Kamis, 29 Agustus 2013

Budaya Kita dan Para Londho

Selasa, 27 Agustus 2013, saya kecele dengan agenda liputan yang dikirim seorang teman via blackberry messangers (BBM). Dikabarkan, mantan pebulutangkis nasional Susy Susanti dan suaminya Alan Budikusuma menggelar diskusi terbatas di rumah makan cepat saji, McDonald, Sarinah, Jalan MH Thamrin pukul 14.30 WIB.

Saya mengira acara tersebut pada Selasa 27 Agustus 2013. Maka saya sudah berada di tempat itu sebelum pukul 14.30 WIB. Tetapi saya mulai bingung, ketika saya tidak menemukan tanda-tanda ada kerumunan besar dalam sebuah meja panjang. Tidak pula saya temukan dua pahlawan bulutangkis Indonesia pada Olimpiade Barcelona itu.

Karena kebingungan, saya lalu memesan ice cream cone seharga Rp 3.500 perak. Hanya sekedar untuk sah mendapat tempat duduk di "warteg"-nya Amerika Serikat itu.

Saya mengambil tempat duduk di sebuah kursi panjang sebelah kanan pintu masuk dari arah jalan MH Thamrin. Sambil menikmati dinginnya ice cream, saya melihat kembali pesan teman tadi di BBM. Baru sadar saya, ternyata acaranya Rabu, 28 Agustus 2013. Sedikit kecewa. Tetapi, saya terus menikmati ice ream putih di ujung tangan.

Tak lama berselang, dua orang pria duduk di depan saya. Seorang masih muda sambil menancapkan earphone di telinganya dan seorang lagi sudah paruh baya. Mereka makan kentang goreng, burger dan segelas coca cola. Mereka tak mengenal satu sama lain. Di meja sebelah kanan saya, ada sepasang bule, pria dan wanita. Juga memesan burger dan kentang. Di meja lainnya, sebelah kiri saya, ada seorang bule lainnya. Dia datang memesan burger dan kentang, lalu makan. Hanya sebentar. Setelah itu pergi.

Tetapi ada perbedaan antara bule-bule itu dengan dua pria di depan saya tadi, dan juga kebanyakan tamu pribumi di rumah makan tersebut. Bule-bule tadi, sebelum pergi, mereka membuang sendiri sampah sisa makanannya ke tempat sampah yang sudah disediakan. Sedangkan, dua pria di depan saya, dan pengunjung pribumi lainnya, membiarkan sampah sisa makanan mereka di atas meja dan pergi begitu saja.

Seorang perempuan pekerja yang sedang hamil dan seorang perempuan lainnya yang berparas cantik dengan gincu merah cukup tebal bernama Khalifa, terpaksa mengangkat sampah-sampah yang ditinggalkan tamu-tamunya itu lalu kemudian membersihkan meja.

Ini soal dua budaya yang berbeda. Kita, pribumi, sudah terbiasa, selesai makan di restoran cepat saji seperti ini sampah-sampah sisa makan dibiarkan begitu saja. Toh nanti ada petugas yang membersihkannya. Budaya para londho itu beda. Mereka, kalau datang ke restoran cepat saji seperti ini, selesai makan langsung membuang sendiri sampah sisa makanannya ke tempat sampah yang sudah disediakan.

Sebelumnya, saya menyaksikan hal seperti yang dilakukan para londho ini pada medio Juni 2012 tahun lalu saat meliput Piala Eropa di Warsawa Polandia. Selama dua minggu berada di kota itu, saya cukup sering makan siang di restoran cepat saji McDonald di pusat kota yang menjadi pusat keramaian selama Piala Eropa lalu atau yang disebut Fan Zone.

Sejak pertama kali masuk, saya memperhatikan, semua orang yang datang ke situ, sesudah makan membuang sendiri sampah sisa dan pembungkus makanannya ke tempat sampah yang sudah disediakan. Saya pun, meski dengan terpaksa karena tidak biasa, mengikuti budaya mereka itu. Membuang sendiri sampah sebelum meninggalkan restoran tersebut.

