Senin, 24 Mei 2010

Rumah Cuci

Kehidupan masyarakat kota metropolitan identik dengan kesibukan. Sibuk bekerja, sosialita, berorganisasi, dan berbagai macam kesibukan lainnya. Saking sibuknya, banyak urusan/pekerjaan rumah tangga tidak tertangani. Sebut misalnya, urus anak, cuci pakaian, bahkan untuk urusan paling privat sekalipun seperti mandi. Hal-hal seperti ini kemudian diserahkan kepada orang/pihak lain.

Ini adalah peluang bisnis. Karena itu jangan heran kalau bisnis rumah cuci, penitipan anak, dan tempat-tempat “permandian” bertumbuh subur di pojok-pojok ibu kota.

Yang lagi booming saat ini adalah bisnis cuci kiloan, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di Yogyakarta . Di Jalan Raya Kebon Jeruk, Jakarta Barat, misalnya, ada sebuah rumah cuci yang sangat ramai. Orang keluar masuk untuk mengantar pakaian kotor dan mengambil cucian di rumah cuci yang berukuruan 4x4 meter persegi itu. Ruangan bercat warna warni dan enak dipandang itu penuh dengan tumpukan pakaian dalam bungkusan plastik.

Ada tiga orang perempuan yang bekerja di situ. Tadinya hanya dua orang. Keduanya bekerja secara bergantian. Seragamnya hitam putih. Kemeja putih dan celana hitam. Seorang berjilbab sedangkan yang lain tidak. Mereka bertugas mengimput data pakaian kotor ke dalam komputer. Belakangan ditambah seorang perempuan lagi yang bertugas memasukkan nomor ke dalam pakaian-pakaian yang hendak dicuci.

Pakaian yang masuk ditimbang terlebih dahulu. Setelah itu dilihat dan di-input ke dalam komputer. Besaran dan jenis pakaian tinggal disesuaikan dengan data-data yang sudah tersedia dalam komputer. Semuanya akan terhitung secara otomatis. Dua perempuan tadi tinggal memasukkan jumlah kilogramnya lalu komputer akan menghitung sendiri total yang harus dibayar pelanggan. Begitupun item per item pakaian akan dijumlah sendiri komputer. Harga per kilogramnya Rp 7.000. Hasil cucian bisa diambil setelah 24 jam. Segala macam barang bisa dicuci di situ. Mulai dari sepatu, sandal, jacket, bed cover, hingga pakaian dalam. Konsumen bisa memilih dari tiga jenis parfum yang disediakan sebagai pewangi pakaiannya.

Salah satu dari perempuan tadi bercerita, karyawan yang berkerja di tempat usaha cuci pakaian itu sebanyak enam orang. Mereka berdua bertugas di front desk. Mereka bertugas menerima pakaian kotor dan mengembalikan yang bersih. Sedangkan sisanya adalah petugas cuci. Pakaian-pakaian itu sendiri dicuci di salah satu rumah di komplek Kodam, tidak jauh dari show room kecil itu. Mereka menggunakan beberapa mesin cuci langsung kering. Tidak perlu dijemur. Penggunaan mesin cuci seperti ini cukup membantu di tengah cuaca yang tidak menentu.

Setiap hari mereka menerima 100 kilogram pakaian. Kadang-kadang kurang, kadang-kadang lebih. Tapi rata-rata 100 kilogram per hari. Dengan demikian, pendapatan rumah cuci itu sehari rata-rata Rp 700.000. Dalam sebulan pendapatan rumah cuci itu mencapai Rp 21.700.000 (31xRp 700.000).

Sementara kedua perempuan tadi dan teman-temannya diberi upah dengan standar minimum. Pengeluaran besar lainnya adalah sewa show room, bayar listrik, air (kalau pakai pam) plus sejumlah pengeluaran kecil-kecil lainnya.

Melihat penghasilan seperti itu, bisnis rumah cuci cukup menjanjikan di tengah kehidupan warga kota metropolis yang makin ingin instan dan tidak mau repot dengan urusan tetek bengek rumah tangga. [Alex Madji]

Rabu, 19 Mei 2010

Buku

Buku adalah sumber ilmu pengetahun. Siapa pun yang haus akan ilmu pengetahuan (tentang apa saja), dia harus mencari buku. Buku menjadi begitu penting. Dia adalah ibu yang melahirkan pengetahuan.

