Kamis, 28 Juli 2011

Rakornas Partai Demokrat dan Nyanyian M Nazaruddin


Rapat koordinasi nasional (Rakornas) Partai Demokrat berakhir sudah. Semua pihak mengeritik rakornas tersebut. Pasalnya tidak ada hasil yang signifikan dari perhelatan politik tersebut. Sejumlah pihak menilai, Rakornas ini tidak lebih dari sekedar mendengar nasihat, curahan hati, dan kegundahan Ketua Dewan Pembina Partai itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada saat bersamaan, bekas bendahara umum Partai Demokrat M Nazaruddin berhenti bernyanyi dari tempat persembunyian. Sebelumnya, terutama hari-hari menjelang Rakornas, nyanyian Nazaruddin sangat nyaring terdengar. Sering kali dengan nada-nada tinggi. Dia langsung menukik ke Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Intinya, Anas Urbaningrum terlibat dalam korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games 2011 di Palembang dan fasilitas olah raga Hambalang.

Yang tersisa sekarang adalah gema suaranya itu yang dipantulkan kembali dalam berbagai pemberitaan media massa. Boleh jadi, Nazaruddin sedang menikmati masa tenangnya di tempat persembunyian, seperti juga Demokrat menikmati masa tenang seusai Rakornas.

Patut diduga bahwa Nazaruddin bernyanyi karena disetir oleh kelompok tertentu dalam Partai Demokrat itu sendiri. Tujuannya, untuk memojokkan Anas Urbaningrum. Ini sudah disadari Anas. Tujuan lainnya adalah agar Partai Demokrat menguasai ruang publik.

Sebab sensasi demi sensasi yang diciptakan Nazaruddin menjadi santapan empuk media massa. Belum lagi, nyanyian itu disambut oleh para pengurus Demokrat. Bahkan SBY pun tidak tinggal diam. Dia ikut menyahut dengan segala macam gaya dan mimik serta pilihan kata yang ingin menarik simpatik publik. Nyanyian Nazaruddin itu kemudian berubah menjadi koor Partai Demokrat. Dampaknya luas sekali. Pemberitaan tentang Partai Demokrat mendominasi seluruh media massa republik ini. Suasananya riuh rendah.

Karena itu patut diduga, nyanyian Nazaruddin yang kemudian menjadi koor Demokrat diciptakan untuk semakin menacapkan partai itu pada ingatan publik.

Soal citra buruk karena nyanyian itu berjudul korupsi? Tidak peduli. Hal itu bisa dengan gampang diubah dengan pencitraan lainnya pada waktu lain pula. Sebab ingatan rakyat Indonesia ini pendek, sependek ingatan para pemimpinnya. Besok pun rakyat sudah lupa isi dan substansi nyanyian Nazaruddin soal korupsi di tubuh partai itu. Yang terpenting adalah, nama Partai Demokrat berakar dalam pikiran dan benak publik Indonesia.

Mengapa begitu? Karena SBY sendiri, dalam Rakornas di Sentul, Bogor itu, tidak dengan tegas memerintah atau membentuk sebuah tim independen untuk menyelidiki kebenaran nyanyian Nazaruddin. Dia malah memelas agar Nazaruddin pulang ke tanah air dan meminta kader yang tidak menjalankan etika partai untuk mengembalikan kartu tanda anggota. Hanya sebatas itu dan tidak lebih. Ini tidak layak dilakukan oleh SBY yang juga Presiden Republik Indonesia.

Itulah sebabnya, sebagian kalangan, termasuk saya memandang bahwa apa yang dilakukan Nazaruddin itu adalah setingan atau strategi Partai Demokrat sendiri untuk menguasai ruang publik. Inilah titik sambung Rakornas Partai Demokrat dan nyanyian M Nazaruddin. (Alex Madji)

Selasa, 26 Juli 2011

Hewan Kurban


Beginilah suasana kampung di pojok lain Republik Indonesia ini. Pada bulan-bulan musim panas, banyak dilakukan acara syukuran. Acara ini selalu disertai dengan potong babi untuk acara tersebut. Itulah yang terjadi di Wela, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, 11 Juli 2011 lalu. (Foto: Alex Madji)

Jumat, 22 Juli 2011

Pentingnya PRT


Seminggu lagi, masa puasa tiba. Satu atau dua minggu terakhir masa puasa, orang-orang pada mudik, termasuk para pembantu rumah tangga (PRT). Pulangnya para “pelayan” ini menyisakan persoalan besar bagi hampir sumua rumah tangga di ibukota, yaitu tidak ada yang mengurus rumah dan anak-anak. Ini adalah masalah rutin setiap tahun ketika musim mudik tiba.