Pengalaman serupa kembali terulang, ketika pada bulan yang sama di 2012, saya ke Lisbon, Portugal. Makanya, saya kemudian menyimpulkan bahwa ini adalah budaya para londho. Bukan budaya kami dan kita.

Tetapi ketika pulang ke Indonesia pada akhir Juni tahun itu juga, saya kembali ke budaya asli seperti orang kebanyakan di sini. Habis makan, pergi begitu saja dan membiarkan sampah tergeletak di atas meja.

Begitu juga dalam hal tertib berlalu lintas. Orang Indonesia kalau ke luar negeri, ke Singapura saja, misalnya, pasti tertib lalu lintas. Menyeberang pasti di zebra cross dan tunggu sampai saat lampu hijau untuk pejalan kaki nyala. Tetapi kembali ke Indonesia, kita bisa menyeberang di mana saja, tanpa peduli kendaraan roda dua atau empat sedang ngebut atau tidak.

Karena itu, menurut saya, tidak ada salahnya budaya yang baik dari para londho itu ditiru dan dipraktekan di sini. Hal paling sederhana ya di restoran cepat saja seperti McDonald tadi. Apalagi kalau memang membuang sendiri sampah setelah makan adalah standar rumah makan itu yang berlaku di seluruh dunia. Tinggal ditegakkan saja aturan tersebut. Begitu juga dalam tertib berlalu lintas. Sangat bagus kalau tertib berlalu lintas ketika kita ke luar negeri dipraktekkan di sini. Dengan begitu, kita bisa sejajar dengan para londho, minimal dalam hal-hal kecil seperti itu. Untuk lebih beradap seperti mereka dalam perkara-perkara besar, kita butuh waktu, tekad, dan kemauan baik untuk menjalankannya. Bukan karena kita tidak bisa, tetapi karena tidak terbiasa. Ayo mari kita mulai. (Alex Madji)

Foto-foto: Ciarciar

Selasa, 27 Agustus 2013

Mengasah Ketajaman Pena Relawan Jokowi

Sebanyak 15 orang duduk lesehan di saung di halaman belakang sebuah rumah di kawasan Percetakan Negara, Jakarta Pusat Sabtu 24 Agustus 2013. Mereka terdiri dari laki-laki, perempuan, tua, dan muda. Bahkan beberapa di antaranya sudah beruban dan sepuh. Mereka adalah peserta pelatihan jurnalistik gratis yang diselenggarakan Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014 atau yang disingkat Bara JP.

Rumah itu bisa masuk dari Pasar Genjing Pramuka. Bisa juga dari Percetakan Negara. Rumah milik seorang aktivis ini cukup luas. Meskipun bagian dalamnya kusam, beberapa kamarnya sudah disulap menjadi ruang kerja. Ada ruang tamu dan ruang rapat yang dilengkapi meja panjang dan beberapa kursi di sekelilingnya. Di antara ruang tamu dan ruang rapat itu ada dapur kecil. Di bagian belakangnya, ada beberapa kamar yang masih dipakai untuk tidur oleh para penghuni rumah tersebut dengan dipan seadanya. Bahkan ada yang siang itu tidur dilantai hanya beralaskan tikar.

Di belakangnya ada halaman luas. Halaman itu sudah dipasang konblok dan disemen. Di dekat pintu belakang ada sebuah pohon nangka yang besar dan rimbun. Tembok pembatas sebelah kiri tinggi sekali. Sedangkan di sebelah kanan hanya setengah, sehingga rumah tetangga sebelah masih bisa kelihatan. Tembok pembatas paling belakang juga tinggi. Di sana ada empat rumpun pohon pisang.

Saung itu menempel dengan tembok sebelah kiri tadi. Terbuat dari bambu dengan atap rumbia. Sebagai tempat nongkrong, sungguh asyik. Di situlah ke-15 orang tadi mengadakan pelatihan jurnalistik. Di sana ada sebuah papan tulis yang bagian-bagian ujung atasnya sudah patah. Sebenarnya ini bukan whiteboard, tetapi tripleks putih yang bisa ditulisi dan dihapus. Hari itu, tulisan-tulisannya dihapus dengan tisu karena tidak ada penghapus.

