla. Mantan Wapres dan Ketua Umum Partai Golkar ini masih ingin bertarung lagi tahun depan. Hanya belum tahu akan maju dari partai mana. Pintu Golkar sudah ditutup rapat oleh ARB. Tetapi pria kelahiran Bone Sulawesi Selatan ini terus bergerilia guna meningkatkan elektabilitasnya dan menjaga peluang maju dalam kompetisi tahun depan itu. Gosip yang beredar menyebutkan, kemungkinan penerus bisnis NV Haji Kalla itu akan maju dari Nasdem, bila partai pimpinan Surya Paloh itu memenuhi syarat mengajukan pasangan capres sendiri.

8. Capres dari Partai Demokrat sedang diseleksi melalui konvensi. Ada 11 nama yang mengikuti konvensi tersebut yakni, Ketua DPD Irman Gusman, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, mantan KSAD Pramono Edhie Wibowo, Dubes RI untuk Amerika Serikat Dino Pati Djalal, Menteri BUMN Dahlan Iskan, sesepuh Partai Demokrat Hayono Isman, Ketua DPR Marzuki Alie, Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Haris Sarundajang, mantan Panglima TNI Endiartono Sutarto, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dan Ali Masykur Musa

Belum pasti siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Tetapi dari ke-11 nama itu, Pramono Edhie Wibowo yang adalah adik ipar Presiden RI, pendiri, Ketua Dewan Pembina, dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) paling gencar melakukan sosialisasi. Dia keliling daerah dan sudah membuka posko pemenangan di bekas kantor Sekretariat Gabungan (Setgab), koalisi partai-partai pendukung pemerintah. Agresivitas mantan KSAD ini lalu mengerucutkan kesimpulan bahwa dialah capres Partai Demokrat. Sedangkan yang lain hanya peramai belaka.

7. Mahfud MD. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengundurkan diri dari Konvensi Partai Demokrat. Dia kemungkinan maju dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga tertarik pada figur pria asal Madura ini. Pada saat bersamaan kehadiran Mahfud mengguncang si raja dangdut Rhoma Irama yang sudah terlebih dahulu disebut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai bakal capres mereka. Kehadiran Mahfud perlahan-lahan menenggelamkan nama Rhoma Irama, meskipun nama ini belum dicoret benar dari daftar capres PKB.

Sedangkan beberapa tokoh yang tiba-tiba menghilang dari penyebutan sebagai bakal capres-cawapres adalah
1. Ny Ani Yudhoyono. Tahun lalu, nama ini disebut-sebut dalam berbagai survei, meski berada pada nomor buncit. Tetapi pada 2013 ini, kakak Pramono Edhie Wibowo itu tidak disebut lagi dalam berbagai survei. Ani Yudhoyono juga tidak diikutsertakan dalam konvensi Partai Demokrat.

2. Nama lain yang tenggelam adalah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto. Mantan Panglima TNI ini sempat disebut sebagai orang kepercayaan SBY. Sempat juga digosipkan sebagai pengganti Anas Urbaningrum di posisi Ketua Umum Partai Demokrat. Kemudian nama mantan Kepala Staf TNI AU ini tenggelam dari perbincangan capres tahun depan dan tidak disebutkan dalam berbagai survei.

3. Anas Urbaningrum. Setelah digulingkan dari Partai Demokrat, peluang Anas untuk maju sebagai capres pupus sudah. Tidak ada lagi kendaraan politik bagi mantan Ketua Umum PBHMI ini untuk berkantor di Medan Merdeka Utara mulai tahun depan. Kini, dia sedang merintis jalan baru dengan Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). (Alex Madji)

Sumber foto: www.sarapan.info

Jumat, 20 September 2013

Mobil Murah, Jokowi versus Pemerintah Pusat

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sedang berperang melawan Pemerintah Pusat soal mobil murah. Lawannya tidak tanggung-tanggung. Wakil Presiden (Wapres) Boediono dan para menterinya; Menteri Perindustrian MS Hidayat dan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Intinya, pemerintah pusat mendukung dan bahkan mendorong mobil murah, sedangkan Jokowi menentang.

Jokowi berasalan, program mobil murah itu hanya akan membuat Jakarta yang sudah macet ini semakin semrawut. Menurut dia, program mobil murah itu tidak benar. Yang benar, angkutan publik yang murah. Ketika Jokowi sedang bekerja keras membangun angkutan massal di Jakarta, pemerintah pusat justru dengan bangga melahirkan kebijakan mobil murah. Karena itu, Jokowi menulis surat protes kepada Wapres Boediono soal kebijakan ini.