Meskipun, filsuf kelahiran Skotlandia 1711 Sir David Hume (wafat 1776) mengatakan, sumber pengetahuan adalah pengalaman. Buku, apalagi buku tentang Teologi dan Metafisika, justru merusak dan menghancurkan pengetahuan. Dalam bukunya berjudul An Enquiry Concerning Human Understanding sebagaimana dikutip dosen filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Simon Petrus Lili Tjahjadi dalam buku Filsafat Barat Modern Hume menulis, “Kalau kita memeriksa perpustakaan-perpustakaan kita, betapa besar penghancuran yang mestinya kita lakukan. Raihlah saja salah satu buku tentang apa pun juga, misalnya buku tentang Teologi atau tentang Metafisika skolastik, lalu bertanyalah: apakah buku itu memuat penalaran abstrak mengenai jumlah dan besaran? Tidak. Apakah buku itu memuat penalaran yang berdasarkan pengalaman nyata tentang fakta-fakta dan eksistensi? Tidak. Kalau demikian, campakkan saja buku itu ke dalam apil menyala, sebab buku itu hanya berisi omong kosong dan khayalan belaka.”

Sementara menurut filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804), sumber pengetahuan adalah rasionalisme atau apa yang ada pada rasio. Bukan pengalaman seperti dibilang Hume. Empirisme (pengalaman) hanya meneguhkan apa yang sudah ada pada rasio, kata Kant.

Perdebatan tingkat tinggi dua filsuf itu tentang sumber pengetahuan, semuanya akan bermuara pada buku. Uraian dan dalil-dalil David Hume tentang pengetahuan semuanya tertuang dalam buku. Begitupun Kant. Jadi apa pun, buku sangat penting untuk memperkaya perspektif dan membuka horizon berpikir yang lebih luas.

Kesadaran itulah yang mendorong saya pada Senin, 17 Mei 2010 mengambil buku-buku yang tidak terpakai lagi oleh SMPK 2 BPK Penambur Jalan Pembangunan III/IA, Gadjah Mada, Jakarta Pusat. Ada 8 dus buku yang sudah tidak terpakai. Seorang diri saya ke sana. Sore harinya saya mengantar buku-buku itu ke Jalan Percetakan Negara, GG Muhirin No 25 Jakarta Pusat.

Selanjutnya buku-buku ini akan disumbangkan untuk sebuah kampung di pedalaman Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) bernama Wela. Di sana anak-anak tidak pernah bersentuhan dengan ibu dari ilmu pengetahuan itu. Bukan karena tidak mau dan tidak punya minat baca, tetapi karena keterbatasan ekonomi untuk membeli buku. Bagaimana bisa beli buku, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja susahnya minta ampun.

Buku-buku itu memang disebut buku bekas. Tetapi untuk ilmu pengetahuan tidak ada yang bekas dan basi. Buku-buku David Hume dan Kant dari abad ke-18 saja masih laku dan menjadi harta karun bagi generasi abad ini. Karena itu diharapkan buku-buku itu nantinya mampu merangsang minat baca anak-anak muda dan membuka horizon generasi muda kampung itu dan kampung-kampung sekitarnya. Harapan terjauh adalah lahirnya golden generation di abad mendatang. [Alex Madji]

Sabtu, 15 Mei 2010

Identitas

Jumat, 14 Mei 2010 pukul 14.30 WIB. Saya berdiri di pojokan lantai II Toko Buku Gramedia Matraman Jakarta Timur. Saya tidak sengaja mengunjungi toko buku tersebut. Tadinya saya mau ke Gereja Katedral Jakarta untuk berdoa rosario. Kebetulan ini adalah bulan Maria. Saya berpikir bagus juga waktu luang ini dipakai untuk berdoa kepadanya. Tiba-tiba, ketika melintas di Jalan Matraman Raya, hujan lebat turun seketika. Tanpa pikir panjang, saya belokkan arah motor ke areal parkir toko buku terbesar di Indonesia itu.

Saya sempat berputar-putar di lantai satu gedung itu, sambil melihat buku-buku yang ada. Lalu saya naik ke lantai dua. Sebelah kanan eskalator, persis dipojokkan, ada kelompok buku Kristen dan Katolik. Saya mula-mula mengambil buku "Benediktus XVI" terbitan Kanisius, Yogyakarta. Penulisnya seorang pastor Yesuit yang pernah belajar di Austria. Buku itu ada di bagian terdepan barisan buku Kristen. Saya membaca pengantarnya sampai selesai. Lalu saya bergeser ke belakang rak itu. Di sana seorang gadis manis tengah berdiri persis di bawah rak buku-buku Katolik. Perempuan yang sore itu mengenakan kemeja putih lengan pajang bunga-bunga hitam kecil dipadu celana panjang bahan warna hitam dengan sepatu warna putih sambil mengendong tas ransel berdiri sambil menundukkan kepala ke sebuah buku kecil yang sedang dibuka kedua tangannya. Saya tidak tahu buku apa yang dibacanya. Saya nenduga dia membaca buku "The Catholic Life" karya Mgr Ignatius Suharyo. Sebab warna buku yang dia pegang dengan buku yang ada di rak di depannya sama. Sempat beradu pandang dengannya dan saling melempar senyum. Tidak lebih. Lalu, saya menggapai sebuah buku bejudul "Agama dengan Dua Wajah" terbitan Obor Jakarta.