Sebenarnya, masalah pembantu ini hampir muncul setiap hari. Tidak hanya pada musim mudik. Suatu hari, saat makan siang di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan, saya mendengar percakapan sekelompok ibu di meja sebelah tentang pembantu-pembantu mereka.

Ibu yang satu menceritakan tentang pembantunya yang hendak pulang kampung dengan berbagai alasan. Orang tua sakitlah, anak sakitlah. Teman di sampingnya menyarankan agar permintaan itu jangan dikabulkan. Sebab begitu dia pulang, pasti tidak akan balik lagi.

Sementara ibu yang lain lagi bercerita bahwa pembantunya sering pinjam uang untuk membayar utang. Saking seringnya, cerita ibu itu, sampai dia tidak mau memberi pinjaman lagi.

Beberapa minggu kemudian, tepatnya pertengahan Juli 2011 ini, kami mengalami persoalan serupa. Dua pembantu kami, Nanik dan Juju, pulang kampung karena kebetulan kami juga berlibur di kampung halaman. Nanik kembali tepat waktu. Sebelum kami sampai di rumah, dia sudah tiba duluan dan membereskan rumah. Sementara Juju molor hingga seminggu. Alasannya, ponakannya khitanan dan pestanya berlangsung dua hari dua malam. Luar biasa.

Masalahnya, beberapa hari setelah kembali dari kampung, istri saya bertugas keluar negeri. Dua putra kami hanya diurus Nanik sendiri. Belum lagi, mengurus rumah mulai mamasak, mencuci, strika, dan urusan tetek bengek lainnya.

Untuk menghindari beban kerja yang tinggi dan karena takut pembantu ini stress lalu terjadi apa-apa dengan anak saya, terpaksa anak sulung kami dititipkan di rumah saudara yang tidak jauh dari rumah. Setiap pulang kerja, saya jemput kembali. Untung masih punya saudara. Tak terbayang kalau tidak ada saudara yang berdekatan rumah.

Selama Juju tidak ada, betapa mengurus rumah dan anak sambil bekerja itu cukup menyita waktu dan tenaga. Itupun masih ada satu pembantu. Bagaimana kalau dua-duanya tidak ada. Bebannya pasti lebih berat.

Beban berat itulah yang ada di depan mata ketika musim mudik 2011 tiba. Para pembantu pulang kampung dan urusan rumah tangga dan mengurus anak-anak dikembalikan kepada majikan masing-masing. Tebanyang repotnya para orang tua di ibukota satu atau dua minggu sebelum dan sesudah lebaran ini. Cuci pakaian sendiri. Cebok anak sendiri. Ngepel rumah sendiri. Cuci strika mungkin diserahkan ke jasa cuci kiloan yang menjamur di mana-mana. Serta pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya.

Ketika pekerjaan-pekerjaan itu dilakoni sendiri barulah merasakan betapa pentingnya kehadiran dan peran PRT. Makanya, saya heran ada majikan yang memperlakukan mereka secara kasar. Kami yang memperlakukan pembantu secara baik, bahkan kadang-kadang mereka menjadi seperti majikan, tetap dibikin repot. Dirasakan atau tidak, peran pembantu di ibukota ini sangat penting. Karena itu perlakukan mereka secara baik. [Alex Madji]

Rabu, 20 Juli 2011

Aids Masuk Kampung


Ini catatan tentang aids masuk kampung. HIV/AIDS, biasanya identik dengan kehidupan kota metropolitan karena kehidupan seks bebasnya yang sudah menjadi lumrah.

Tetapi menjadi luar biasa ketika HIV/AIDS tiba-tiba ada di sebuah kampung nun jauh di pedalaman, jauh dari kota metropolitan yang akrab dengan free seks.

Ceritanya begini. Di Wela, sebuah kampung yang terletak di perbatasan Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur (NTT), ada sebuah keluarga muda yang yang terdiri dari suami, istri dan dua orang anak terinfeksi HIV/AIDS. Tahunya, ketika tahun lalu, sang sumai hendak mendonorkan darahnya untuk adik putrinya yang mengalami sakit.