Di belakangnya terbentang sebuah spanduk berisi tema diskusi dari bulan Juli silam. Di pojok atas spanduk besar itu tertulis "SAKTI" (Serikat Kerakyatan Indonesia) dengan tiga bintang di atasnya. Di sebelah kanannya ada lambang dan logo KSPI. Spanduk serupa dengan warna hitam juga dipajang di tembok belakang, di belakang rumpun pisang tadi.

Menurut Ketua Umum Bara JP Sihol Manulang, peserta pelatihan ini tidak hanya berasal dari Jakarta, tetapi juga dari Bogor. Mereka berasal dari berbagai profesi. Ada wiraswastawan. Ada dosen yang sedang off mengajar dan sedang menekuni dunia tulis menulis. Ada pula karyawan dan mahasiswa. Mereka semua melebur menjadi satu di bawah saung tersebut mempelajari teknik dan tips menulis secara gratis.

Sabtu itu adalah pekan kedua kegiatan latihan menulis gratis untuk para relawan Jokowi, Gubernur DKI Jakarta. Pertama kali digelar pada Minggu, 18 Agustus 2013. Pada Sabtu, 24 Agustus 2013, ada sesi menulis budaya yang diberikan oleh wartawan dari Harian Sore Sinar Harapan yang juga penulis novel, Sihar Ramses Simatupang. Setelahnya ada sesi bagaimana menulis berita yang diberikan oleh Redaktur Pelaksana Suara Pembaruan Aditya L Djono. Saya sendiri kebagian menyajikan materi menulis dan mengelola blog. Saya hanya membagikan pengalaman mengelola blog ini selama hampir dua tahun terakhir.

Meski gratis, para peserta pelatihan itu sangat serius. Sama seriusnya dengan para pemberi materi yang tidak dibayar. Para peserta serius mencatat dan aktif bertanya serta berdiskusi. Salah seorang peserta bernama Rohma, misalnya, mengaku antusias mengikuti kegiatan ini. Padahal dia adalah seorang dosen di Universitas Islam Jakarta. Tetapi dia selama ini sedang off mengajar karena tinggal di Amerika Serikat. Selama tidak mengajar dia aktif menulis blog dengan berbagai tema di Kompasiana. Bahkan dia menyebut dirinya sebagai blogger. Dia mengikuti pelatihan menulis ini untuk semakin meningkatkan kemampuan menulisnya sambil mengisi waktu sebelum kembali ke Amerika Serikat.

Sebagai kegiatan gratis, para peserta menanggung sendiri makan siang. Menjelang makan, mereka disawer sebesar Rp 15.000 per orang. Sabtu siang itu, ketika saya dan dua pembicara lainnya datang, masih ada sisa tiga bungkus nasi padang. Saya pun ikut melahap nasi padang lauk ayam opor itu.

Selain menggelar pelatihan jurnalistik secara gratis, Bara JP atau yang di facebook bernama Relawan Jokowi Presiden sangat gencar mempromosikan Gubernur DKI Jakarta Jokowi menjadi presiden 2014. Di FB jumlah mereka sudah mencapai lebih dari 155.000. Targetnya hingga akhir tahun ini mencapai 1 juta orang. Gerakan ini pun diperluas ke sejumlah provinsi, bahkan hingga seluruh Indonesia. Gerakan ini berjalan beriringan dengan makin melejitnya popularitas mantan Walikota Solo ini dalam berbagai survei. Popularitas pria kurus ini melampaui tokoh-tokoh yang dalam beberapa pemilu terakhir spesialis calon presiden.

Popularitas Jokowi ini bukan hanya dalam survei. Ketika muncul di tempat-tempat publik, terutama di Jakarta, Jokowi bagai magnet bagi masyarakat. Ketika Jokowi berada di lokasi yang sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti ketika acara Independence Day Run, Minggu 25 Agustus 2013, peserta yang hadir malah lebih menyoraki Jokowi dibanding SBY (bandingkan berita Kompas.com).