Saya hanya membolak balik buku itu. Tidak membacanya. Tiba-tiba, dia bertanya singkat, "Bapak Katolik? "Iya," jawab saya singkat. "Mbak?" "Katolik juga," jawab dia sepotong. "Gereja di mana?" tanya saya. "Di Cijantung," timpalnya. Tak berapa lama kemudian, dia mengembalikan buku yang tadi dia pegang ke raknya, lalu pamit. "Pak saya duluan ya," ujarnya. "Mari," jawabku singkat.

Setelah dia pergi saya masih berputar-putar di lantai II toko buku itu. Pertanyaannya, "Bapak Katolik" terngiang-ingang. Tiba-tiba saya teringat sebuah pepatah asing yang kalau di-Indonesia-kan kira-kira berbunyi begini, "siapa anda tergantung apa yang anda baca" (You Are, what you read).

Yah, saya ketahuan Katolik karena perempuan tadi melihat saya baca buku Katolik dan berdiri di depan rak buku Katolik. Tapi saya berharap, kekatolikan saya bukan hanya karena apa yang saya baca itu, tetapi karena apa yang saya perbuat dan saya ucapkan. Ini jauh lebih penting dan substantif daripada sekedar yang saya baca. [Alex Madji]

Selasa, 11 Mei 2010

Pulang Kampung

Seorang pengusaha rumah kos di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, suatu ketika pernah berujar bahwa tidak perlu pulang kampung. Kalau ada uang, lebih baik dipakai untuk kegiatan yang lebih produktif, yang menghasilkan uang kembali. Pulang kampung, kata dia, hanya menghabiskan uang. Itulah yang dia lakukan selama merantau ke Jakarta dari wilayah Sumatera bagian utara. Rupiah demi rupiah yang dia kumpulkan kemudian menjelma menjadi rumah kos tiga lantai. Per kamarnya disewa Rp 500 ribu per bulan.

Secara ekonomis, usulan ini ada benarnya. Tetapi pulang kampung adalah bagian dari kegiatan ekonomi itu sendiri. Uang yang dikumpulkan di Jakarta dialihan peredarannya di kampung. Coba bayangkan. Kalau pulang ke Flores, satu orang misalnya menghabiskan uang belanja di kampung sekitar Rp 1 juta untuk satu minggu. Kalau ada tujuh orang yang pulang kampung maka ada Rp 7 juta uang yang beredar di kampung itu selama seminggu. Makin banyak peredaran uang di kampung, makin bagus untuk warga kampung. Jadi uang yang dibawa ke kampung pas libur niscaya tidak dibuang-buang, tetapi menghidupkan dan menggerakkan ekonomi orang kampung.

Lebih jauh dari itu, pulang kampung bermaksud untuk menimba kekuatan baru, menimba nilai-nilai yang masih terlestari dengan baik dan sulit ditemukan di kota. Ketika kehidupan kota sudah sangat individualistik, konsumeristik, dan tidak peduli dengan sesama bahkan dengan keluarga sendiri, kampung masih menawarkan nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, saling menghargai, sikap ramah, cinta orang tua, dan masih banyak hal lainnya. Nilai-nilai kehidupan seperti itu tidak bisa dihargai dengan uang karena dia melampaui uang. Uang penting, tetapi dia bukan segalanya.

Apalagi Rousseaou, filsuf Perancis bernama lengkap Jean Jaques Rousseau (1712-1778) pernah bilang, kembalilah ke alam. Alam adalah tempat belajar yang baik. Alam yang sesungguhnya itu ada di kampung. Di sana masih ada ketulusan, kejujuran, kepolosan, tanpa basa basi. Selain itu ada sawah, kebun kopi, hutan, sungai yang bersih dan arinya bening, kerbau, ayam, sapi, udara yang bersih bebas polusi dan macam-macam hal lainnya yang anak-anak di kota hanya mengetahuinya dari bacaan atau melihat di televisi. Jadi, jangan enggan pulang kampung untuk menimba nilai, semangat baru, dan tempat belajar yang tepat, terutama bagi anak-anak. Jadi pulaglah ke kampung dan jangan sampai lupa kampung halaman. [Alex Madji]

Senin, 10 Mei 2010

Perjuangan

Sepotong senja di Gang Muhurin, Jalan Percetakan Negara Jakarta Pusat akhir Januari 2010. Kami tenggelam dalam keasyikan cerita pada sore yang panas itu. Banyak hal diceritakan, mulai dari yang tidak berguna sampai gagasan-gasan besar yang mungkin juga sulit dijalankan. Tiba-tiba, sebuah sepeda penjual ice cream Wals dengan musik yang khas seolah-olah memanggil-manggil calon pembelinya, lewat. Saya lalu keluar dan menghentikannya.