Setelah darahnya dicek, dokter Rumah Sakit St Rafael Cancar mengatakan, pria itu terinveksi HIV/AIDS. Oleh sebab itu darahnya tidak jadi didonorkan untuk adiknya. Kemudian adiknya yang mengalami pembengkakan perut karena kista akut itu akhirnya meninggal dunia.

Selasa 12 Juli 2011 lalu, istrinya meninggal dunia di kampung halamannya di Rimang, Pateng, Manggarai Barat. Jenasahnya kemudian diantarkan ke Wela dan dimakamkan di sana pada hari itu juga. Semua orang kampung mengetahui bahwa perempuan itu juga mengidap penyakit HIV/AIDS. Sebab, badannya sangat kurus kering dan menghitam.

Diceritakan, ketika perempuan itu meninggal, semua pintu rumah orang di kampungnya ditutup rapat dan enggan melayat karena takut terjangkit virus maut tersebut. Di Wela pun setali tiga uang. Ketika jenasahnya tiba, tidak banyak orang yang melayat. Kebetulan juga saat jenasah tiba, hujan lebat mengguyur kampung di atas gunung itu.

Sebelumnya, salah satu anaknya meninggal dunia, kemungkinan karena HIV/AIDS. Masih ada satu anaknya yang untuk sementara masih segar.

Sedangkan suaminya yang divonis dokter terkena AIDS saat ini kondisinya kritis. Badannya kurus kering dan warna kulitnya hitam legam. Orang bilang, mayat hidup. Padahal dulu, ketika masih muda, pria ini gagah, putih, dan ganteng. Tetapi kini, tinggal menunggu hari untuk juga pergi selamanya.

Karena itu, saat pembicaraan pesta kenduri untuk istrinya, keluarganya meminta untuk tidak dibicarakan saat itu. Maksudnya tunggu dikendurikan sekalian bersama suaminya yang kondisinya memprihatinkan itu.

Mendengar cerita kematian itu, saya lalu berbincang-bincang dengan sejumlah orang di Kampung Wela yang belum ada dalam peta Indonesia, seperti dengan Sekretaris Desa Pius Kalim dan mantan Kepala Desa setempat Paskalis Jemandu.

Mereka menceritakan bahwa sebelum menikah dengan perempuan itu, pria asal Kampung Wela yang divonis AIDS tadi pernah menikah dengan gadis dari kampung tetangga, Golowelu. Hanya saja perkawinan mereka seumur jagung, lalu bercerai. Saat itu kondisi sang pria masih segar. Bahkan, kondisi mantan istrinya itu hingga kini masih segar bugar.

Kondisi pria yang pernah merantau ke Makassar itu menurun sejak nikah lagi dengan perempuan dari Rimang Pateng tersebut. Kondisi perempuan itu sendiri sejak dibawa lari dari Rimang ke Wela beberapa tahun lalu tidak terlalu segar dan tidak sedap dipandang, sebagaiamana kesaksian sejumlah orang kampung.

Dari sejumlah kesaksian tadi, mereka, termasuk saya menyimpulkan bahwa yang pertama mengidap HIV/AIDS adalah sang istri. Suami tertular dari dia. Sebab kalau sang suami yang pertama mengidap penyakit ganas yang hingga kini belum ada obatnya itu, maka istri pertamanya tentu saja terinfeksi HIV/AIDS juga. Faktanya, hingga saat ini istri pertamanya itu masih segar bugar. Meskipun, harus dibuktikan dengan pemeriksaan medis.

Apalagi, saat masih gadis, perempuan ini bekerja sebagai sales promotion girl atau istilah setempat "makan gaji" di sejumlah toko di Ruteng dan Labuan Bajo. Kemungkinan, penyakit ganas itu didaptnya selama "peziarahannya" di Ruteng dan Labuan Bajo.

Terlepas dari itu, yang pasti kampung di pedalaman sekalipun kini tidak luput dari penyebaran penyakit ganas seperti ini. Ini tentu saja cerita buruk. Karena itu harus ada upaya pencegahan agar penyakit seperti ini, dan juga narkoba, tidak meluas.

Tanpa upaya sistematis dari pemerintah maka ini akan menjadi endemi baru setelah penyakit-penyakit tradisional daerah pedalaman seperti malaria, muntaber dan sebagainya.