Pada malam harinya, Jokowi sebagai penggemar grup musik Metalica, dia datang menonton langsung konser grup musik asal Amerika Serikat itu di Gelora Bung Karno. Kehadiran Jokowi dengan gaya anak metal disambut meriah penonton lainnya. Bahkan ketika dia datang, teriakan-teriakan Jokowi for President menggema di seisi stadion (bandingkan berita Tribunnews.com).

Pelatihan menulis gratis ini adalah bagian kecil saja dari dari upaya mewujudkan Jokowi sebagai capres pada pemilu presiden tahun depan. Mereka diharapkan ikut membuat Jokowi semakin melejit melalui karya-karya jurnalistik mereka, sehingga tahun depan bisa maju sebagai capres dan akhirnya terpilih sebagai pengganti SBY. Tetapi kalaupun Jokowi akhirnya tidak jadi maju sebagai capres, paling tidak para peserta tadi sudah memiliki modal untuk mulai menulis gagasan atau apa saja yang mereka lihat dan saksikan minimal untuk blog mereka masing-masing. Mereka tinggal mengasahnya dengan terus menulis. Sebab, menurut Sihol Manulang, tulisan bisa merobohkan setiap pemerintahan yang lalim. Ya, sering kali ketajaman pena melebihi ketajaman peluru yang dimuntahkan dari bedil para serdadu. (Alex Madji)

Foto-foto oleh Ciarciar

Selasa, 20 Agustus 2013

Lingkungan Busuk

Dalam percakapan Blacberry Messanger (BBM), seorang teman mengaku terkaget-kaget saat Kepala SKK Migas (kini mantan) Rudi Rubiandini tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima suap dari perusahaan minyak asing di rumahnya. Barang bukti yang disita ketika itu uang sebanyak 700.000 dolar Amerika Serikat dan motor gede merk BMW. Dari tempat lain, masih disita pula ratusan ribu dolar Amerika Serikat.

Teman saya ini pernah menjadi mahasiswa Rudi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Di matanya, dan mungkin mahasiswa ITB lain, ketika masih sebagai dosen perminyakan ITB, Rudi adalah seorang sosok yang cukup credible, tidak neko-neko, dan berkualitas.

Bukan hanya dia. Sejumlah wartawan yang saban hari meliput di bidang energi juga mengaku kaget mendengar penangkapan Rudi. Pasalnya, Rudi cukup dekat dengan wartawan. Ramah, low profile, dan tidak pelit informasi. Dia tipe pejabat yang gampang dan enak ditemui.

Beberapa hari setelah penangkapan tersebut muncul rumor yang beredar luas di grup BBM. Isinya, pengakuan Rudi Rubiandini bahwa dia akhirnya mau menerima suap karena ada tekanan dari partai penguasa. Dia diminta untuk mencari dana dalam jumlah besar untuk kepentingan konvensi partai penguasa.

Rudi sendiri kebingungan bagaimana memenuhi permintaan pihak yang mendudukkannya pada posisi basah dan se-strategis itu. Secara pribadi, dia tidak punya uang sebesar yang diminta. Rumah tinggalnya saja masih dicicil dan belum lunas. Bahkan dia masih kelimpungan mencari dana untuk pengobatan ibunya yang sedang sakit dan dirawat di salah satu rumah sakit di Bandung.

Rumor ini juga beredar di kalangan wartawan hukum. Bahkan di kalangan tersebut, rumornya lebih rinci. Tokoh-tokoh partai penguasa yang kecipratan dana itu disebut lengkap dengan jumlahnya. Hanya saja, media mainstream sangat hati-hati mengangkat rumor seperti ini.

Tulisan ini pun tidak bermaksud menelisik rumor-rumor tersebut karena cukup sulit dikonfirmasi kebenarannya. Kalaupun orang-orang yang disebut itu bisa ditanyai, pasti mereka membantahkan. Sebab ada pameo, tidak ada maling yang mengaku sebagai maling.