Pemerintah pusat berkilah, program mobil murah ini bukan biang kemacetan. Pasalnya, mobil murah ini hanya akan diproduksi sebanyak 3 persen dari total produksi mobil secara nasional. Hingga 2012, produksi mobil nasional hanya 1,1 juta unit. Sedangkan tahun 2013 ini hanya 1,2 juta unit. "Artinya, tahun depan produksi mobil murah diperkirakan hanya 10 juta. Jadi, itu bukan faktor (penyebab) kemacetan," kata MS Hidayat, Kamis 19 September 2013 (Kompas.com, Kamis 19/19/2013 pukul 15.36 WIB.)

Pada bagian lain, menteri dari Partai Golkar ini mengungkapkan, "Kita akan atur bahwa mobil murah ini tidak akan menggunakan premium. Dengan Menteri Perekonomian kita juga bicara, peraturan itu segera mungkin akan dibuat agar dapat berjalan."

Untuk mengatasi kemacetan seperti yang dipaparkan Jokowi, Wapres Boediono mengusulkan solusi. "Menurut saya, solusinya adalah meningkatkan secepat mungkin Pemda dan pemerintah pusat untuk public transport. Kedua tidak menghambat orang beli mobil tetapi kita kenakan biaya saat berkendaraan di Jakarta. Kalau mereka mau pakai, harus bayar electronic road. Industri otomatif masih banyak dibutuhkan, termasuk di Belitung. Kalau numpuk di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan jadi masalah. Jadi bisa dilakukan tanpa mengorbankan tenaga kerja," kata Boediono.

Penjelasan-penjelasan pemerintah pusat ini kebanyakan tidak logis. Logika mereka bertabrakan satu sama lain. Benar bahwa penyebab kemacetan Jakarta bukan karena mobil murah, seperti kata MS Hidayat. Sebab produk itu baru diluncurkan. Tetapi pak menteri ini lupa bahwa tanpa mobil murah saja, Jakarta sudah semrawut seperti sekarang ini. Banyak waktu dan tenaga warga kota itu habis di jalan karena macet. Tak terbayangkan kalau semua warga Jakarta punya mobil karena bisa dibeli dengan harga murah. Seluruh jalan Jakarta hanya akan menjadi tempat parkir alias tidak bisa dilalui lagi.

Pernyataan lain yang tidak logis adalah bahwa mobil murah itu akan didorong untuk tidak pakai premium. Pernyataan ini “contradictio in terminis”. Tujuan program mobil murah ini adalah untuk rakyat miskin. Tetapi pada saat bersamaan, mereka dipaksa untuk tidak pakai premium, tapi pakai pertamax. Padahal, para pemilik mobil, yang bukan mobil murah, sekarang saja masih pakai premium. Bagaimana dia bisa memaksa orang miskin untuk pakai pertamax? Apalagi aturan untuk mewajibkan semua mobil pakai pertamax saja belum ada.

Karena itu tidak heran kalau pernyataan MS Hidayat dan Boediono ini mendapat komentar pedas dan kasar dari pembaca media-media online. Pembaca Kompas.com dengan nama akun PD Kminter, misalnya, menanggapi pernyataan MS Hidayat itu dengan berkata begini, "Mobil mahal juga ikut andil biang kemacetan, jadi harap memberi perlakuan yang sama antara mobil murah & mobil mahal." Lebih keras sedikit, pembaca dengan nama akun rakyat kere mengatakan, "mendingan mundur jadi mentri pak, analisa bapak gak mutu dan gak ada value nya .. ane cuma bisa berdoa buat negri ini, semoga kita di jauhkan dari godaan MS Hidayat dan sekutu nya yang terkutuk.. Amin."

Bahkan ada komentar yang lebih garang seperti oleh rakyat Opiniku. Dia mengatakan, "lalu dimana letak inti kebijakan ini untuk org kurang mampu dr negara merdeka 68 tahun yg pak mentri idi*t ini blg? org krg mampu kok pakai pertamax? dongo lo ahh.. mmg jmlah mobil bkn patokan kemacetan, tp lihat kapasitas jalan jg lah.. jalan kecil ttp tdk bs tuk jmlh mobil yg banyak Bedulll.." Sedangkan fariz jenggo menulis, "Maklum bor, si kampret satu ini kemana2 pakai forider, ya terang saja dia kagak ngerasain macet.... yg ada dibenaknya berapa banyak komisi yang bakalan masuk kantong gue...."