Pemuda berseragam merah itu, sebut saja namanya Cecep, turun dari sepedanya. Dia membuka peti tempat ice cream disimpan. Saya memilih ice cream kesukaan saya: Wals strawbery. Teman saya memilih yang coklat. Sambil menikmati ice cream, kami ngobrol dengan cecep.

Cecep bercerita bahwa pendapatan dia sehari dari pekerjaannya itu Rp 10.000, bahkan bisa kurang. Apa pasal? Dia hanya dapat 10 persen dari total penjualan dia sehari. Padahal, hasil penjualannya paling banyak Rp 100.000. Sepuluh persen dari Rp 100.000adalah Rp 10.000. Tapi hasil penjualannya lebih sering kurang dari Rp 100.000. Artinya, penghasilannya pun kurang dari Rp 10.000 per hari. Kalau dikalikan 30 hari, maka pendapatan Cecep sebulan Rp 300.000.

Untunglah Cecep tinggal di mes majikannya. Dengan penghasilan seperti itu, untuk sekali makan tetap saja kurang. Tetapi toh, Cecep tetap menjalani pekerjaan itu dengan semangat. Dia tetap tersenyum. Dia mengayuh sepedanya berkilo-kilo meter tanpa keluhan. "Harus dijalani Mas. Jaman sekarang cari kerjaan susah. Ini dilakukan sambil menunggu ada pekerjaan yang lebih bagus," ujarnya dengan dialek Sunda yang kental.

Cecep tidak sendiri. Banyak orang sepert dia di Jakarta ini, bahkan dengan penghasilan yang kurang dari Rp 10.000 per hari. Mereka hidup sederhana, tetapi menjalankannya dengan tabah dan penuh perjuangan. Sementara banyak orang hidup mewah karena korupsi dan hasil mencuri uang rakyat. Orang yang penghasilannya miliaran rupiah per bulan justru tidak membayar pajak, tetapi rakyat kecil seperti Cecep setia membayar pajak. Ironisnya, pajak rakyat kecil itu malah ditilep oleh orang-orang seperti Gayus Tambunan dan kawan-kawan.

Yah, hidup ini memang perjuangan. Pekerjaan sekecil dan sehina apa pun harus dijalani. Tidak ada yang mudah. Sebab, "barang siapa yang setia dalam perkara-perkara kecil, dia akan setia juga dalam perkara-perkara besar."

Tak terasa, ice cream dalam kotak bulat kecil itu habis dan terasa masih kurang. Cerita pun habis, dan Cecep pergi mengais rejeki ke perhentian berikutnya. Entah di mana. [Alex Madji]

Bingung

Kebingungan adalah fakta. Dia dialami oleh siapa pun. Kalau ada orang yang tidak pernah bingung, itu omong kosong. Penyebabnya macam-macam. Ada orang bingung karena terlalu banyak hal yang harus dikerjakan sehingga dia pusing sendiri harus mulai dari mana. Kebingungan dalam memilih mana yang harus dikerjakan pertama bisa membuat orang sama sekali tidak mengerjakan satu pun pekerjaannya. Inilah yang disebut kebingungan absolut. Kebingungan seperti ini membuat orang menjadi tidak produktif.

Ada juga orang bingung karena tidak ada pekerjaan sama sekali. Semua pekerjaan sudah dilakukan, sementara jam kerja masih panjang. Dia lalu mencari-cari pekerjaan. Dalam situasi seperti ini, muncullah proses kreasi. Inilah yang disebut kebingungan yang produktif. Pada tahap yang lebih jauh, proses kreasi ini bisa menghasilkan uang.

Jadi, kalau sedang dalam keadaan bingung, jangan mengambil sikap ekstrim. Artinya, bila pekerjaan banyak, dan ini membuat anda bingung, jangan lalu anda mengambil sikap untuk tidak mengerjakan satu pun pekerjaan. Mulailah dengan apa yang anda bisa. Sebab lebih baik mengerjakan satu pekerjaan daripada tidak sama sekali. Kalaupun tidak bisa selesai pada waktunya, masih ada hari esok.

Atau, kalau sama sekali tidak pekerjaan, berdiam dirilah sebentar, sekedar mengambil napas. Kadang-kadang dalam situasi seperti itu proses kreatif itu lahir. Singkatnya, jangan pernah mau ditawan oleh fakta yang bernama kebiungan itu. [Alex Madji]

Sentiong, 10 Mei 2010