HIV/AIDS bukanlah penyakit kas kampung, tetapi penyakit kota besar yang masuk ke kampung. [Alex Madji]

Senin, 18 Juli 2011

Labuan Bajo Jadi Destinasi Wisata, Infrastruktur Masih Minim


Labuan Bajo sudah menjadi destinasi wisata. Terlebih lagi setelah Komodo masuk dalam perlombaan tujuh keajaiban dunia, meski sempat terancam dicoret.

Hal itu diperkuat oleh jumlah penerbangan yang hampir setiap hari ke Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat. Bahkan, pada hari-hari tertentu, ada dua sampai tiga penerbangan sehari ke Labuan Bajo.

Bukan hanya itu. Mayoritas penumpang pesawat ke Labuan Bajo adalah turis manca negara. Turis lokal dan warga setempat bisa dihitung dengan jari tangan.

Sampai ada lelucon dari seorang teman bahwa kita warga pribumi menjadi turis di tengah warga kulit putih yang memenuhi seluruh kabin pesawat.

Sayangnya, Labuan Bajo belum siap sebagai destinasi wisata. Mulai dari hal yang paling sederhana saja. Fasilitas toilet di Bandara Komodo sangat minim, dengan persediaan air yang hampir nihil.

Di terminal kedatangan, orang harus antri lama hanya untuk pipis. Bule-bule itu terpaksa harus mengernyitkan dahi menahan pipis, seperti yang saya saksikan pada Kamis 7 Juli 2011 lalu.

Di terminal keberangkatan lebih buruk lagi. Di samping pintu masuk ke ruang check in, ada dua toilet, masing-masing untuk pria dan wanita. Tapi bau pesingnya bukan kepalang.

Di situ ada bak air tapi kosong melompong. Kran air pun tak mengeluarkan setitik banyu. Maka tidak heran kalau toilet itu berbau. Repotnya, kalau kebelet pup. Tak terbayang jorok dan baunya.

Itu hanya potret kecil masalah utama di daerah itu, yakni masalah air minum. Sebenarnya daerah itu tidak kekurangan (sumber) air. Tetapi yang tidak becus adalah pengelolaan dan distribusi air.

Hal yang lebih besar dari itu, infrastruktur jalan. Jalan utama di pinggir pantai yaitu Jalan Soekarno Hatta buruknya minta ampun. Saat ini sedang ada penggalian got. Akibatnya jalan yang sempit itu makin sempit karena tumpukan pasir dan batu di pinggir jalan. Selain itu, jalan tersebut berdebu. Sungguh tidak nyaman melintas di jalan seperti itu, apalagi kalau jalan kaki.

Padahal, perhotelan bertumbuh subur di Labuan Bajo. Ada dua hotel berbintang empat yaitu Bintang Flores dan Jayakarta. Belum terhitung hotel non bintang dan melati yang bertebaran di ibukota kabupaten pemekaran itu. Belum lagi restoran berkelas yang mulai bertumbuh subur.

Pekerjaan besar pemerintah setempat adalah membenahi infrastruktur pendukung pariwisata seperti jalan-jalan, air bersih, dan listrik. Tanpa itu, cita-cita Labuan Bajo sebagai beyond Bali omong kosong.

Komodo tetap akan menjadi daya tarik yang memikat dunia, tetapi tanpa infrastruktur pendukung seperti itu, biawak raksasa bernama Komodo tidak membawa banyak manfaat bagi Labuan Bajo dan Manggarai Barat pada umumnya. (Alex Madji)

Sabtu, 09 Juli 2011

Labuan Bajo Rasa Italiano


Rabu 7 Juli siang. Terik matahari membakar tubuh di bibir Pantai Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Angin laut bertiup sepoi-sepoi, sehingga terik matahari sedikit terusir.

Siang itu, kami menyusuri Jalan Soekarno Hatta Labuan Bajo. Di jalan yang berdebu itu berderet berbagai rumah makan dan restoran. Dari yang kelas sederhana sampai yang kelas atas.

Salah satu yang mencolok adalah Mediterraneo; restourant and lounge. Posisinya terletak persis di bibir pantai dan persis di samping pelabuhan. Dari pinggir jalan Soekarno Hatta itu ada jembatan kayu yang tertata sangat rapi.

Interiornya juga serba kayu. Viewnya ke laut lepas dengan gugusan pulau-pulau kecil di depan Labuan Bajo.

Selain ada kursi-kursi kayu, ada juga kuris-kursi busa yang sepertinya berisi pasir. Kursi-kursi ini ditata di panggung. Untuk sampai ke situ, ada lima anak tangga. Apik.