Saya hanya ingin mengungkapkan bahwa betapa sebuah lingkungan, baik kerja maupun pergaulan itu sangat mempengaruhi perilaku dan kebiasaan seseorang. Seorang blogger pendidikan, http://akhmadsudrajat.wordpress.com, pernah menulis begini, "Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya."

Berdasarkan fakta-fakta sederhana yang saya paparkan di permulaan artikel ini, kesimpulan sementara saya adalah Rudi Rubiandini tadinya orang baik. Tetapi dia kemudian rusak oleh budaya politik dan birokrasi yang korup (berdasarkan rumor di atas tadi). Dia dipaksa menjadi maling karena dipalak oleh partai penguasa.

Budaya politik dan birokrasi yang korup ini tidak bisa dipungkiri lagi. Sudah banyak pejabat di pemerintahan dari tingkat pusat sampai daerah dan di legislatif serta pengusaha dijebeloskan ke penjara oleh KPK karena menilep uang rakyat. Masih ada juga pejabat dan mantan pejabat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka tetapi belum dipenjarakan. Penyakit korup di kalangan pejabat ini sudah sebegitu akutnya dan sudah menjadi semacam gaya "gaya hidup".

Kondisi yang busuk inilah yang merusak Rudi Rubiandini. Atau kalaupun tadinya Rudi sudah rusak, maka lingkungan seperti itu membuatnya semakin rusak dan busuk. Dibutuhkan keteguhan hati dan kecerdasan otak dan emosional untuk tidak terseret arus lingkungan yang busuk itu. Seharusnya, seseorang yang baik bisa mempengaruhi dan merekayasa sehingga dapat mengubah lingkungan yang busuk itu menjadi lebih baik. Tetapi dalam kasus Rudi Rubiandini, dia gagal menjalankan tugas ini. Yang terjadi justru sebaliknya. Dia terjerembab dalam lingkungan yang sudah busuk tersebut. (Alex Madji)

Sumber foto: politik.kompasiana.com


Selasa, 13 Agustus 2013

Sebuah Siang di Kampung Deret

Panas terik pukul 14.00 WIB membakar tubuh pada Senin, 12 Agustus 2013. Saya menelusuri Kampung Deret di Jalan Tanah Tinggi 1A RT 014/01, Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Senen, Jakarta Pusat.

Saya masuk dari RT 013, melewati gang super sempit. Dipadati oleh berbagai perabotan dan warga yang sedang duduk-duduk santai dalam suasana libur lebaran sore itu. Motor diijinkan lewat pada gang sempit yang sudah tertutup berbagai tarpal. Di ujung gang yang sumpek tersebut, ada jalan yang lapang. Sangat kontras dengan ruas gang yang baru saya lewati.

Dua orang anak perempuan usia sekolah dasar sedang asyik bermain bulu tangkis tanpa net di jalanan lebar tersebut. Dua anak lain, laki-laki, sedang bermain mobil-mobilan dengan remote. Sementara lima orang dewasa duduk pada kursi-kursi yang ditempatkan di bawah sebuah pohon yang tidak terlampau rindang. Dua buah mobil, satunya masih anyar, parkir di mulut gang masuk Kampung Deret tersebut dari arah jalan Letjen Soeprapto.

Sayang, ruas jalan itu tidak panjang. Rumah-rumah di sisi kanan (dari arah RT 013) atau sebelah kiri dari mulut gang Jalan Letjen Soeprapto berjejer rapih. Masih baru. Jumlahnya tidak banyak. Hanya 50 unit. Bangunan-bangunan itu ada yang dua lantai. Ada pula yang satu lantai. Yang tanahnya sempit dibangun kembali ke atas, sedangkan yang lahannya lebar dibangun cukup satu lantai. Sebagian besar berwarna hijau muda. Ada juga yang berwarna hijau pekat. Sedangkan interiornya dominan putih. Lantainya sudah berkeramik putih bersih. Satu-satunya bangunan berwarna putih adalah mushola yang terletak di tengah-tengah jejeran rumah-rumah tersebut.