Itu hanya empat dari 99 komentar atas pernyataan MS Hidayat di Kompas.com yang hampir semuanya negatif. Komentar-komentar serupa atas berita-berita soal mobil murah ini juga bisa ditemukan di situs-situs berita lain. Seorang komentator bernama Taufik Ramadan pada berita "Jokowi: Masyarakat Tidak Butuh Mobil Murah" di viva.co.id yang dimuat Kamis (19/9/2013) pukul 13.08 menyebutkan, "Semakin banyak mobil semakin macet nanti jakarta, kalau disetujuin mobil murahnya nanti pasti masyarakat berbondong-bondong beli mobil. Dan hasil nya jalanan tambah macet. SETUJU DAH SAMA JOKOWI".

Komentator lainnya, Don Oscar, menulis "rakyat butuh daging murah, kedelai murah, beras murah. bukan mobil murah!"

Nah, komentar-komentar ini mencerminkan persepsi publik yang negatif terhadap program mobil murah ini. Maka, penolakan Jokowi untuk program mobil murah ini seolah mendapat legitimasi dari rakyatnya. Artinya bukan apriori Jokowi sendiri, tetapi sebuah aposteriori. (Alex Madji)


Kamis, 12 September 2013

Faktor Pendongkrak Popularitas Jokowi

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebentar lagi akan genap satu tahun memimpin Jakarta. Dalam kurun waktu itu, popularitas Jokowi yang sudah terkenal sejak menjadi Walikota Solo melejit tajam.

Berbagai survei menempatkan pria kurus penyuka musik metalica ini melampaui nama-nama beken yang sudah lebih dulu terkenal. Popularitas yang tinggi itu membuatnya disebut-sebut sebagai presiden berikutnya, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kepopuleran Jokowi ini turut mengerek Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai asalnya, sehingga dalam rapat kerja nasional (rakernas) akhir pekan lalu, partai moncong putih itu mentargetkan meraih 27 persen suara pada pemilu tahun depan. Optimisme ini selaras dengan hasil survei terakhir dari Litbang Kompas yang menyebutkan mereka sebagai partai dengan tingkat elektabilitas paling tinggi. Hal itu pun tidak terlepas dari figur Jokowi yang bintangnya terus bersinar terang.

Tetapi, PDI-P tidak mau tergesa-gesa mengumumkan Jokowi sebagai capres, meskipun sebagian pengurus daerah mengusulkan nama itu. Sebab, wewenang menentukan capres ada di tangan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum. Pada saatnya, putri Bung Karno ini akan mengumumkannya, meski dalam sambutan rakernas itu dia sudah memberi signal jelas terkait pencalonan Jokowi.

Kembali ke masalah popularitas Jokowi. Mantan penguasaha mebel ini populer karena sejumlah hal berikut ini: Yang pertama dan utama adalah model kepemimpinanannya yang dialogis komunikatif. Filsuf Jerman dari Skolah Frankfurt, Jurgen Habermas menyebut hal ini sebagai unsur penting dalam demokrasi untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kehidupan publik yang demokratis tidak bisa berkembang kalau tidak dibicarakan dengan warganya. Sebuah keadaan ideal perlu dibicarakan bersama dan bukan dipaksakan oleh orang, kelompok, atau ideologi tertentu.

Jokowi menerjemahkan dan menjalankan teori Habermas ini dengan blusukan, sebuah istilah yang kedengarannya “ndeso”. Dia tidak duduk di balik meja kerjanya di Balaikota tetapi turun ke lapangan, melihat sendiri permasalahannya, berkomunikasi dan berdialog dengan warganya, mendengar apa persoalan mereka lalu dicarikan solusi yang tepat. Dan yang tidak kalah penting, setelah solusi ditemukan, lalu dieksekusi dengan cepat. Tidak menunda-nunda. Dan, eksekusi solusi itu terus dikontrol dan evaluasi agar berjalan benar. Ini semua dilakukan untuk kebaikan bersama.