Restoran ini milik dua orang anak muda Italia. Ada seorang, yang sedikit senior, tetapi menurut seorang pelayan di situ, pria gempal itu konsultan bagi orang-orang Italia yang mau buka restoran di Labuan Bajo.

Pekerja-pekerjanya termasuk pelayan restorannya adalah orang pribumi, warga Manggarai. Mereka cekatan dan tampak profesional sebagai pelayan restoran.

Menunya lebih banyak masakan Italia seperti Spageti dan pizza. Ada juga jus-jus seperti jus mangga, jus melon, jus semangka, mangga, dan milkshake strowbarry.

Siang itu kami pesan satu Pizza untuk 8 orang, dua jus mangga, satu jus melon, satu jus semangka, satu milkshake strowbarry dan dua es teh. Total harganya Rp 172.000.

Menurut seorang pelayan restoran di situ, harganya sengaja dibuat tidak terlalu mahal untuk menjaga persaingan. Meski demikian, restoran ini diperuntukkan bagi para wisatawan yang ingin menikmati indahnya pemandangan labuan bajo sambil menyeruput jus, bir atau wine.

Yah, siang itu sebagian besar tamu yang datang adalah para wisatawan manca negara, kecuali kami, bule ireng.

Kalau Anda ke Labuan Bajo sebelum ke Komodo, bisa juga menjajal kekhasan restorante Italiano ini.

Tidak perlu bingung mencarinya. Sebab begitu Anda keluar dari pesawat dan masuk ruang tunggu, terpampang iklan restoran tersebut. Tinggal melangkah saja ke sana. Dan, selamat mencoba. [Alex Madji]

Rabu, 06 Juli 2011

Basa Basi SBY

Minggu lalu, media massa memberitakan pernyataan Staf Khusus Bidang Komunikasi Politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Daniel Sparingga.

Intinya, Presiden SBY memerintahkan untuk menangkap mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin yang terus "bernyanyi" dari tempat persembunyiannya di Singapura.

Nazaruddin telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima sejumlah uang dalam kasus pemabangunan wisma atlet SEA Games di Stadion Jakabaring, Palembang.

Kasus ini merembet dan mengguncang Partai Demokrat karena Nazaruddin dari Singapura menyebutkan bahwa para petinggi partai itu menerima uang, termasuk Ketua Umumnya Anas Urbaningrum.

Kembali ke SBY. Pernyataan SBY untuk menangkap Nazaruddin tidak lebih dari sebuah politik basa basi dan bukan kemauan politik yang sesungguhnya. Lagi-lagi hanya untuk pencitraan.

Sebab, tidak sulit sebenarnya bagi SBY menangkap Nazaruddin. SBY punya alat yang namanya kepolisian. Sehingga, SBY seharusnya tidak membutuhkan waktu lama untuk mendatangkan Nazaruddin ke Indonesia. Tetapi polisi tidak kalah basa basinya. Kepala Polisi Timur Pradopo menegaskan kesiapan menangkap Nazaruddin. Tetapi tidak ada langkah kongkrit.

Padahal, ketika kasus Gayus Halomoan Tambunan mencuat, polisi dengan cepat mendatangkan terpidana kasus mafia hukum dan mafia pajak itu dan dihadapkan ke pengadilan. Bagaimana tidak dibilang basa basi. Mereka terus beretorika tetapi tidak mampu mendatangkan dan mengadili Nazaruddin. Yang ada hanya pembualan.

Kalaupun ada alasan bahwa untuk mendatangkan Nazaruddin adalah wewenang KPK, menurut saya, itu juga tidak bisa dipakai. Sebab, kalau SBY dan negara ini serius mau meberantas korupsi tanpa pandang bula, polisi bisa menangkap Nazaruddin dengan mudah, semudah mendatangkan Gayus Tambunan, untuk kemudian diadili KPK.