Saya coba masuk ke rumah salah satu warga setempat, Wahyu Muhammad (32). Rumah nomor 5 atau rumah lama bernomor 9 memiliki dua lantai dengan lima kamar tidur. Dua kamar di lantai bawah, tiga kamar di lantai atas. Memasuki rumah itu, bak masuk sebuah hotel bintang tiga. Bersih dan rapih. Beberapa anak kecil terbaring tanpa kasur di depan meja televisi sambil menyaksikan acara sebuah stasiun televisi. Tidak ada barang lain di situ, selain meja dan televisi tersebut. Dapurnya pun lega di luar ruang tamu.

Kompleks itu sungguh indah dipandang dan nyaman baik dari luar maupun di dalam rumah. Belum lagi, persis di samping tembok pembatas dengan rel kereta api, atau di depan rumah-rumah itu ada taman. Rumputnya belum tumbuh benar. Pohon-pohon yang sudah ditanam bertumbuh segar, meski belum besar. Beberapa tanaman merambat pun sudah ditanam. Pada rumah-rumah tadi juga sudah disiapkan tempat untuk tanaman merambat. Terbayang, betapa hijaunya kompleks itu beberapa bulan mendatang. Pemandangan ini tampak kontras dengan tetangga sebelah, yaitu RT 013. Penampilan RT ini kumuh dan penuh sesak.

Ketika berbincang-bincang dengan sekelompok orang dewasa di bawah pohon tadi, suara "lonceng" perlintasan kereta api Senen berbunyi kencang memekakkan telinga. Di tengah, suara keras dan bising itu, Wahyu Muhammad mengaku sangat senang menjadi penghuni Kampung Deret tersebut. Warga lain pun mengamininya. "Kalau dulu sumpek, sekarang lega. Anak-anak bisa bermain di sini, kita bisa duduk-duduk seperti ini," ujar pria yang mengaku bekerja sebagai wiraswasta dalam bidang ekspedisi itu.

Dia mengaku, jalanan menjadi lebih lebar karena rumah-rumah itu dibangun lebih ke belakang dari bangunan lama. “Kalau sebelumnya di atas got, sekarang di belakang got,” imbuhnya sambil melihat ke got yang sebagian belum tertutup itu.

Wahyu juga makin senang karena kampung mereka kini tidak mudah dilalap si jago merah lagi. Pasalnya, seluruh rumah di Kampung Deret itu terbuat dari baja. Kayu hanya untuk kusen dan pintu. Langit-langit rumah pun tidak menggunakan tripleks lagi, tapi dari gipsum. "Kata Jokowi (Gubernur DKI Jakarta), di sini sudah bebas dari kebakaran," kata putra Ketua RT setempat, Muhammad Yahya.

Di bulan Agustus ini, di depan rumah-rumah itu dipajang bendera merah putih. Sedangkan alamat lengkap RT tersebut terpampang di depan mushola yang kata Wayhu dibangun dari sumbangan dari Walikota Jakarta Pusat.

Wahyu bercerita, Kampung Deret ini mulai dibangun pada Mei 2013 dan selesai satu minggu sebelum lebaran 2013. Selama pembangunan, warganya tinggal di gubuk-gubuk yang mereka bangun di samping tembok pembatas rel kereta api. Ada juga yang kontrak di tempat lain. Sedangkan soal biaya, warga setempat mengaku tetap mengeluarkan anggaran. Tetapi jumlahnya sangat kecil. Itupun, agar pembangunan kembali rumah mereka sesuai selera pemilik.

Kampung Deret itu sendiri belum diresmikan. Kedatangan Jokowi pada Kamis, 8 Agustus 2013 lalu, pada hari pertama lebaran hanya untuk halal bihalal. "Tidak tahu kapan ini diresmikan," ucap warga lainnya, seorang perempuan yang sore itu mengenakan daster ungu berbunga.

Tiga bulan lalu, kondisi Kampung Deret di RT 014 ini tidak beda dengan RT 013. Sumpek dan padat. Tetapi kini, situasinya berbeda. Lega dan enak ditempati. Warga dari RT lain pun iri. Inginnya, RT mereka juga dibuat seperti itu. “Tidak tahu nasib mereka. Apakah dibangun setelah lebaran ini atau kapan,” kata Wahyu tentang RT 013 tetangganya.