Setelah Jokowi sukses dengan blusukannya, tidak sedikit pemimpin yang lalu mengkalim bahwa blusukan ini bukanlah produk Jokowi. Paling baru, peserta konvensi Partai Demokrat Pramono Edhie Wibowo mengklaim sudah duluan blusukan dari Jokowi. Sebelumnya, lawan-lawan politik Jokowi menyerangnya dari sisi ini karena blusukan menjadi kekuatan Jokowi. Media, pengamat politik, dan aktivis LSM dipakai untuk menyerang Jokowi. Menurut mereka, blusukan tidak penting-penting amat. Bahkan hanya menghabiskan dana daerah.

Faktor kedua yang menaikkan popularitas Jokowi adalah kemampuannya menata Waduk Pluit. Meski sedikit diwarnai insiden, tetapi penataan dan normalisasi waduk ini akhirnya berjalan lancar dan disambut positif oleh masyarakat. Liputan media televisi dan online memperlihatkan bahwa tidak sedikit warga yang menikmati fasilitas umum ini untuk berekreasi, meski penataannya belum rampung 100 persen.

Faktor ketiga, dan ini yang paling fenomenal adalah kemampuan Jokowi "menaklukkan" para pedagang kaki lima (PKL) Tanah Abang. Jokowi adalah satu-satunya Gubernur DKI Jakarta yang berhasil memindahkan PKL Tanah Abang ke Blok G tanpa konflik sedikit pun. Bahkan para preman di sana tidak berkutik. Sempat ada clash sedikit antara kelompok tertentu, tetapi Wakil Gubernur Ahok menunjukkan kelasnya sebagai seorang pemimpin yang tegas dan berani.

Bagi Jokowi, menata PKL tanpa konflik bukanlah hal baru. Salah satu yang membuat dia terkenal selama memimpin Solo adalah karena kemampuannya merelokasi PKL tanpa konflik sedikit pun. Hal ini pulalah yang membuat dia terkenal di seantero tanah air hingga akhirnya terpilih sebagai Gubernur Jakarta.

Keberhasilan ini kemudian mendapat tanggapan dari Fauzi Bowo, Gubernur DKI yang digantikan Jokowi. Dia juga mengklaim sukses menata PKL di Pasar Senen ketika masih memimpin wilayah ini. Tetapi Foke lupa bahwa dia tetap saja gagal menata PKL di Tanah Abang dan "tunduk" pada penguasa ilegal wilayah tersebut.

Keempat, Jokowi mampu membangun proyek percontohan Kampung Deret di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Dengan proyek ini, Jokowi menyulap kampung kumuh menjadi sebuah kompleks yang indah, rapih, serta enak ditempati dan dilihat. Akan sangat bagus kalau semua wilayah kumuh di Jakarta dibuat seperti ini. Bila Jokowi mampu melakukannya secara serentak, maka dia akan semakin populer dan alam semesta pun menyetujui dia sebagai Presiden Indonesia berikutnya.

Keempat hal itu riil dan bisa dilihat dengan mata kepala sendiri hasilnya. Bukan hanya ocehan di media massa. Masih banyak gebrakan lain yang dilakukan Jokowi-Ahok dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Yang masih ditunggu warga adalah realisasi pembangunan angkutan massal baik MRT maupun monorel sebagaimana dijanjikan. Ini yang belum kelihatan wujudnya. Bila ini juga kelihatan, maka pantaslah Jokowi menikmati popularitas yang tinggi itu. (Alex Madji)

Sumber foto: www.indonesiarayanews.com

Kamis, 05 September 2013

Sepeda Ontel dan PKL di Kota Tua

Rabu, 5 September 2013, saya main ke Kota Tua di Kawasan Kota, Jakarta Barat. Hanya sekedar melihat dan menikmati suasana dan situasi di kawasan tersebut. Memasuki plaza atau lapangan luas di depan "Gouverneurskantoor" atau yang kini menjadi Museum Sejarah, hal yang paling mencolok adalah deretan sepeda ontel.

Meski jadul alias jaman dulu, sepeda-sepeda ini menarik dan unik. Pertama karena mereka dicat dengan berbagai macam warna; merah, kuning, biru, pink dan sebagainya. Belum lagi sepeda-sepeda itu dilengkapi dengan topi seperti yang dipakai keluarga-keluarga kerajaan di Belanda atau Inggris. Kedua, ini adalah kendaraan "resmi" Kota Tua yang bisa dipakai turis untuk sekedar mengelilingi plaza Kota Tua atau memutari seluruh kawasan Kota Tua hingga ke Pelabuhan Sunda Kelapa.