Aroma basa basi pernyataan SBY semakin kentara karena kasus Nazaruddin ini terkait erat Partai Demokrat. Terbongkarnya kasus Nazaruddin akan membongkar borok partai milik SBY itu, bahkan borok SBY itu sendiri. Jadi, kalau SBY bilang tangkap Nazaruddin, jangan percaya, mulu rica-rica, kata orang Manado, alias basa basi. Percayalah, Nazaruddin tetap nyaman di negeri singa. Dan, SBY terus meninabobokan publik Indonesia. [Alex Madji]

Jumat, 01 Juli 2011

Yuk Makan Siang di Warteg Oriental


Tujuh pria dan seorang perempuan itu duduk mengelilingi sebuah meja panjang. Semuanya mengenakan batik. Tampaknya, mereka karyawan kantor. Mereka tampak asyik menikmati santap siang pada Jumat (1/7/2011) itu.

Di samping mereka, di atas sebuah meja panjang yang lain, berjejer baskom-baskom berisi plastik susu kacang hijau, pisang, tahu goreng, tempe goreng tepung, bakwan, sayur sup, dan sayur toge kacang panjang.

Di ujung paling luar meja panjang itu ada sebuah lemari kaca berisi berbagai menu makanan. Ada telur mata sapi, telur dadar, ayam goreng, tahu, tempe, perkedel, telur asin, beberapa jenis ikan, telor asin, telor balado, orek kentang, dan tempe orek. Ini adalah etalase.

Sementara di sebelah kiri kalau masuk ke dalam, berjejer lima meja dengan bangku-bangku tanggung. Lima meja itu penuh sesak.

Tidak lama berselang, tiga orang perempuan cantik mengenakan stelan batik masuk. Setelah memesan makanan pilihannya, mereka mengambil meja paling depan, dekat dengan pintu masuk. Mereka menikmati santap siangnya hari itu.

Tamu-tamu itu dilayani dengan baik oleh dua orang perempuan, satunya sedang hamil, dan seorang laki-laki. Cekatan mereka.

Begitulah situasi Warteg Oriental di Jalan Sentiong, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Di sebut Warteg Oriental, selain karena tata ruang dan tata kelola berbeda dengan warteg (warung tegal yang umumnya dikelola orang Tegal), juga karena warung makan ini dikelola oleh warga asli Sentiong beretnis Tionghoa.

Perbedaan lainnya, Warteg ini lumayan bersih dan membikin orang betah duduk berlama-lama di situ. Duduk sambil lihat televisi 14 inci yang digantungkan di tembok warung tersebut sambil menyeruput secangkir kopi hitam atau kopi susu.

Setiap pembeli yang datang langsung memesan makan terus ambil tempat duduk. Tidak ada daftar menu. Uniknya, para pelayan tadi mencatat menu makanan konsumennya di atas secarik kertas bekas. Tidak ada nama atau nomor meja. Tetapi mereka ingat betul harga seporsi makanan yang di pesan konsumennya yang ditulis di atas secarik kertas itu tadi.

Setiap kali selesai bayar, para pelayan itu lantas mencoret harga menu konsumennya.

Soal rasa, makanan di Warteg Oriental ini lumayan enak dan selalu diperbarui. Setiap jam makan siang, makanan-makanan baru didatangkan dari dapur. Panas dan masih beruap. Harganya pun standar. Tidak terlampau mahal. Seporsi satu porsi nasi dengan ikan kembung, sayur dan gorengan dihargai Rp 12.500. Sementara kalau pakai ayam, seporsi dihargai Rp 13.500. Warteg ini memang diperuntukkan bagi kelompok kelas menengah bawah.

Nah, beberapa tahun lalu Warteg Oriental ini dikelola oleh seorang encik, pemiliknya, seorang etinis Tionghoa. Ibu gemuk itu sangat ramah. Dia suka ngobrol dengan para pengunjungnya dan suka bercerita tentang apa saja, termasuk cerita tentang "keunikan" para pelanggannya.

Saya kaget sekali, ketika Jumat (1/7/2011) siang itu, salah satu pelayan perempunnya yang juga sudah lama bekerja di situ menceritakan bahwa encik itu sudah meninggal karena kanker payudara hampir dua tahun lalu.

Pantasan, beberapa kali sebelum ini, saya makan siang di warteg ini tapi tidak bertemu lagi dengan encik itu. Itu sebabnya saya bertanya ke pembantunya tentang dia pada Jumat (1/7/2011) itu.

Eh, ternyata sudah tiada. Rest in peace encik. Dan, kini Warteg Oriental itu dikelola oleh suaminya yang juga mengelola bengkel di samping warteg tersebut.

Nah pengen coba merasakan menu Warteg Oriental? Datang saja ke Kramat Sentiong, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Setelah itu, Anda sendiri yang menilai. [Alex Madji]