Kampung Deret di Tanah Tinggi ini memang baru menjadi proyek percontohan. Tetapi bila seluruh kawasan kumuh di wilayah DKI Jakarta ditata seperti ini, suatu saat kota ini akan menjadi lebih bersahabat, beradab, dan manusiawi. Apalagi kalau kampung-kampung deret itu nanti dilengkapi dengan taman, tempat warga berinteraksi satu sama lain. Ini bisa menjadi salah satu solusi mengurangi penyakit sosial warga perkotaan. (Alex Madji)

Keterangan Foto: 1. Rumah-rumah Kampung Deret setelah ditata kembali. 2) Interior rumah Kampung Deret yang bersih, rapih, dan indah. 3). Kondisi RT 013, tetangga Kampung Deret. Kondisi ini juga sama dengan RT 014 sebelum menjelma menjadi Kampung Deret.

Selasa, 06 Agustus 2013

Mudik

Sekarang lagi musim mudik. Sebagian besar warga Jakarta sedang berada di kampung halamannya masing-masing. Berkurangnya warga ibukota ini dalam jumlah yang sangat signifikan menyebabkan Jakarta yang akrab dengan kemacetan lalu lintas menjadi lengang dan enak dilewati.

Tidak sedikit orang yang mengutak-atik kata "mudik" ini di media sosial seperti facebook dan twitter. Ada yang melihatnya secara etimologis. Ullil Abshar Abdalla, misalnya, mengatakan kata mudik berasal dari kata dasar udik yang berarti dusun, desa. Lalu saya cari di Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Badudu-Zain terbitan Pustakan Sinar Harapan 1994, kata "mudik" memang merupakan proses dari kata udik yang berarti ke udik, berjalan atau berlayar ke udik, pulang kampung.

Ullil yang tokoh Islam Liberal itu juga memplesetkan kredo filsuf eksistensialis Rene Descartes, cogito ergo sum menjadi "mudiko ergo sum". Hanya mau mengatakan, mudik menjadi alasan keberadaan atau rasion de etre.

Lalu saya mencoba melacak lebih jauh tentang makna mudik. Ensiklopedia online Wikipedia membuat definisi kata mudik sebagai sebuah aktivitas para migran atau pekerja migran kembali ke kampung halamannya. Di Indonesia, kata Wikipedia, menjadi tradisi tahunan yang dilakukan menjelang perayaan idulfitri. Pada titik ini ada kesempatan untuk berkumpul antara mereka yang merantau dengan keluarga yang tinggal di kampung atau sowan dengan orang tua. Tetapi, lanjut Wikipedia, mudik bukan hanya tradisi Indonesia, melainkan tradisi negara-negara Islam lainnya, termasuk Bangladesh.

Wikipedia mungkin lupa bahwa di masyarakat Cina, tradisi mudik ini juga ada. Menjelang tahun baru imlek, warga Cina dari perkotaan kembali ke kampung halamannya untuk merayakan imlek atau tahun baru Cina bersama keluarga mereka. Poin utamanya adalah juga berkumpul dengan keluarga yang sudah lama ditinggalkan. Modelnya pun sama dengan mudik di Indonesia. Seluruh jenis angkutan baik darat, laut, maupun udara penuh sesak oleh para pemudik.

Tetapi tidak sedikit juga yang mudik dengan kendaraan pribadi, baik roda empat maupun roda dua. Ada pula yang mudik dengan roda tiga seperti bajaj. Karena itu, dalam arti tertentu, mudik bukan hanya aktivitas pulang kampung untuk bertemu keluarga atau sowan dengan orang tua, tetapi juga memindahkan kemacetan dari Jakarta ke kampung halaman. Sebab yang berkurang bukan hanya jumlah manusia di ibukota ini, tetapi juga jumlah kendaraan yang berkeliaran. Akhirnya selamat mudik. Salam untuk keluarga di rumah...(Alex Madji)

Sumber foto: www.tribunnews.com