Para pemilik sepeda ini dilengkapi dengan seragam rompi. Mereka juga paham sejarah Kota Tua. Paling tidak menghafal tahun berdirinya bangunan-bangunan dan situs-situs bersejarah di kawasan tersebut. Salah seorang penyewa sepeda, Ahmad, misalnya, saat menawarkan sepeda menyebutkan tahun berdirinya sejumlah situs yang akan dikunjungi dengan sepedanya, sambil menunjuk sejumlah foto.

Dia menuturkan, sepeda-sepeda itu hanya dibayar Rp 20.000 per 30 menit setelah mendapat potongan untuk berputar-putar di plaza Kota Tua tersebut. Tetapi kalau dipakai untuk mengelilingi seluruh kawasan Kota Tua, biayanya Rp 40.000 per 1,5-2 jam. Harga itu sudah termasuk diskon. Normalnya, bisa mencapai Rp 80.000 per sepeda.

Tetapi bila mengunjungi seluruh kawasan Kota Tua, kata Ahmad, seorang wisatawan juga harus didampingi seorang pemandu agar tidak tersesat. Seorang pemandu menggunakan sepeda tersendiri yang dibayar oleh turis seharga Rp 40.000. Sedangkan tenaga si pemandu dibiayai Rp 50.000 sekali jalan. Jadi, kalau mengunjungi seluruh kawasan Kota Tua menggunakan sepeda sewaan itu, minimal harus mengeluarkan anggaran Rp 130.000 (sepeda dua unit dan pemandu). Belum termasuk biaya masuk objek yang dikunjungi. Yah, lumayan mahal juga ya?

Siang itu, sejumlah pengunjung menyewa sepeda-sepeda itu untuk berputar-putar di halaman luas tersebut. Ada yang menyewa untuk sekedar berfoto dengan sepeda jadul sambil mengenakan topi bak keluarga kerajaan tanpa menggowesnya. Ada pula sepasang kekasih, yang satu mengayuh sepeda dengan terus tersenyum lebar sedangkan yang lain merekamnya dengan kamera dari kejauhan. Entah hasilnya seperti apa. Tetapi kelihatannya romantis.

Sementara PKL menjadi menarik karena tempat ini sudah ditetapkan sebagai kawasan bebas PKL pada 26 Agustus 2013. Sejak itu hingga Rabu, 4 September 2013, petugas Satpol PP masih berjaga-jaga. Keberadaan mereka sangat mencolok. Ada yang duduk-duduk sambil ngobrol dan menggoda cewek yang lewat, ada yang duduk-duduk sambil menikmati kopi panas di pos pengamanan. Ada juga yang hanya mondar-mandir.

Meski demikian, PKL tetap saja ada dan berkeliaran bebas. Di pojokan Kantor Pos di depan "Gouverneurskantoor", misalnya, ada penjual gorengan, minuman, dan rujak. Sementara PKL lainnya aktif menawarkan barang kepada para pengunjung di tengah-tengah plaza. Selain PKL, pengamen dan pemulung juga berkeliaran di sana.

Seorang penjual kopi, pop mie, rokok, dan krupuk bernama Sumiati mengaku terus berjualan, meski sudah dilarang. Dia dan teman-temannya harus main kucing-kucingan dengan petugas. "K ami tetap saja jualan, terutama untuk jualan tentengan seperti ini. Kalau ada petugas dan usir kita ya minggir dulu, nanti balik lagi," kata perempuan asal Solo itu.

Perempuan paruh baya ini sudah tiga tahun berjualan di kawasan Kota Tua. Dia pun sudah memetik hasilnya. Dengan modal awal Rp 450.000, sekarang dia sudah memiliki satu unit sepeda motor. "Sehari kalau ramai bisa bawa pulang Rp 200 ribu. Tetapi kalau pada hari-hari kerja dan sepi hanya bawa pulang gocap," ujarnya.

Menurut dia, pengunjung Kota Tua ini paling banyak terjadi pada Sabtu dan Minggu. Sedangkan hari-hari kerja tidak terlampau banyak. "Pariwisata tanpa jualan kayak gini sama juga dengan neraka. Pengunjung yang haus mau minum di mana?" tanyanya retoris.

Pemerintah DKI Jakarta harus menata keberadaan PKL ini dengan lebih baik lagi. Mereka harus menjadi bagian dari pariwisata Kota Tua. Bagusnya, kawasan Kota Tua ini ditata seperti kota-kota tua di luar negeri. Di kota-kota besar di Eropa, kota tua ini menjadi destinasi wisata. Mereka menatanya dengan sangat bagus, indah, dan cantik sehingga enak dan nyaman dikunjungi. Selain gedung-gedung bersejarahnya terawat bagus, akses ke kota tua itu juga mudah.

Di Kota Tua Warsawa, Polandia, misalnya, pedestrian jauh lebih luas dari jalan untuk kendaraan. Bahkan menjelang pusat kota tua, kendaraan tidak boleh masuk. Ini sangat melegakan dan nyaman bagi pejalan kaki.

Bila Kota Tua Jakarta dibuat seperti ini, akan sangat bagus. Ditambah dengan memperbaiki gedung-gedung yang sudah rusak dan hampir roboh agar enak dipandang, pasti akan memberi nilai tambah bagi pariwisata DKI Jakarta. (Alex Madji)

Foto-foto: Ciarciar

Selasa, 03 September 2013

Momentum PDI-P Jelang 2014

Ada kemiripan hasil survei tentang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjelang pemilu 2009 dan 2014. Menurut survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Desember 2006, popularitas PDI-P berada di peringkat kedua dengan 17 persen setelah Partai Golkar (20,7 persen). Sedangkan Partai Demokrat berada di peringkat ketiga dengan 15,8 persen.

Masih menurut survei rutin lembaga ini, popularitas partai moncong putih ini terus melejit meninggalkan Golkar dan Partai Demokrat dalam survei-survei selanjutnya. Puncaknya, pada Juni 2008. Ketika itu, PDI-P mencapai popularitas paling tinggi dengan 24,2 persen. Sedangkan Golkar hanya 21 persen dan Demokrat berada pada titik paling rendah, 8,7 persen.

Tetapi dalam survei September tahun yang sama, popularitas PDI-P terjun bebas ke posisi 12 persen. Golkar juga mengalami penurunan, tetapi tidak separah PDI-P. Sebaliknya, Demokrat melejit tajam. Setelah itu, popularitas partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu terus menurun. Begitu juga Golkar. Sementara Demokrat terus melejit sendirian hingga posisi 47 persen pada April 2009. Popularitas ini kemudian mengantar Demokrat memenangkan Pemilu 2009. Golkar yang grafiknya relatif stabil meraih tempat kedua. Sedangkan PDI-P hanya duduk di tempat ketiga.

Ketika itu, figur Megawati Soekarnoputri tetap menjadi daya tarik. Kritik-kritik pedasnya dengan kata-kata yang ringan terhadap Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turut menaikkan popularitas partai tersebut. Tetapi serangan balik pemerintah membuat banteng gemuk itu terkulai lemas hingga tak berdaya di pemilu 2009.

Fenomena lima tahun silam itu kembali terulang menjelang pemilu 2014. Dalam survei berbagai lembaga, popularitas PDI-P kembali melejit. Dia bersaing tipis dengan popularitas Partai Golkar. Survei Lembaga Survei Nasioal (LSN) yang dilakukan 10-24 September 2012 menunjukkan, sebanyak 98,8 persen dari 1.230 responden yang tersebar di 33 provinsi dengan “margin of error” 2,8 persen mengaku telah mengenal atau minimal mendengar nama PDI-P. Posisi kedua ditempati Partai Golkar dengan 98,1 persen, diikuti secara berturut-turut oleh Partai Demokrat (97,6 persen), PPP (95,2 persen), Gerindra (94,6 persen), PAN (94,5 persen), PKB (93,6 persen), Hanura (92,1 persen), PKS (91,7 persen), dan Nasional Demokrat (83,1 persen).

Survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) melalui wawancara tatap muka pada bulan yang sama (5-16 September 2012) terhadap 1.219 responden yang tersebar di seluruh Indonesia perihal partai mana yang akan dipilih jika Pemilu diadakan sekarang juga memperlihatkan, sebanyak 14 persen mengatakan memilih Partai Golkar, kemudian 9 persen memilih PDI-Perjuangan, lalu Partai Demokrat di posisi ketiga dengan pemilih 8 persen. Urutan selanjutnya, Partai Nasdem dengan 4 persen, lalu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) masing-masing 3 persen, lalu Partai Amanat Nasional (PAN) dengan perolehan suara 2 persen.

Lalu, survei Political Weather Station (PWS) periode 15 September hingga 15 Oktober 2012 yang melibatkan 1.080 responden dengan margin error 3 persen juga menunjukkan, Golkar, PDI-P, dan Demokrat menjadi tiga partai paling populer. Partai Golkar menempati urutan teratas dalam hal popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitasnya menjelang Pemilu 2014 dengan dipilih oleh 98 responden, diikuti PDI Perjuangan (97 persen) dan Partai Demokrat (95 persen).

Sedangkan saat responden ditanyakan mengenai partai yang akan dipilih jika pemilu dilakukan hari ini, hasilnya menyebar secara merata. Sebanyak 19,71 persen responden mengaku memilih Partai Golkar, PDI-P (16,79 persen), Partai Gerindra (10 persen), Partai Demokrat (6,91 persen), dan Partai Nasdem (6,07 persen). Selain itu, 12 persen responden belum menentukan pilihan, dan 10 persen merahasiakan pilihannya.

Setahun berselang, hasil survei Lembaga Klimatologi Politik (LKP) periode 12-18 Agustus 2013 memperlihatkan elektabilitas Golkar dan PDI-P masih bersaing ketat. Menurut survei lembaga itu, elektabilitas Golkar mencapai 15,9 persen, diikuti PDI-P dengan 15,2 persen. Sedangkan Demokrat melorot hingga posisi 8,9 persen.

Faktor Jokowi
Tetapi banyak pihak menilai, pemilu tahun depan ini akan dimenangkan oleh PDI-P. Faktor penentunya bukan hanya Megawati Soekarnoputri tetapi lebih-lebih karena faktor popularitas Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau Jokowi yang juga kader PDI-P yang sangat tinggi. Paling tidak, survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Litbang Kompas memperlihatkan hal itu.

Survei Litbang Kompas yang dilakukan pada Juni 2013 menempatkan kader PDI-P itu sebagai figur yang paling populer dibandingkan bakal calon presiden (capres) lainnya. Survei terakhir Litbang Kompas menempatkan Jokowi pada posisi teratas dengan 32,5 persen dari 1.400 responden yang tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan toleransi kesalahan hingga 2,6 persen. Dia mengungguli sejumlah nama lain yang sudah lebih dulu menyatakan akan maju dalam Pemilihan Presiden 2014, di antaranya, Prabowo Subianto (15,1 persen) dan Aburizal Bakrie (8,8 persen). Jokowi juga mengungguli seniornya, Ketua Umum PDI Perjuangan yang dipilih 8,0 persen responden dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (4,5 persen). Angka ini naik hampir dua kali lipat dari survei pada periode 26 November-11 Desember 2012. Ketika itu, popularitas Jokowi hanya 17,7 persen.

Melihat data dari lembaga-lembaga survei di atas, maka PDI-P patut optimistis. Syaratnya, tidak boleh mengulangi kesalahan menjelang pemilu 2004. Untuk itu, PDI-P harus pintar-pintar mengelola situasi yang sedang berpihak pada mereka saat ini, terutama terkait kepopuleran Jokowi. Kelalaian dalam memanfaatkan momentum ini akan menjadi mala petak politik bagi PDI-P sendiri.

Apalagi, Partai Demokrat sedang memulihkan kembali citra mereka yang babak belur akibat berbagai kasus korupsi yang menjerat kader-kadernya dengan “bedak bermerek konvensi”. Kepiawaian Demokrat mengelola isu ini akan menaikkan popularitasnya dan menutup wajah bopeng akibat tindakan korup para kadernya. Bila pada saat bersamaan PDI-P lelah, kehabisan akal, dan ketiadaan bahan bakar, maka bukan tidak mungkin popularitas PDI-P akan meredup seperti yang terjadi menjelang pemilu 2009. Bila ini terjadi, maka kenyataan politik 2009 akan terulang kembali dan PDI-P harus siap-siap kembali menjadi oposisi dan menguburkan mimpi menjadi penguasa.

Karena itu, sekali lagi, PDI-P tidak boleh lengah, lelah, dan berpuas diri dengan kondisi saat ini karena pemilu masih tujuh bulan lagi dan keadaan bisa berubah begitu cepat. Manfaatkan momentum saat ini guna menaikkan elektabilitas partai hingga hari pemungutan suara. Bila sudah menang, maka mendorong Jokowi untuk menjadi RI 1 akan lebih mudah dan cita-cita menjadi penguasa bisa terwujud. (Alex Madji)

Foto diambil dari acehterkini.com